Pekan lalu saya sudah mengajak Anda melihat perang mata uang. Sejak dulu motivasi perang yang sangat dominan adalah merebut kekuasaan dan kekayaan milik negara lain.
Bedanya, kalau dulu dilakukan dengan tentara dan senjata, kali ini senjatanya mata uang. Tiongkok misalnya, belakangan ini dianggap Barat melakukan perang mata uang saat mendevaluasi mata uangnya sebagai respons atas aksi Amerika Serikat (AS) yang sudah lebih dulu ”menggoreng” mata uangnya melalui kebijakan Quantitative Easing dan Tappering Off.
Dulu, kita juga sering melakukan devaluasi untuk memberi insentif pada ekspor nonmigas. Tapi kita selalu dihukum Barat karena dikategorikan sebagai unfair treatment. Jadi, ketika Tiongkok belakangan ini melakukannya, dunia seakan-akan melihat perang mata uang baru terjadi kali ini.
Padahal, perang seperti ini sudah berlangsung lama dan amat kompleks, membuat usia mata uang global berganti sepanjang 25-50 tahun sekali. Dulu, sebelum perang dunia, mata uang perdagangan global adalah uang Portugis, lalu diambil alih uang Spanyol, Prancis, dan belakangan poundsterling. Tapi sejak 1920-an (dan diperkuat pada 1944), dolar AS mengambil alih.
Itu karena Amerika memenangi perang dunia, memperkuat armada maritim dan perdagangannya. Tapi sejak dolar sudah tidak di peg lagi dengan emas (1971), bangsa Eropa bereaksi. Kalau Anda perhatikan, lahirnya mata uang euro sebenarnya merupakan bentuk perlawanan dari bangsa-bangsa besar Eropa terhadap dominasi dolar AS yang sudah muncul sejak 1970-an.
Bahkan pada 1980-an, di tengah kejayaannya, Jepang pernah menantang Barat dengan membentuk Yen Zone yang didukung PM Malaysia Mahathir Mohamad lewat East Asia Economic Caucus yang kemudian dibajak Barat menjadi APEC.
Minggu ini, majalah bisnis yang amat berpengaruh, The Economist, menurunkan cover story tentang bahaya kekuasaan dolar Amerika yang begitu dominan. Menurutnya, belakangan ini, jumlah negara yang berdagang dengan Amerika pada komoditas utama dunia telah berkurang dari 44 (pada 1994) menjadi 32 (2015). Adapun Tiongkok, pada periode yang sama, justru melonjak dari hanya 2 menjadi 43 negara. Majalah The Economist mengesankan era mata uang dolar AS akan segera berakhir.
Ia menjadi rawan kempis karena indikator-indikator di bursa saham sungguh tidak menopang keperkasaannya lagi. Sahamsaham corporate Amerika yang laris manis di masa lalu mulai kurang diminati investor global, merosot dari 39% (1999) menjadi hanya 24%.
Perang Berlanjut
Betulkah hanya kita yang menjadi korban? Saya tidak setuju. Nilai rupiah kita melemah terhadap dolar dan satu dua mata uang lainnya. Tapi tidak terhadap mata uang lain–sebagaimana pernah terjadi pada krisis ekonomi 1998. Kali ini hanya dolar AS yang melejit jauh ke langit. Bahkan euro pun tersungkur oleh menguatnya dolar AS.
Laporan Reuters menyebutkan bahwa sejak awal 2015 dolar AS sudah menguat 10% terhadap euro. Benar pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun. Tapi Singapura yang perkasa saja mulai memasuki tanda-tanda resesi. Dua kuartal berturut-turut ekonominya mengalami kontraksi. Glencore, trading firms yang dijadikan barometer di negeri itu, mulai mengurangi karyawan dan menutup lini usahanya.
Demikian juga trading firms yang menangani komoditas utama dunia lainnya. Demikianlah, jangan kira AS senang dengan menguatnya dolar. Mereka juga pusing. Lapham Hickey Steel, perusahaan baja yang berbasis di Chicago, mengeluhkan soal ini. ”Dolar yang menguat berdampak buruk bagi kami dan industri AS,” keluh Bill Hickey, direktur perusahaan itu, sebagaimana dikutip Reuters.
Perusahaan-perusahaan raksasa AS seperti Procter & Gamble Co, Microsoft, dan Pfizer pun dikabarkan kerepotan menghadapi penguatan mata uangnya. Karena banyak mengandalkan penerimaan dari pasar di luar AS, begitu laporan keuangannya diterjemahkan ke dalam dolar AS, nilai penjualan perusahaan-perusahaan itu menyusut.
Sama seperti perekonomian kita, ketika dikonsolidasikan ke dalam dolar AS, ekspor yang kita lakukan dalam mata uang lain langsung menurun. Kesannya, seakan-akan ekspornya sudah turun jauh sekali, padahal sebagian persoalannya hanyalah akibat terkoreksi oleh translation of currency.
Kembali ke AS, harusnya mereka sama seperti kita, tak suka kondisi semacam ini berlarut- larut. Mereka tentu tak ingin perusahaan-perusahaannya yang sudah dengan susah payah diselamatkan dari ancaman krisis 2008 terpuruk kembali.
Empat Langkah
Anda tentu pernah mendengar seni bela diri yudo atau aikido dari Jepang atau taichi dari China. Filosofi dari seni bela diri tersebut sebenarnya amat sederhana, yakni mengalahkan lawan dengan menggunakan tenaga serangan mereka sendiri. Kali ini kita pun bisa memanfaatkan filosofi tersebut dalam menghadapi fenomena melemahnya rupiah.
Untuk itu kita perlu mengubah mindset, yakni tidak melihat melemahnya rupiah sebagai ancaman, melainkan peluang. Bukankah mindset semacam ini sudah melekat dalam diri seorang pengusaha. Kita bisa memanfaatkan melemahnya rupiah (yang pasti tak akan berlangsung selamanya) setidak-tidaknya untuk empat hal.
Pertama, manfaatkanlah untuk meredam laju konsumsi barang-barang impor yang berlebihan. Inilah momentum untuk mengubah perilaku bangsa kita dari yang konsumtif menjadi produktif karena barang impor yang dibeli dari negeri yang memakai mata uang dolar AS sudah amat mahal.
Kedua, dorong konsumsi produk lokal. Cobalah ganti buah-buahan impor dengan buah-buahan lokal. Demikian juga mulailah hargai sepatu-sepatu buatan dalam negeri seperti Brodo yang tak kalah bagus dengan sepatu buatan Italia atau Inggris. Bukankah jeans buatan Cihampelas tak kalah mutunya dengan Levis? Kalah gengsi mungkin iya.
Tapi mutunya saya kira kita sudah mulai tahu cara mengangkatnya. Ketiga, untuk mendorong ekspor. Sayangnya momentumnya memang tak bagus-bagus amat. Harga sejumlah komoditas belakangan terus merosot. Tapi begini, dalam setiap krisis selalu terjadi switching. Artinya, konsumen di negaranegara pengimpor juga mencari produk yang lebih kompetitif.
Nah dalam hal inilah kita bisa masuk menyajikan alternatif karena mata uang kita relatif melemah dan barang kita masih jauh lebih murah dari negaranegara kaya. Keempat, dorong relokasi industri. Sekarang marilah kita melihatnya dalam perspektif industri. Melemahnya rupiah jelas memukul industri-industri rakitan yang seluruh bahan bakunya harus mereka impor.
Mereka mungkin paling terancam kalau kondisi semacam ini terjadi secara berkelanjutan. Tapi, menguatnya dolar AS membuka peluang baru bagi mereka. Undang saja para prinsipalnya agar mau membangun pabrik di sini. Dengan menguatnya dolar AS, membangun pabrik di sini tentu menjadi relatif lebih murah ketimbang dulu.
Maka, sampai di sini deregulasi yang bakal digulirkan pemerintahmenjadipenting. Izin-izin pendirian perusahaan baru mesti dipangkas habis-habisan. Kita harus meniru Tiongkok yang menggelar ”karpet merah” untuk para investor yang mau menanamkan modalnya di sana.
Maka menyederhanakan perizinan penting, sama pentingnya bagi para bupati di berbagai pelosok Tanah Air agar lebih membuka diri untuk memberikan izin dalam berusaha. Kali ini hentikan nafsu untuk memalak demi bangkitnya lapangan usaha dan penciptaan lapangan kerja.
Nah, soal perang mata uang, nanti kita latih TNI kita, eh maaf, bank sentral, agar tidak membiarkan kesejahteraan kita berpindah semudah bertiupnya angin. Kata teman saya seorang pejabat tinggi di bank sentral, banks follow trade. Jadi kalau Anda bisa nego dengan para pengekspor yang barangnya Anda bawa ke sini agar tidak melulu pakai dolar, bank sih ngikut saja.
Perang mata uang ini masih akan berlanjut dan bisa membuat kesejahteraan hasil kerja keras suatu bangsa berpindah begitu saja tanpa rampasan tentara. Itu sebabnya kita butuh orang-orang pandai bernyali besar untuk mengambil langkah nyata.
Saya mengerti Anda pasti akan mengatakan betapa nikmatnya kita bisa pergi dan berdagang ke mana saja di dunia ini tanpa harus menukar-nukar mata uang, tanpa spekulasi, dan tanpa biaya selisih kurs. Tapi kita juga harus mengerti, perdagangan mata uang antarbangsa telah menjadi bisnis yang dipelihara orang-orang yang mengambil untung darinya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan