Saya punya banyak kolega yang bekerja di Jakarta, sementara anak dan istrinya tinggal di Bandung. Setiap akhir pekan, ia akan pulang ke Bandung, dan baru kembali lagi ke Jakarta pada Senin pagi. Lantaran pola hidupnya yang seperti itu, di kantornya ia mendapat julukan weekend husband. Mungkin kalau yang menjalani pola hidup seperti itu adalah sang istri, julukannya menjadi weekend wife.
Ketika mendengar gagasan tentang kereta cepat Jakarta-Bandung, mata kolega saya berbinar. Bayangkan jarak Jakarta-Bandung, dan sebaliknya, bisa ditempuh hanya dalam tempo sekitar 30 menit. Itu kalau non-stop. Baiklah kita tambahkan dengan waktu yang dihabiskan untuk berhenti di beberapa stasiun, menjadi 50 menit. Itu pun masih OK. Akan jauh lebih cepat dari orang Bekasi yang berdesak-desakkan lewat jalan tol ke jalan Sudirman-Thamrin.
Ini berbeda dengan teman lain yang biasa melihat kereta barang angkutan logistik di Amerika Serikat. Kawan lulusan Amerika Serikat itu biasa menyaksikan kereta api lewat dengan rangkaian gerbong panjang, yang ternyata hanya pengangkut barang. Dia memimpikan kereta logistik yang bisa menggantikan truk-truk kontainer yang terlihat ngos-ngosan mendaki jalan tol Cipularang dan memicu kemacetan.
Maka, ketika mendengar kereta cepat hanya untuk penumpang, ia pun geregetan. Sedangkan si weekend husband langsung berhitung. Membandingkan harga tiket Jakarta-Bandung (pp) dengan biaya untuk sewa rumah di Jakarta, ongkos pergi ke tempat kerja, plus biaya lain-lain. Termasuk biaya psikologis hidup jauh dari anak-istri. Kesimpulannya, kalau harga tiketnya terjangkau, ia bakal meninggalkan tempat kost papan atasnya di Jakarta dan memilih tinggal di Bandung. Ia akan pensiun sebagai weekend husband.
Anda tahu berapa banyak penghuni Jakarta yang menjadi weekend husband atau weekend wife? Jumlahnya ribuan!
Hitungan Ekonomi dan Disruption
Lalu, tambahkan itu semua dengan ribuan penumpang lain yang pergi karena berbagai urusan. Jumlahnya tentu juga ribuan. Bahkan bisa menjadi puluhan ribu karena daya tarik yang bakal diciptakan. Termasuk kaum muda yang bakal memanfaatkan industri kreatif yang diimpikan Walikota Bandung Ridwan Kamil di sekitar Gedebage, atau wisata pengobatan herbal di kota baru Walini.
Kalikan jumlah calon penumpang tersebut dengan harga tiket. Kemudian, bandingkan hitung-hitungan tersebut dengan investasi pembangunan kereta cepat. Kita bisa menghitung kapan tercapai break event poin dan kapan modal investasinya bisa kembali.
Hitung-hitungan model inilah yang banyak berkembang di masyarakat ketika mereka mengevaluasi model bisnis dari kereta Jakarta-Bandung. Jumlah penumpang diperkirakan di bawah target, harga tiketnya kalau duaratus ribu rupiah, mungkin masih kemahalan. Kesimpulannya: bisnis ini tidak layak, muncul rekomendasi: tutup saja. Ada yang menyimpulkan bahwa bisnis ini bakal menyeret BUMN dalam jurang kebangkrutan. Jadi, lebih baik alihkan saja dananya untuk membangun jalan tol atau proyek-proyek lain. Masalahnya, dana ini bukan dana APBN, melainkan kerjasama bisnis swasta asing dengan BUMN.
Ada juga yang mempersoalkan mengapa memilih mitra usaha dari Tiongkok yang menawarkan bunga lebih mahal? Tiongkok menawarkan pinjaman 40 tahun dengan bunga 2%, sedangkan Jepang hanya 0.1%. Saya perlu mengajarkan anda tentang tarif bunga. Hati-hati. Kelihatannya 0.1% itu murah, tapi itu dalam Yen. Tentu kita jangan gegabah, sebab angka 0,1% itu harus kita ukur swap rate-nya ( untuk menghadapi gejolak perubahan kurs). Dan kalau di swap ke dalam dolar akan menjadi sekitar 2.36%. Sedangkan tawaran tiongkok adalah 2% dalam USD. Begitu cara kita membandingkannya.
Selain itu model bisnis Tiongkok dan Jepang totally different. Yang satu tak ada value creation-nya karena hanya point-to point proyek kereta api yang bakal klop ditangani satu perusahaan saja: PT KAI. Itulah tawaran Jepang. Kereta cepat baru itu dibangun dalam jalur kereta yang lama.
Sedangkan yang satunya dijalankan dengan konsep sinergi BUMN dan value creation yang utuh. Dibuat di badan jalan tol, sehingga selain PT KAI, pemegang sahamnya ada PT Jasamarga. Lalu ia akan menembus kawasan perkebunan milik BUMN PTP VIII yang sudah punya planning untuk membuat kota baru sejak 2009 namun mangkrak karena tak ada akses. Itulah kota baru Walini. Nilai investasinya menjadi jauh lebih mahal karena ia bukan hanya mendatangkan investor untuk membangun akses (kereta cepat), tetapi juga terminal of destination yang merupakan kawasan kegiatan ekonomi (pemukiman, pendidikan, industri, kesehatan dan sebagainya).
Perhatikanlah rute dan exit gate-nya, ia dimulai dari jalan tol (Halim-Jakarta) dan berakhir di dekat pintu tol (Gedebage-Bandung). Makanya agak membingungkan kalau ada yang bisa membandingkan biayanya tanpa membandingkan business model-nya yang 100% berbeda. Atau mengatakan studi kelayakannya sama dan plagiat. Bagaimana mungkin anda memplagiat kalau jalurnya beda, business model-nya berbeda, dan semuanya tidak sama.
Tapi baiklah, Namanya juga perubahan, sudah pasti ada kekuatan disruption-nya. Pelaku utama ekonomi bisa berubah, berbagi porsi. Dari dominasi Jepang kini harus berbagi dengan Tiongkok, lalu menjadi kekuatan ekonomi BUMN. Dari sekedar proyek menjadi value creation.
Di dalam kawasan juga ada yang terancam. Bisa saja menimpa trayek Cipaganti yang sudah nemiliki ribuan kendaraan. Dan mungkin juga kedai-kedai siap saji asing yang marak di rest area jalan tol. Tapi jangan lupa, dusruption juga menjanjikan ribuan bisnis baru di TOD (Terminal of destination)-nya.
Tetapi perhitungan konvensionalnya kebanyakan orang ya begitulah, pakai break event point dan IRR dalam bisnis point to point. Terlalu mudah melihat kenirlabaannya dalam semata-mata urusan transportasi publik yang tak dikaitkan dengan value creation yang dihasilkannya. Maka, saya bisa mengerti kalau masyarakat kemudian diajak bertanya-tanya, mengapa pembangunan kereta cepat ini tidak berada di bawah Kementerian Perhubungan, yang sehari-hari memang mengurusi masalah transportasi point to point, melainkan di bawah Kementerian BUMN.
Menciptakan Value
Cara pandang konvensional yang hanya menghitung nilai proyek tanpa value creation-nya bisa keliru dan membuat bangsa kita tidak maju. Kita berpura- pura menuding bangsa kita yang mulai pintar sebagai korup dan kebodohan. Padahal banyak engineer kita yang sudah mulai memakai jurus kewirausahaan, yang tak bisa lagi dibodoh-bodohi asing.
Benar harga tiket duaratus ribu itu kemahalan dan jumlah penumpangnya yang kalau tak mencapai target bisa membuat BUMN kita bangkrut. Hitungan itu benar kalau ia hanya dihitung sebagai bisnis point-to point tanpa mengukur dan mengambil nilai tambahnya.
Jadi kalau itu dikelola BUMN kita mestinya memandang lebih dari sekadar urusan transportasi. Satu sisi ia adalah agent of development, di sisi lain ia adalah kontributor keuntungan bagi negara. Ya, mereka dituntut menyumbangkan devidennya ke dalam APBN.
Pasar Indonesia yang begitu besar, yang unsur C (consumption-nya) begitu kuat ini akan kita persembahkan kepada siapa kalau bukan bagi bangsa sendiri? Pilihannya adalah, memberikannya kepada asing (produsen otomotif) atau mereka berbagi dalam usaha patungan dengan kita? Semua tentu boleh berbagi, hidup berdampingan. Maklum nilai investasinya besar sekali.
Jari Saya lebih suka menyebut urusan ini sebagai Economy of Value Creation.
Apa itu? Dalam literatur ekonomi, value creation adalah fondasi dari setiap bisnis. Itulah alasannya kita menumbuhkan kewirausahaan. Bahkan itulah yang sudah lama kita nantikan, birokrasi dengan spirit kewirausahaan. Birokrasi jangan cuma menghabiskan anggaran, jangan hanya belanja saja, melainkan pikirkan dan wariskan value-nya bagi bangsa agar menjadi kegiatan ekonomi yang produktif. Bukan sekedar ada, nice to have but then poor maintenance!
Ya, itulah yang selama ini kita saksikan. Fasilitas publik hanya bagus kalau ia masih baru saja. Setelah itu tak ada perawatannya lalu menjadi rumah hantu yang kumuh, bau pesing dan tak diminati publik. Dan kita lalu berpura-pura tak tahu bahwa semua perawatan butuh biaya. Kenyamanan itu ada biayanya, dan publik bersedia membayarnya kalau pelayanannya baik.
Value creation itulah yang mendasari berdirinya setiap perusahaan. Mereka menciptakan value, lalu men-deliver nya melalui cara-cara yang seefektif dan seefisien mungkin. Kalau ini terjadi, pada gilirannya masyarakat, stakeholders (bukan hanya shareholders) dan perusahaan bakal sama-sama untung, lapangan kerja tumbuh, fiskal kita sehat karena pengusaha dan konsumen membayar pajak, dan kesejahteraan meningkat.
Banyak perusahaan di Indonesia yang dalam mengelola bisnisnya sudah masuk ke ranah ini. Tengoklah Astra International. Ia tak hanya memasarkan otomotif, tetapi men-deliver value dalam asuransi untuk kendaraan yang ia jual, bengkel perawatan, derek, suku cadang dan aksesoris lainnya. Tengoklah Podomoro yang tak hanya menjual apartemen, tetapi juga membangun mal dan memungut service charge untuk keamanan, parkir, listrik, air dan sambungan internet. Siapa yang akan memungut value itulah yang akan keluar sebagai pemenang. Begitulah bisnis hidup, tumbuh, memberi manfaat, dan mengerrakkan perekonomian.
Demikianlah para weekend husband dan weekend wife. Mereka juga bukan hanya pekerja dalam arti pencari nafkah bagi keluarga. Mereka juga value creator yang menjanjikan hidup berkeluarga yang lebih indah, kalau juga dapat menikmati layanan hidup modern yang valuable. Para perencana kota pun perlu memikirkan public happiness through value creation.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan