Kata inlander merujuk pada ejekan yang dilontarkan penjajah Belanda kepada masyarakat kita. Kata itu membuktikan bahwa Belanda bukan hanya menjajah kita secara fisik, tetapi juga mental.
Maka, muncul ungkapan mental inlander alias mental orang terjajah, yang indikasinya antara lain: baru dikerjakan kalau diperintah atau didorong-dorong, mudah diadu domba dan mengadu, reaktif, mudah dendam, lempar batu sembunyi tangan, selalu merasa miskin dan terbelakang, tidak percaya diri, rendah diri, dan masih banyak lagi.
Meski Belanda sudah lama meninggalkan kita, jejak mental inlander sampai sekarang masih sering muncul. Misalnya, masih menganggap bangsa lain lebih hebat meski kita punya sejumlah ahli nuklir, sehingga tidak mampu membangun dan mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir sendiri.
Lihat proyek-proyek properti kita. Semuanya memakai perancang, konsultan dan nama-nama asing meski cuma dari seberang di dekat sini. Kita juga kurang percaya diri kalau memakai produk dalam negeri. Maka, tak heran kalau Indonesia menjadi surganya merek-merek asing.
Celakanya, mental inlander juga membuat kita merasa tidak mampu membaca potensi yang begitu besar, bahkan saat dolar menguat yang seharusnya mampu membuat kita menguasai pasar dunia. Kita hanya ketakutan tak bisa berbelanja barang-barang impor kalau dolarnya menjadi amat mahal. Kita hanya bisa menyebarkan kebencian, mengadu domba antara si A dengan Si B karena mereka berbeda pendapat.
Penyanyi reggae Bob Marley mengatakan, \”Emancipate yourself from the mental slavery. No one but ourselves can free our minds…\”
SDM Kita di Mancanegara
Awal September lalu saya berkunjung ke perusahaan migas nasional di Kalimantan Timur. Di sana saya menyaksikan betapa hebatnya SDM kita. Dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan kilang gas seantero dunia, ternyata SDM kita ternyata sudah mampu membuat biaya operasional di perusahaan itu yang terendah dari seluruh pelaku dunia.
Pasti Anda curiga, mungkin itu karena faktor gaji. Itu betul, gaji mereka memang lebih rendah jika dibandingkan dengan gaji karyawan kilang gas lain yang ada di luar negeri. Tapi, ada faktor lain.
Pertama, perusahaan ini memang punya SDM yang unggul yang tak henti berinovasi dan sangat telaten. Dulu misalnya, kalau dulu ada mesin yang rusak perbaikannya mesti dilakukan ke Singapura. Ini jelas memakan waktu lama dan mahal. Maka, mereka tergilitik mengotak-atik sendiri. Hasilnya? Bisa tuh. Kini, tak perlu lagi mengirimnya ke Singapura, dan jelas biayanya jauh lebih murah.
Kedua, mereka juga telaten dalam merawat. Alhasil ketika ada gangguan, mereka langsung tahu dan benahi. Cara ini membuat umur mesin jadi tahan lama.
Di banyak kilang gas—bahkan di luar negeri sekalipun, mesin tadi umurnya biasanya hanya empat tahun. Setelah itu diganti dengan mesin yang baru. Di sini, mesin yang sama bisa dipakai hingga 12 tahun. Maaf, ini bukan asal bisa dipakai. Tapi, kelayakan operasionalnya sudah diverifikasi oleh vendor dan surveyor.
Dua faktor itu saja sudah membuat biaya operasional di perusahaan tadi menjadi jauh lebih murah. Belum lagi inovasi lainnya.
Dengan reputasi semacam itu, saya tak heran kalau banyak karyawan dari perusahaan ini yang diminta bantuannya untuk mengatasi masalah-masalah (troubleshoot) yang terjadi di kilang-kilang gas nasional maupun internasional. Saat saya berkunjung, saya melihat banyak tenaga kerja asing yang tengah belajar di anak perusahaan BUMN kita ini. Mereka tinggal di sana berbulan-bulan, belajar dari SDM kita.
Begitu juga oleh kilang-kilang gas nasional. Misalnya, kilang Cilacap di Jawa Tengah, kilang Tangguh di Papua dan kilang Donggi Senoro di Sulawesi Tengah.
Itu di industri migas. Di industri lainnya juga kita memiliki banyak SDM yang hebat. Di industri konstruksi, misalnya, PT Wijaya Karya Tbk pernah mengirimkan ratusan karyawannya untuk mengerjakan proyek-proyek konstruksi di Aljazair. Ternyata sukses.
Layakkah mereka kita sebut inlander? Jelas tidak. Kecuali mereka yang gemar menyebarkan kebencian melalui sosial media, yang hanya sibuk membuat cacian, kritik pedas, bahkan mengadu domba dengan nama samaran (dan kadang nama betulan, yang karyanya tidak kita kenal namun rasanya paling pintar dia). Lalu pernahkah mereka berbuat hal yang penting bagi bangsa ini?
Bagi saya para inlander adalah mereka yang mudah terpukau oleh orang kaya saat berada di luar negeri, diundang untuk ketemu oleh orang kaya di negara tersebut, langsung mau begitu saja sampai lupa dengan jabatannya. Mereka lupa bahwa di sana mereka mewakili kita dengan uang kita.
Siapa mereka? Ssttt… Anda tahulah.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
betul,betul,betuulll! mmg mental pnjajah dn inlander msh bnyk kita jumpai..hal ini juga trjadi di pelosok, yg jd pemimpin mnindas msyrkt, shg msyrkt jd apatis.
Rasanya memang gemas ya, Pak? Rumput tetangga selalu dirasa lebih hijau dan lebih nikmat, sedangkan rumput di halaman sendiri, tidak disadari keberadaan maupun hasil-gunanya.