Saya ajak Anda menengok ke sebuah pulau di belahan timur Indonesia. Namanya Pulau Buru. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama pulau ini? Mungkin ada beberapa.
Pertama, pulau yang dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde Baru, yang hidup bersama-sama dengan para transmigran asal Jawa. Kedua, mungkin Pramoedya Ananta Toer, salah seorang tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru. Selama di sana, Pram, begitu panggilannya, menulis beberapa novel semifiksi. Di antaranya Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram terkenal karena pemikirannya yang kritis dan korektif terhadap Orde Baru.
Sampai saat ini, kalau berkunjung ke sana, saya masih bertemu rekanrekan Pram yang sudah tak memiliki sanak keluarga di Pulau Jawa dan memilih tinggal di sana. Sambil ngopi di sore hari, kadang mereka bercerita tentang hari-hari panjang dalam tahanan dan bagaimana mereka menyelamatkan manuskrip karya Pram. Namun sesungguhnya yang membuat karya-karyanya menjadi terkenal adalah kekhawatiran berlebihan dari Orde Baru sehingga melalui Kejaksaan Agung, pemerintahan Soeharto melarang peredaran karya-karya Pram.
Masyarakat negeri kita itu unik. Jika ada sesuatu yang dilarang, ia malah dicari-cari. Begitu pula dengan karya-karya Pram. Kini, setelah semua karya Pram bebas beredar di toko-toko buku dan pemikirannya menginspirasi banyak orang, ternyata tak terjadi gejolak di masyarakat kita. Juga biasa saja responsnya.
Tumbuh di Atas Emas
Baiklah kita kembali ke Pulau Buru. Ketiga, pulau ini terkenal dengan pohon kayu putihnya. Itu sebabnya minyak kayu putih buatan Pulau Buru sangat disukai. Harum dan hangatnya tahan lama. Keempat, ini yang menjadi kepedulian saya, hadirnya emas yang bukan hanya memicu kerusakan lingkungan di sana, tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial besar-besaran.
Di Pulau Buru, emas semula hanya ditemukan di kawasan Gunung Botak. Tapi, belakangan, emas juga ditemukan di empat kawasan lain. Hadirnya emas membuat para petani dan anak-anaknya meninggalkan sawah dan ladang mereka. Emas yang dikelola penambang liar diolah dengan menggunakan air raksa dan merkuri. Penggunaan dua bahan kimia itu membuat sungai- sungai dan pantai tercemar.
Di Teluk Kayeli di Kabupaten Buru, banyak ikan yang mati akibat tercemar oleh air raksa dan merkuri. Masyarakat luar mendengar kabar ini. Mereka pun enggan membeli ikan dari nelayan-nelayan di Pulau Buru. Nelayan di sana pun merana. Emas memanjakan mimpi masyarakat adat yang ingin kaya mendadak. Anak-anak remaja meninggalkan bangku sekolah untuk berburu emas. Mereka yang beruntung menemukan emas segera membangun rumah-rumah baru di atas lahan sawah yang terus menyusut akibat ditinggalkan petani dan anak-anaknya.
Mereka membeli sepeda motor dan berbagai barang elektronik lainnya. Adapun yang lainnya mati terkubur timbunan lubang-lubang tambang. Bersamaan dengan itu, tak jarang terjadi konflik. Perang antarsuku nyaris pecah. Sementara penyakit seksual menular pun marak karena para cukong perlu menjaga stamina buruh-buruh bawaannya yang didatangkan dari jauh. Itulah potret perubahan sosial di Pulau Buru.
Pohon kayu putih yang tumbuh di atas emas itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Bahkan tanahnya digerus karena dicurigai ada emas di bawahnya. Padahal, pohon kayu putih tumbuh alami, pemberian Tuhan yang tak perlu dibibitkan. Perubahan itu hingga kini masih terus bergulir dan saya tidak tahu sampai di mana ujungnya. Tapi, sejujurnya, saya merasa sangat tidak nyaman dengan perubahan yang berakibat buruk dan terus terjadi akibat adanya pembiaran. Lalu, mesti bagaimana?
Kampoeng BNI
Melalui Rumah Perubahan, sudah sejak beberapa tahun lalu kami mulai terlibat dalam sejumlah aktivitas pemberdayaan masyarakat di Pulau Buru. Beruntung saya mendapatkan dukungan dari Bank BNI Tbk. Bersama- sama kami mengembangkan Kampoeng BNI (KBNI) di Pulau Buru.
Saya paparkan apa saja yang sudah dan akan kami kerjakan di sana. Bank BNI, melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR)-nya, mendonasikan lebih dari seratus ekor sapi untuk menambah sapi-sapi yang sudah kami pelihara bersama masyarakat. Anda tahu, kegiatan CSR semacam ini kalau landasannya hanya charity, hasilnya akan langsung menguap. Hilang tanpa bekas. Untungnya Bank BNI tidak begitu.
Konsepnya adalah pengembangan komunitas grass root. Untuk mengelola sapi-sapi bantuan Bank BNI tersebut, kami pun menerapkan sistem gaduh. Apa itu? Sederhana saja. Sapi-sapi itu kami titipkan kepada keluarga-keluarga yang ada di sana untuk dipelihara. Ketika berkembang biak, anak pertama dari sapi tersebut menjadi jatah mereka. Ketika sapi tersebut melahirkan lagi, anak keduanya kami jadikan modal bergulir, dipinjamkan lagi ke keluarga yang belum memperoleh bagian. Begitu seterusnya. Sistem gaduh sapi ini tidak berdiri sendiri.
Kami juga mengajari masyarakat di sana untuk memanfaatkan kotoran sapi sebagaisumberbahanbakubiogas. Biogas itu dijadikan sumber energi yang dipakai untuk penerangan dan bahkan memasak. Saat ini kami sedang membangun instalasi penyulingan minyak kayu putih kedua dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakarnya.
Kelak, kalau ingin menyuling minyak kayu putih, mereka tak perlu menebangi pohon hanya untuk mendapatkan kayunya. Jadi, akan jauh lebih efisien, karena tak perlu mengeluarkan biaya untuk bahan bakar. Itulah, antara lain, yang kami lakukan di Pulau Buru melalui konsep Kampoeng BNI. Di luar itu, Anda akan dengan mudah menemukan kampoeng-kampoeng lain yang dikembangkan BNI di berbagai daerah di Indonesia. Di Subang, misalnya, ada KBNI Peternakan Sapi.
Di Ciamis ada KBNI jagung manis. Di Rembang ada KBNI Batik Lasem Rembang, lalu KBNI Ikan Nila di Ponorogo, dan seterusnya. Daftarnya sangat panjang. Saya punya catatan soal ini. Kalau melihat konsepnya, KBNI setidak-tidaknya memiliki dua kata kunci. Pertama, KBNI adalah program pemberdayaan masyarakat melalui penyaluran kredit atau bantuan lainnya dengan sistem kluster. Melalui sistem ini, setiap kluster kelak diharapkan memiliki berbagai macam produk unggulan yang menjadi ciri khas suatu daerah.
Pulau Buru, misalnya, akan memiliki minyak kayu putih sebagai produk unggulannya. Kata kunci kedua dibangun atas prinsip community enterprise. Apa itu? Apa bedanya dengan social enterprise? Social enterprise adalah wirausaha sosial, tetapi didirikan dan dimiliki oleh individu. Sementara community enterprise adalah lembaga wirausaha yang didirikan dan dimiliki oleh komunitas.
Lembaga ini bertujuan menyelesaikan sendiri permasalahan yang mereka hadapi. Kalau mau disederhanakan, konsep community enterprise ini agak mirip dengan koperasi. Dengan konsep kluster dan komunitas, tak mengherankan kalau kita menemukan KBNI ada di mana-mana, sebagaimana sudah saya sebutkan sebagian di atas.
Dan saya berharap daftar KBNI akan terus bertambah panjang dan menyebar di manamana. Kita perlu menjaga terus ”roh” BUMN sebagai agen pembangunan dan saya senang Menteri BUMN kita tak melupakan peran ini, apalagi itu di Indonesia timur yang telah banyak memberi tanpa pernah meminta.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan