Belum lama berselang saya membaca cepat buku karya Allijulah Hasan Jusuf, pensiunan pegawai Kedutaan Besar RI di Prancis. Judulnya, Penumpang Gelap Menembus Eropa Tanpa Uang.
Dari judulnya mungkin Anda bisa dengan mudah membayangkan isi ceritanya. Saya ringkaskan saja sedikit. Ali, panggilan Allijulah, adalah anak seorang prajurit TNI di Aceh. Ia merantau ke Jakarta untuk memperbaiki nasibnya. Di Jakarta, ia sempat menjadi penjaga warung makan dan penjual koran. Meski begitu ia punya mimpi yang besar. Ia ingin belajar diluar negeri.
Ali bertutur, pada saat itu hanya orang kaya yang berani bermimpi untuk belajar ke luar negeri. Maka impian Ali bisa belajar ke luar negeri—untuk memperbaiki nasib tentunya—membuat saya terharu. Sejak itu mulailah Ali mempelajari dan merancang strategi untuk bisa ke luar negeri. Gratisan, tentu saja. Sebab ia sama sekali tidak memiliki uang untuk membeli tiket.
Ringkasnya pada 1967, tanpa paspor, tiket, dan visa, Ali akhirnya berhasil terbang ke Amsterdam, Belanda, dengan pesawat Garuda Indonesia Airways— namanya ketika itu. Ia terbang lewat Bandara Kemayoran. Kisahnya ketika mencoba masuk ke pesawat, transit ke beberapa bandara di luar negeri, upayanya mengecoh petugas di bandara membuat saya mulas.
Sebagai orang yang biasa bepergian ke luar negeri, sungguh tak terbayangkan bagaimana ia bisa mengecoh petugas-petugas tersebut. Pasti butuh keberanian yang luar biasa. Akhirnya Ali berhasil mendarat di Bandara Schippol, Amsterdam. Sesampainya di sana, dilanda oleh rasa bimbang yang luar biasa dan iklim yang tidak mendukung, Ali pun menyerahkan diri ke petugas bandara. Ia kemudian dideportasi, dikembalikan ke Jakarta.
Kisah Ali kemudian menjadi berita di mana-mana. Saya, dan mungkin juga Anda, tentu tak sepenuhnya setuju dengan kelakuan Ali. Tapi, lepas dari itu semua, saya menilai dia sungguh-sungguh punya visi dan punya nyali. Kalau meminjam istilah Don Corleone dalam novel karya Mario Puzo, The Godfather, ia sungguh- sungguh orang yang punya ”bola”. ”Vision without guts is fantasy ,” kata Toba Beta, penulis buku Master of Stupidity .
Head, Heart, dan Guts
Dalam banyak literatur kepemimpinan, seorang pemimpin mesti memiliki tiga hal, yakni head, heart, dan guts . Head artinya kepala. Pemimpin perlu menggunakan ”kepalanya”, sebab saat ini memimpin dengan memakai cara-cara lama, cara-cara konvensional, sudah tidak cocok lagi. Saat ini kesulitan semakin bertambah, masalah semakin kompleks dan bertali-temali, kompetisi luar biasa sengit, dan perubahan terjadi begitu cepat.
Semua itu menuntut cara-cara baru. Jadi, menyelesaikan masalah saat ini dengan cara-cara lama hanya akan menimbulkan masalah- masalah baru. Bukan menyelesaikannya. Kita bisa melihat contohnya di mana-mana. Setiap habis Lebaran, banyak pemerintah kota melakukan berbagai cara untuk membendung urbanisasi. Dari mempersulit urusan administrasi kependudukan, merazia rumah- rumah hingga melakukan operasi yustisi.
Intinya, mereka tak ingin kota yang sudah penuh sesak ditambah lagi dengan para pendatang baru. Salahkah? Semua cara yang dilakukan pemda sudah dipakai sejak puluhan tahun silam. Dan cara itu masih juga dipakai pada saat ini. Mengherankan. Apakah tidak ada cara baru? Padahal dalam diskusi pada ajang Asia-Pacific Urban Forum pertengahan Oktober lalu di Jakarta, urbanisasi tak lagi dianggap sebagai masalah.
Malah melalui urbanisasi, suatu tempat bisa tumbuh dan berkembang menjadi kota-kota baru. Urbanisasi memasok kota dengan sumber daya manusia (SDM) baru, yang tidak tersedia sebelumnya. Jadi, urbanisasi malah menjadi salah satu unsur penting dalam pembangunan. Dengan mindset baru semacam ini, masih perlukah razia pendatang ilegal atau operasi yustisi?
Contoh lain kala harga daging sapi melonjak hingga Rp150.000/kg. Kepolisian kemudian menangkapi para pedagang sapi yang enggan menjual sapinya karena menunggu harga yang lebih baik. Dalam bisnis, aksi para peternak sapi tadi disebut spekulasi. Salahkah? Dalam bisnis, spekulasi adalah hal biasa. Ia menjadi darah bisnis itu sendiri. Aksi ini terjadi setiap hari.
Lihatlah di Bursa Efek Indonesia, Bursa Berjangka atau pasar uang. Semuanya penuh dengan spekulasi. Kalau mereka tidak ditangkapi, mengapa pedagang sapi yang berspekulasi malah ditangkapi? Begitulah kalau kita memakai cara lama untuk menyelesaikan permasalahan saat ini. Banyak tidak cocoknya.
Masyarakat Korup
Heart artinya hati. Pemimpin gaya lama hanya fokus pada angka-angka. Kerjanya hanya mengejar-ngejar bawahan agar targetnya tercapai. Pemimpin model lama semacam ini bisanya hanya menekan. Pemimpin yang memakai hatinya tidak akan melakukan hal yang seperti itu. Ia akan sering menepuk pundak bawahannya, menanyakan kabar istri dan anak-anak mereka.
Memang tugas pemimpin adalah membawa organisasi mencapai tujuan. Hanya caranya bukan dengan main tekan, melainkan memberi inspirasi, membangkitkan antusiasme, keyakinan, dan optimisme. Bukan mengejar-ngejar bawahan. Sekarang kita bicara soal guts alias nyali. Di negara kita, pemimpin yang bisa berpikir dan punya hati jumlahnya mungkin banyak.
Tapi pemimpin yang punya nyali? Kita hidup di negara yang kaya paradoks dan serbaambigu. Maka tak mengherankan kalau banyak keanehan yang terjadi. Lihat saja. Kita merindukan pemimpin yang mau menghadapi risiko dan berani mengambil keputusan untuk memecah kebuntuan. Tapi, kalau ada pemimpin yang seperti ini, ia malah jadi bulan-bulanan dan tidak disukai.
Didemo, ditersangkakan, dipansuskan, dijadikan bulanbulanan di media sosial. Contohnya, ketika pemerintahan Jokowi-JK mengurangi subsidi BBM, rakyat marah. Hasil survei setahun pemerintahan Jokowi-JK membuktikan bahwa popularitas mereka menurun. Rakyat tidak puas dengan hasil kerja pemerintahnya yang berani memangkas subsidi BBM.
Bukankah kita sudah lama mengolok-olok presiden- presiden sebelumnya yang dikatakan kurang berani? Ketika ada pemimpin BUMN berani menerobos kebekuan di pelabuhan, kita malah ingin mengadilinya di arena politik lewat pansus.
Gila, bukan! Ini urusan ekonomi mikro, operasi bisnis badan usaha, kok malah ditarik-tarik ke ajang politik. Apa maunya? Kalau memang ada yang keliru, ada pelanggaran hukum, seret saja ke pengadilan. Bukan ke pentas politik.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan