Bangsa yang besar selalu bekerja keras mengolah masalah menjadi kekuatan dengan perubahan dan lompatan yang jauh ke depan. Semakin besar masalahnya, semakin jauh lompatannya.
Mereka punya cara berpikir maju, bukan melulu memagari diri dan merasa tak mampu. Bangsa yang besar itu tak pernah mengajarkan bahwa berhemat itu pangkal kaya, melainkan kerja keraslah pangkal segala kemajuan. Hemat itu pangkal pedit (pelit, kikir), bahkan bisa menjadi bangsa penakut dan senang menakut-nakuti.
Apalagi zaman sekarang sudah borderless dan era financial leverage pula. Maksud saya, modal kecil saja bisa di-leverage menjadi besar asalkan kita bisa dipercaya dan mauberbagi kue. Negeri ini tahunya modal itu cuma equity yang ada di buku, padahal ada banyak cara memperbesar modal tanpa keluar uang dan jaminan negara.
Sebaliknya, orang yang pelit kalau memimpin tak mau berbagi kue. Bawaannya curiga terus. Merasa kalah dan dirugikan kalau harus berbagi. Perhatikanlah, kita ribut melulu karena ditakut-takuti mereka yang tak mengerti rahasia bangsa kaya. Bangsa kaya itu membangun infrastruktur besar-besaran, karena begitu infrastruktur dibuka, yang diuntungkan pertama- tama bukanlah pengusahanya, melainkanrakyatnya. Soal kuenya, bagi-bagilah yang adil.
Perang Yom Kippur Mengubah Prancis
Saya ajak Anda melihat Prancis. Pada 1973, negara itu menghadapi krisis energi yang sangat serius. Penyebabnya, negara-negara Arab secara mendadak menghentikan penjualan minyak. Mereka marah karena Prancis mendukung Israel dalam perang Yom Kippur perang antara Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dimotori Mesir dan Suriah.
Akibatnya, pembangkit listrik Prancis pun kekurangan pasokan energi dan menghentikan operasinya. Pada saat itu, PLN mereka, Electricite de France (EDF), mengoperasikan tiga jenis pembangkit, yakni tenaga nuklir, minyak, gas, dan batu bara. Porsi pembangkit tenaga nuklir masih terbatas. Pembangkit listrik tenaga batu bara juga hanya mampu menghasilkan listrik berkapasitas 1.000 megawatt (MW).
Untuk mengoperasikan pembangkit itu, setiap hari EDF mesti membakar 10.000 ton batu bara yang dipasok dari tambang di Lorraine, daerah di Prancis yang berbatasan dengan Belgia, Jerman, danLuksemburg. Tapi, ini pun belum cukup. Boleh dibilang 70% lebih pasokan listrik Prancis diperoleh dari pembangkit bertenaga minyak.
Maka, langkah koalisi negaranegara Arab menghentikan penjualan minyak betul-betul memukul Prancis. Kurangnya pasokan listrik membuat negeri ini krisis, ekonominya lumpuh. Orang tua cemas karena anak-anaknya tak bisa belajar dengan baik, rumah sakit tak bisa melakukan operasi dan menyimpan vaksin karena mesin pendingin mati.
Banyak perusahaan tutup, PHK di mana-mana, konsumsi masyarakat menurun, dan pengangguran membubung. Pada 1975 saja ada 900.000-an penduduk Prancis yang jadi pengangguran. Dua tahun kemudian jumlah pengangguran mencapai 1,1 juta atau sekitar 5% dari total penduduk Prancis.
Akibatnya aksi demo dan mogok kerja yang menuntut perbaikan kesejahteraan terjadi di mana-mana. Kalau sudah demikian, rakyat baru menuntut perubahan. Insinyur, ekonom, dan akademisi dipaksa berpikir kembali sampai ditemukan solusi. Bukan seperti di negeri ini. Setiap kali ada masalah, selalu panggil politisi. Akibatnya makin susah kita karena solusinya cuma soal kekuasaan dan jabatan.
Membangun PLTN
Sebetulnya pada tahun itu Pemerintah Prancis tengah menyiapkan pembangunan dua pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Fessenheim, sekitar 1,5 km dari perbatasan Jerman. Hanya PLTN itu belum beroperasi. Krisis tersebut mendorong Perdana Menteri Prancis ketika itu, Pierre Messmer, mengambil langkah radikal yang dikenal dengan sebutan Messmer Plan.
Messmer memerintahkan EDF untuk membangun PLTN dalam jumlah besar. Slogan PM Messmer ketika itu adalah ”kita tidak punya minyak, tapi kita punya banyak gagasan”. Jika semula Prancis hanya akan membangun dua PLTN, Messmer memerintahkan EDF untuk menambah 32 unit lagi.
Jadi total ada 34 pembangkit yang mereka bangun sekaligus. Mereka juga sempat ribut soal uangnya, tapi untuk masalah itu mereka percayakan pada ahlinya. Mereka menggunakan financial leverage dan melibatkan pihak swasta. Kata mereka kepada saya di sebuah kampus yang sejuk di luar kota Paris, jangankan 35.000 MW, kalau mau berbagi kue, Indonesia hari ini bisa punya 100.000 MW tambahan energi baru agar semua daerah perbatasannya terang-benderang.
Tapi mereka bilang, ajari dulu politisi, penegak hukum, dan para ekonomnya cara berhitung ilmu keuangan modern agar jangan tersesat dan curiga terus. Tahu itu pangkal kepercayaan, kata mereka. It’s all started with mindset. Selanjutnya mereka tunjukkan, dalam perjalanannya, EDF terus menambah jumlah pembangkitnya.
Kini Prancis mengoperasikan tak kurang dari 58 PLTN yang dikategorikan sebagai yang teraman di dunia. Untuk menopang operasional PLTN tersebut, EDF mesti mendidik ribuan karyawan dan teknisi dengan tingkat disiplin yang sangat tinggi. Mereka dididik untuk siap menghadapi tiga kondisi, yakni normal, normal dengan gangguan skala kecil, dan dalam kondisi bencana.
Gajinya juga dibuat tinggi agar tidak bergejolak. Berbeda benar dengan di sini. Semakin digaji besar semakin jadi hedonis dan ingin berpolitik. Mungkin karena menjadi politisi di sini terkesan duit dan kekuasaannya unlimited. Bisa memarah-marahi menteri dan CEO. Di Prancis, politisi amat dibatasi kekuasaannya.
Omongannya juga tidak asbun. Tapi membangun pembangkit listrik dan infrastruktur serta menyiapkan SDM-nya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Rata-rata empat tahun. Maka, tak aneh jika selama beberapa tahun ke depan Prancis masih menghadapi masa-masa yang sulit akibat keterbatasan tenaga listrik.
Ekonominya stagnan beberapa tahun sampai pembangkit itu berfungsi. Namun ada saatnya menanam, ada saatnya pula menuai. Ketika satu per satu pembangkit tersebut beroperasi, krisis energi di Prancis pun mulai teratasi. Pabrik-pabrik kembali beroperasi dan ekonomi Prancis pun menggeliat.
Kini, kita semua tahu, Prancis tumbuh sebagai salah satu negara maju di Eropa dan dunia. Saat ini, sekitar 75% dari pasokan listrik Prancis ditopang PLTN. Sisanya dipasok dari pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, angin, dan energi baru terbarukan (EBT). Prancis tak lagi mengoperasikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Kereta sebagai Backbone
Apa inspirasi yang bisa kita petik dari cerita tadi? Salah satu masalah terbesar kita adalah transportasi. Potretnya sangat timpang. Di kota-kota besar kemacetannya menggila. Sementara di daerah-daerah pinggiran, layanan transportasi sangat terbatas. Imbasnya ke mana-mana. Di antaranya biaya logistik kita menjadi sangat mahal. Salah satu layanan transportasi itu adalah kereta.
Mestinya kita sejak dulu menjadikan kereta sebagai backbone transportasi publik sebagaimana dilakukan negara-negara maju. Kenyataannya berkat lobi-lobi dari industri automotif, itu tidak terjadi. Kini saatnya Indonesia mengoreksi diri. Bahkan sekaligus merancang lompatan dengan membangun infrastruktur secara besar-besaran di hampir semua pulau besar kita.
Tentu kita perlu listrik yang lebih banyak di berbagai pelosok daerah, pelabuhan laut dalam, kapal-kapal bertonase besar yang mau singgah di sini, serta birokrasi yang agile dan bersih. Kita juga tahu ada rencana kereta cepat Jakarta-Bandung. Semua itu butuh kerja sama swasta dan entrepreneur muda agar ekonomi bergerak dan kuenya terbagi. Saya perlu mengingatkan bahwa modal itu bukan cuma equity yang ada di buku perusahaan saat ini.
Equity itu terbatas dan hanya cocok bagi negara yang sudah benar-benar kaya. Katakanlah Qatar atau negara-negara Timur Tengah. Adapun kita? Jadi sesungguhnya ada banyak cara melakukan leveraging yang sehat. Risikonya juga bisa di-swap . Semoga pengalaman Prancis dapat menginspirasi kita untuk berani melakukan lompatan jauh ke depan. Bukankah kita adalah bangsa yang besar?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan