Saya sempat terperangah ketikatahun lalu membaca berita bahwa PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengumumkan soal pembelian satelit dari Space System/Loral, sebuah perusahaan yang berbasis di Palo Alto, California, Amerika Serikat (AS).
Saya dengar nilai investasinya sekitar USD250 juta, atau saat itu setara Rp2,5 triliun. Rupanya BRI benar-benar serius memperbaiki layanannya. Bahkan tak lama lagi (Juli 2016), BRIsat yang secara geografis mampu menjangkau wilayah Indonesia, dan negara-negara ASEAN, Asia Timur termasuk sebagian Tiongkok, sebagian Pasifik termasuk Hawaii serta Australia Barat itu akan segera diluncurkan.
Kita doakan saja agar tak ada aral melintang. BRIsat itu akan dilepas ke orbitnya oleh perusahaan asal Prancis, Arianespace, dari pusat peluncuran di Guyana, juga di Prancis. Lalu, tiga bulan kemudian satelit tersebut bisa beroperasi. Pertanyaannya, untuk apa BRI ini memiliki satelit secanggih itu? Baiklah kita pahami bagaimana bank terbesar Indonesia ini meningkatkan daya saingnya.
Selain ada di kota, nasabah terbesar BRI adalah masyarakat desa, para petani dan nelayan, pedagang pasar, pengusaha skala mikro dan kecil di perdesaan, dan wong cilik lainnya. Dan tahukah Anda bahwa BRI sampai melayani nasabahnya di pulau-pulau terpencil dengan menggunakan kapal untuk mendatangi mereka? Tapi di lain pihak saya juga mendengar, titik orbit yang sudah ditempati satelit milik Indonesia sebelumnya sudah lama menjadi incaran bangsa-bangsa lain.
Dan alhamdulillah, BRIsat segera menempati posisi itu begitu satelit lama mati. Bayangkan kalau BRIsat tidak segera mengisinya, sudah pasti kita akan kehilangan posisi strategis itu. Tapi baiklah kita fokuskan pada kegiatan ekonomi Bank BRI. Saya lalu mencari sejumlah referensi soal ini. Hasilnya, saya semakin tertegun. Rupanya BRI adalah bank pertama di dunia yang memiliki satelit.
Bank-bank terbesar di dunia, seperti Industrial & Commercial Bank of China (ICBC), China Construction Bank atau Agricultural Bank of China (tiga bank terbesar di dunia saat ini ternyata dari Tiongkok), lalu JPMorgan- Chase, Wells Fargo atau Citigroup (ketiga dari AS) bahkan tidak memiliki satelit sendiri. Begitu pula dengan bank-bank besar dari Eropa. Mereka memilih untuk menyewanya dari pihak ketiga. Jadi, mengapa BRI begitu gigih memiliki satelitnya sendiri?
Bank Archipelago
Rupanya begini alasannya. BRI sekarang memiliki 19.000- an mesin anjungan tunai mandiri (ATM) dan 9.800-an kantor cabang. ATM dan cabang-cabang tersebut tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Mulai daerah perkotaan sampai di sudut- sudut pasar di desa. Masing- masing ATM dan kantorkantor cabang itu saat ini dihubungkan dengan jaringan dari sebuah perusahaan operator telekomunikasi.
Masalahnya, Indonesia adalah negara dengan lebih dari 15.000 pulau yang setiap pulaunya dipisahkan oleh selat dan lautan. Ya, kita adalah negara archipelago yang terpanjang dan terbesar di dunia. Jepang dan Filipina juga negeri archipelago , tetapi mereka tak sebesar Indonesia. Keadaan geografi Indonesia ini jelas sangat berbeda dengan Tiongkok atau India, yang merupakan daratan besar.
Di sana gelaran jaringan telekomunikasinya bisa menggunakan kabel dan serat optik. Di Indonesia, tidak seluruhnya bisa begitu. Celakanya, kadang-kadang keandalan jaringan telekomunikasi tersebut sesekali juga bermasalah. Jangkauannya terbatas, terutama di remote area, bahkan di beberapa lokasi biasa terputus. Persis seperti kalau kita menelepon dan masuk area blankspot, koneksi pun hilang.
Ini tentu mengganggu layanan perbankan BRI, baik yang melalui ATM atau cabang-cabangnya, terutama di daerah-daerah pinggiran. Nah, dengan membeli satelit tersebut, masalah koneksi yang terputus diharapkan tidak terjadi lagi. Sinyal satelit biar bagaimana tetap lebih kuat dibanding sinyal jaringan GSM atau CDMA.
Saat ini biaya yang dialokasikan BRI untuk menyediakan jaringan telekomunikasinya bila tanpa satelit milik sendiri bisa mencapai Rp500-600 miliar per tahun. Dengan adanya satelit tersebut, BRI tak perlu lagi membayar biaya telekomunikasi sebesar itu lagi. Jadi akan lebih hemat. Artinya hanya dalam beberapa tahun saja ia sudah balik modal. Selain itu, dengan jaringan komunikasi satelitnya, BRI akan mampu memberikan layanan perbankan untuk daerah- daerah yang sangat terpencil.
Daerah-daerah yang selama ini tidak terjangkau dan tidak bisa dilayani oleh industri perbankan nasional. Kalau mereka bisa memperoleh akses layanan perbankan, ini tentu akan meningkatkan inklusi keuangan. Manfaat lain dari satelit adalah untuk keamanan data transaksi. Mestinya perbankan nasional kita, juga TNI, memang tidak bergantung pada layanan telekomunikasi dari pihak luar. Kelak untuk satelit BRI tersebut akan dikendalikan langsung oleh BRI.
Saat ini sejumlah staf BRI tengah menjalani training di AS. Selain itu, BRI tengah juga membangun stasiun pengendali satelit di Ragunan, Jakarta, dan untuk back up -nya di Tabanan, Bali.
Layanan Kritikal
Anda mungkin sempat tahu kalau belum lama berselang dua bank ternama di Eropa, persisnya di United Kingdom, yakni Royal Bank of Scotland dan NatWest, menghadapi masalah serius. Awal Desember silam, sistem perbankannya bermasalah akibat gangguan listrik. Gangguan pada sistem perbankan ini menyebabkan dua bank tersebut tak mampu memberikan layanan belanja online – nya.
Dampaknya serius. Bukan saja dua bank tersebut kehilangan pendapatan, melainkan reputasinya juga rusak. Dalam bisnis perbankan, reputasi dan kepercayaan adalah segala-galanya. Itu sebabnya bagi industri perbankan modern, juga industri keuangan lainnya, ketersediaan layanan komunikasi semacam ini menjadi sangat kritikal.
Layanan tersebut harus tersedia selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu, dengan tingkat kerahasiaan yang sangat tinggi. Sama sekali tidak boleh terputus, dan informasinya jangan pernah bocor. Lalu, untuk menjamin keandalannya, layanan tersebut juga mesti memiliki sistem back up yang berlapis-lapis. Jadi kalau jaringan komputer pengendali di kantor pusat bermasalah, misalnya, layanan tersebut bisa segera diambil alih oleh kantor pengendali lainnya. Itu sebabnya jarak antarkantor pengendali mesti dibangun berjauhan.
Seperti dalam kasus BRIsat, satunya di Jakarta, sistem back up -nya di Bali. Bayangkan kalau keduanya sama-sama berada di Jakarta. Ketika Ibu Kota dilanda banjir, baik kantor pengendali maupun sistem back up -nya bisa sama-sama off karena terendam banjir.
Selangkah di Depan
Kemudian, sistem komunikasinya juga mesti terjamin keandalannya dan bisa dengan mudah disesuaikan. Maksudnya, supaya kalau bank terus berkembang, ATM dan cabang-cabangnya terus bertambah, atau fasilitas perbankan lainnya mau ditingkatkan, maka sistem komunikasinya bisa dengan mudah disesuaikan dan mendukung.
Sebetulnya kalau kita bicara konektivitas, terlebih bagi industri perbankan, itu bukan hanya komunikasi, melainkan lebih dari itu. Konektivitas dalam konteks ini mestinya membuat bisnis perbankan menjadi lebih efisien dan lebih aman. Konektivitas mesti menjamin suatu bank unggul di industrinya secara berkelanjutan. Apalagi di industri perbankan, persaingannya begitu sengit dan terus berevolusi.
Perbankan Indonesia sedang menghadapi ujian disruption dalam revolusi teknologi. Maka untuk urusan satelit ini, BRI mesti mampu memilih provider yang tepat. Jangan sembarangan. Mereka mesti mampu memilih provider produk satelitnya selalu berada di depan industri yang dilayaninya. Ini untuk menjamin bahwa mereka bisa memberikan konektivitas yang terbaik.
Provider satelit ini juga mesti tahu betul industri yang dilayaninya sehingga mampu memberikan standar layanan tertinggi. Mengapa? Sebab bagi industri perbankan, time is money. Maaf, ini bukan ungkapan klasik, melainkan dalam arti yang sebenarnya. Layanan yang terhenti dan listrik padam betul-betul tidak bisa ditoleransi. Perbankan adalah industri yang sangat kompetitif.
Salah langkah membuat bukan saja merugikan, tetapi juga merusak reputasi. Maka dalam persaingan bisnis yang ketatnya bukan kepalang seperti ini, berada selangkah di depan adalah segala-galanya. Persis seperti kata Stephen Covey, ”Your most important work is always ahead of you, never behind you .”
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan