Satu per satu tokoh perubahan Indonesia mulai diperkarakan. Setelah RJ Lino dipansuskan, hari Sabtu kemarin kita membaca berita tentang Risma ditersangkakan.
Beruntung, berita kriminalisasi terhadap Risma cepat diangkat media, dan dalam hitungan menit semuanya berubah.
Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengaku bingung karena setahunya kasus itu sudah dihentikan. Pembaca Kompas menulis, \”Kalau Kapolrinya saja bingung, apalagi kita?\”
Saya ingin mengingatkan kepada semua penyidik, auditor, dan penegak hukum, bekerjalah dengan akal dan budimu. Jangan mudah diperalat oleh kekuatan tersembunyi, massa yang digerakkan kelompok tertentu, atau oleh orang-orang yang berkepentingan.
Carilah bukti yang benar, bukan yang dibenar-benarkan. Penyidik bukan politisi, melainkan penegak dan pelindung kebenaran.
Setiap orang yang melakukan perubahan itu pada dasarnya adalah orang yang bekerja untuk kita, untuk kesejahteraan dan kehidupan anak-anak kita.
Mereka bukan hanya meminjamkan kecerdasannya, melainkan jauh lebih penting: keamanan hidup mereka.
Lihatlah apa yang terjadi dengan Munir? Bacalah pula sejarah. Perhatikan, hampir semua pejuang perubahan mati dibunuh bangsanya sendiri.
Bacalah tentang Ghandi, Martin Luther King, Abraham Lincoln, bahkan juga Marsinah dan Salim Kancil.
Bangsa ini juga harus belajar menghormati pelaku-pelaku perubahan, bukan menganiaya dan menjadikannya sebagai \”santapan\” .
Bukalah track record mereka, bandingkan antara tuduhan yang dibuat-buat dan hasil kerja nyata yang telah diberikan bagi bangsa.
Kalau tuduhan bisa dibuat-buat, hasil kerja nyata tak bisa dibantah. Hasil yang spektakuler juga belum tentu bisa diberikan oleh mereka yang mengaku mampu menggantikannya.
Mereka (yang mengaku mampu) bisa saja pandai, tetapi perubahan butuh lebih dari sekadar kepandaian, yaitu nyali.
Mereka diuji dengan uang
Saya tak begitu kenal dengan Risma walaupun beberapa kali duduk semimbar di berbagai kampus. Namun, kita semua tahu hasil kerjanya.
Kalaupun bertemu, kami hanya bersalaman, lalu saya lihat raut mukanya yang bahagia.
eperti kepada RJ Lino, Ignasius Jonan, atau Risma, saya selalu berkata pendek kepada mereka, \”Tetaplah sehat, semoga Tuhan selalu bersama Bapak/Ibu.\”
Hal yang sama juga diberikan kepada sahabat saya, Awang Faroek Ishak, yang sempat duduk di kursi roda setelah berjuang keras membatasi laju usaha tambang di wilayahnya karena merusak lingkungan.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh perubahan yang selalu diganggu. Apakah itu Kang Yoto (Bojonegoro), Ridwan Kamil (Bandung), Abdullah Azwar Anas (Banyuwangi), IB Rai Dharmawijaya Mantra (Denpasar), bahkan juga yang masih muda: Bima Arya Sugiarto (Bogor).
Semua orang itu mengaku sering diganggu. Tentu tingkat tekanan yang mereka hadapi berbeda-beda, dan daya lentur mereka tidak sama.
Namun, semakin mereka teguh, semakin diteriakkan kebalikannya. Mereka lebih suka memakai anggaran pembangunan untuk rakyat ketimbang menyetor untuk para politisi dan preman.
Karena itulah, mereka bisa dianggap kurang loyal. Aneh memang, semakin hari semakin banyak kita saksikan partai pendukung yang justru beralih menjadi penekan. Ini benar-benar anomali.
Yang ditekan pun bukan ide, melainkan orang, jabatan, dan selalu terkait dengan uang (anggaran belanja, investasi, kerja sama usaha, atau pembelian-pembelian).
Di media sosial pun akun-akun anonim bertebaran. Para mafia membentuk akun-akun dengan judul \”anti-mafia\”, \”pro-reformasi\”, \”suara rakyat\”, dan sebagainya yang isinya justru berbalikan dengan judulnya.
Keberadaan mereka tentu karena ada yang memelihara dengan admin yang berjaga 24 jam memutarbalikkan kebenaran.
Non-finito
Dua bulan yang lalu, saya diajak sahabat saya yang mengajar di Firenze, Italia, untuk melihat karya seni rupa Michael Angelo. Dia pun menghadiahkan saya dua replika karya Angelo yang dikenal sebagai \”The Naked Slaves\”.
\”The Naked Slaves\” sendiri terdiri atas 4 patung, yang aslinya setinggi lebih kurang 2,5 meter. Patung-patung itu telanjang, tetapi tidak porno; sesuai dengan zamannya, dibuat dalam era Renaissance.
Kala itu, para pematung pun hanyut dengan science, dan mereka belajar mengenai anatomi tubuh manusia.
Justru keindahan itu ada pada anatominya, bukan bungkus-bungkusnya yang bisa mengaburkan content (isinya).
Nah pertanyaannya, mengapa patung-patung itu tidak selesai? Betul, ke-4 patung itu dinamakan para ahli sebagai karya \”non-finito\” (tidak selesai).
Profesor tua yang menjadi koresponden untuk kajian-kajian yang saya lakukan itu menjelaskan, \”Inilah bagian dari sejarah penting Italia. Anda tahu kan, abad ke-17 hingga ke-18, Italia dikuasai mafia. Mereka terus menganggu wali kota, gubernur, seniman besar, dan penguasa. Mafia terus menekan agar karya-karya mereka tak selesai, lalu dihujat oleh massa agar kehilangan kredibilitas, lalu dituding korupsi walaupun tak ada buktinya sama sekali.\”
Saya jadi teringat ucapan Risma saat ia \”tak diberikan lawan\” oleh partai-partai politik yang berseberangan dengan dirinya.
Di Kompas edisi 9 Agustus 2015, saya membaca kalimatnya: Mimpi saya belum terwujud. Apa saja mimpi-mimpi itu?
\”Banyak yang belum tuntas, terutama infrastruktur, seperti jalan lingkar luar barat, luar timur, underpass di Jalan Mayjen Sungkono, pembangkit listrik (tenaga) di Benowo, dan trem yang melingkari kota Surabaya.\”
Kalau semua itu menjadi nonfinito, maka publik hendaknya belajar tiga hal ini. Pertama, setiap kali sebuah infrastruktur selesai, maka bukanlah kontraktor atau wali kota yang diuntungkan.
Apakah itu pelabuhan, jalan tol, kereta cepat, pembangkit listrik, pasar, atau sekadar gorong-gorong di tepi jalan, bila semua itu selesai, maka yang sudah pasti diuntungkan adalah kita, masyarakat.
Kedua, di mana ada proyek, sudah hampir pasti di situ terjadi perebutan dan persaingan. Ada yang mau bekerja tak terima uang, tetapi malah dituding mencuri.
Ada yang mau kerja, tetapi diperas kanan kiri sehingga tidak tuntas. Ada yang terima uang, tetapi tidak memberi kontribusi apa-apa, lalu menuding yang tak terima uang sebagai koruptor.
Ini biasa sekali terjadi di sini. Polanya selalu demikian dalam perubahan.
Ketiga, ingatlah ini. Kalau pemimpin terus diganggu, yang pertama-tama dirugikan adalah kita. Saya tak tahu persis apakah Anda mengamati bahwa ada demikian banyak pekerjaan besar yang non-finito.
Lihatlah tiang-tiang monorel warisan Gubernur Sutiyoso yang tak diteruskan oleh Gubernur Foke.
Lihat juga tiang-tiang konstruksi di atas Kalimalang Jakarta yang mangkrak sekitar 17 tahun dan baru dibangun kembali oleh Menteri BUMN Rini Soemarno lewat BUMN-BUMN di bawah kendalinya.
Yang jelas, negeri ini tak akan maju-maju. Jalan semakin macet, asap semakin pengap, kita hanya membaca keluhan demi keluhan.
Padahal saat orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang itu di-bully mafia, kita mendiamkannya.
Kita suka lupa, kegaduhan dan pertentangan itu sangat diinginkan bangsa-bangsa asing yang merebut pasar Indonesia.
Lihat saja jalan macet, siapa yang diuntungkan? Sudah begitu banyak kaki tangannya yang ikut berkelahi melawan bangsanya sendiri seakan-akan bangsa kita selalu bodoh, tak mengerti hukum, salah memilih, dan seterusnya.
Kita selalu merasa paling tahu, paling benar, dan paling suci.
Change leader tak butuh jabatan
Saatnya kita mengawal perubahan, bukan jabatan seseorang. Jabatan itu, bagi seorang change maker, hanyalah bersifat sementara dan tak penting-penting amat.
Kalau ingin mencopot, ya copot saja. Mereka yang bersungguh-sungguh membangun tak mau berkompromi karena memang bukan itu tujuan mereka bekerja.
Tujuan mereka hanyalah satu: pembaruan. Kitalah yang punya kepentingan, masyarakat luas yang berhak mendapatkan orang-orang terbaik.
Harap diingat, perubahan itu tidak mudah, tetapi kita harus memperjuangkannya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Salam semangat.