Ekonomi Kolaborasi – Koran Sindo

Mari kita tinggalkan segala keributan belakangan ini. Kita semua butuh masa depan baru yang lebih menjanjikan, ketimbang masalah terus-menerus. Saya ingin mengajak Anda menjelajahi wilayah-wilayah baru yang tengah mewarnai dunia usaha.

Kadang kita berpikir perusahaan yang jatuh bangkrut itu pasti karena krisis ekonomi, nyatanya hanya dahandahan keringlah yang berguguran kala angin bertiup kencang. Yang daunnya segar dan hijau, duh..malah makin berkibar, tambah ramai seperti Go-Jek, Blu-Jek dan GrabBike.

Kok bisa ya? Sama halnya dengan berita yang kita terima hari-hari ini bahwa ada 74 gerai supermarket merek tertentu ditutup, tapi jangan lupa, toko buah di sebelahnya, yang superspesialis, malah tambah seratus toko baru. Keduanya sama-sama hidup di zaman yang sama, dengan lingkungan dan presiden yang sama pula. Bagi mereka yang resah, hanya berita buruk yang diterima dan diedarkan. Bagi yang ceria justru sebaliknya. Yang galau menyebarkan kegalauan, menghasut kesedihan.

Era Kolaborasi 

Tapi nanti dulu. Bisakah mereka semua menjadi besar atau mati begitu saja? Kalau hidup dan menjadi besar itu tidak mudah, sesungguhnya mematikan perusahaan di negeri ini juga tidak mudah. Anda hanya akan tahu itu kalau Anda pengusaha dan pernah membuat beberapa perusahaan. Siapa sih yang berani masuk dalam black list karena bangkrut? Anda bisa mengalami kesulitan yang lebih besar.

Maka itu, perhatikanlah ekonomi kolaborasi. Kalau kita menjelajah dunia maya dan mengetik collaborative economy, kita akan menemukan banyak ulasan. Ada yang menyebut, sebuah model ekonomi atau bisnis yang berkat teknologi memungkinkan seseorang dapat memenuhi kebutuhannya dari orang lain.

Rachel Bostman, pemikir collaborative economy, mendefinisikannya dengan, ”business models based on horizontal networks and participation of a community.” Menurut Bostman, di sana ada jejaring horizontal, partisipasi, distribusi kekuasaan dan kepercayaan, dan–ini yang perlu jadi perhatian–yakni tidak jelasnya batas antara produsen dan konsumen.

Bagaimana bisa? Saya akan mulai dengan sebuah contoh. Bayangkan begini. Anda bepergian ke luar negeri. Dulu, mungkin sesampai di bandara Anda akan mencari taksi, lalu pergi ke hotel untuk istirahat sejenak. Di mana Anda akan makan malam? Mungkin di salah satu restoran terdekat dari hotel Anda.

Seluruhnya, mulai ongkos taksi, biaya menginap di hotel sampai makan malam di restoran, pasti tidak murah. Apalagi kalau Anda bepergian ke Los Angeles, New York, atau San Francisco di Amerika Serikat. Ketiganya termasuk jajaran kota-kota termahal di dunia. Biaya hidup di sana pasti sangat tinggi.

Nah, collaborative economy mengatasi masalah itu. Ini sama persis dengan mahasiswa- mahasiswa yang saya maaf, ”sepak pantatnya”, agar keluar dari zona ”mamie” dan berani menjelajahi dunia seorang diri. Saya kadang heran kok bisa murah sekali. Ternyata mereka tahu di semua negara kini ada collaborative economy. Mereka survive, bisa keliling dunia tanpa banyak biaya.

Revolusi Business Model 

Sekarang mari kita coba cara baru. Sebagai eksekutif, Anda kembali bepergian ke luar negeri. Sesampai di bandara tujuan, sudah ada mobil pribadi yang bakal menjemput Anda dan mengantar sampai ke hotel…ups maaf, rumah. Anda tidak tinggal di hotel lagi, tetapi rumah yang tidak kalah nyaman dibanding hotel.

Lalu, di mana Anda akan makan malam? Bisa di rumah orang lain yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumah yang Anda tinggali. Di sana pemilik rumah sudah menyulap dapurnya menjadi restoran. Si pemilik rumah adalah orang yang suka masak. Jadi, Anda akan makan malam dengan menu ala rumahan yang disajikan dengan penuh kehangatan oleh tuan rumah.

Bagaimana kita bisa menikmati itu semua? Kuncinya adalah pada teknologi dan jejaring horizontal tadi. Soal mobil pribadi tadi, misalnya, ada aplikasi Lyft yang memungkinkan kita memesan layanan dari mobil-mobil pribadi. Di sana banyak mobil yang, ketimbang menganggur, oleh pemiliknya dimanfaatkan sebagai ”taksi”. Lalu, untuk mendapatkan rumah sebagai pengganti hotel, ada aplikasi AirBnb.

Ini semacam pasar maya, atau e-marketplace. Di pasar ini banyak pemilik rumah yang menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat Anda menginap. Jangan under estimate. Meski rumah, kualitas layanannya sudah distandardisasi oleh jaringan hotel terkemuka, seperti Marriott. Jadi sangat OK untuk Anda tinggali.

Lalu, soal makan malam di rumah. Ada aplikasi Feastly yang memungkinkan Anda mendapatkannya. Biaya ketiganya jelas jauh lebih murah ketimbang Anda bepergian dengan cara pertama tadi. Itulah kekuatan dari collaborative economy yang sebentar lagi akan menyebar secara luas dan membuat banyak perusahaan dengan business model lama yang kebakaran jenggot.

Dan, semua itu hanya mungkin terjadi berkat transformasi teknologi internet. Era pertama, dulu internet memungkinkan perusahaan untuk mendistribusikan informasinya secara meluas ke masyarakat. Tapi semuanya hanya satu arah. Perusahaan ”bicara”, kita ”mendengar”. Era kedua ditandai dengan kehadiran social media, seperti Facebook atau Twitter. Kita jadi bisa saling bicara dan berbagi informasi.

Dulu kalau mau membeli barang, kita bingung mau tanya ke mana. Kini, kita bisa bertanya ke teman- teman di dunia maya. Rekomendasi pun berdatangan. Semua lengkap dengan alasanalasannya. Kini transformasi internet sudah memasuki era ketiga. Internet memungkinkan para penggunanya berkolaborasi.

Pemilik mobil yang menganggur tadi bisa mengoptimalkan mobilnya untuk menjemput Anda. Mobilnya berubah menjadi aset, bukan liabilities. Kalau rumah Anda kosong, ketimbang rusak dimakan rayap, sewakan saja. Kalau Anda pintar masak, optimalkan untuk menjamu tamu di rumah dengan menu-menu rahasia keluarga Anda. Kolaborasi tadi menjadi mungkin berkat teknologi internet.

Berdamai dengan Perubahan 

Lalu, bagaimana nasib perusahaan- perusahaan konvensional jika kolaborasi ekonomi semacam ini semakin meluas? Kenyataannya begitu. Lihat, di luar sana sudah ada Lending Club, pasar maya yang mempertemukan crowd funding dengan para pencari kredit. Ada oDesk yang memungkinkan kita merekrut tenaga kerja dari crowd market. Banyak perusahaan yang kelebihan ruang kantor.

Ketimbang menganggur, sewakan saja. Aplikasi LiquidSpace mempertemukan pencari ruang kantor untuk jangka pendek dengan perusahaan yang kelebihan ruangan. Dan, masih banyak lagi aplikasi lainnya. Lalu, bagaimana kita menyikapi ”para penantang” ini? Kita mungkin bisa melihatnya dari kasus UberTaxi.

Sikap Gubernur DKI Jakarta pun terbelah. Dia mendukung Go-Jek dan melarang UberTaxi. Padahal keduanya sama saja. Keduanya bukan perusahaan transportasi, sehingga tak bisa diatur dengan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Keduanya adalah perusahaan e-marketplace. Aplikasi yang dibangun keduanya, Go-Jek atau Uber Taxi, adalah untuk mempertemukan calon konsumen dengan penyedia jasa.

Jadi, semacam pasar maya. Lalu, bagaimana mau dijerat dengan UU Lalu Lintas? Kita sama-sama menyaksikan betapa bingungnya pemerintah menyikapi hadirnya ”makhluk baru” dengan business model baru. Belum selesai dengan Go-Jek, kini sudah hadir me too business-nya, seperti GrabBike atau Blu-Jek. Bahkan kini ada ojek yang pengemudinya bisa menjadi teman curhat.

Namanya, Love-Jek. Aksi gempur juga dilakukan di ranah public relations persis seperti pertempuran untuk merebut kursi CEO Pelindo 2 yang tengah menjadi mesin uang yang amat menguntungkan. Ada media televisi, cyber troops, konsultan-konsultan serikat pekerja, sampai politisi yang sedang butuh panggung.

Mereka yang tak mengerti masalah dan tak pernah ada di sana tiba-tiba berubah menjadi ”pembunuh berdarah dingin” dengan model bisnis ”I Share, Therefore I Am”. Karena, kalau mereka kenal dan mengerti, darahnya menjadi hangat kembali. Padahal, menghancurkan sesuatu jauh lebih mudah daripada membangunnya kembali.

Lagi pula, memangnya gampang menjadi orkestrator di negeri yang banyak serigalanya? Pokoknya, makin seksi makin ramai perang medianya. Segala perubahan yang mulai membuahkan hasil, kalau dia tiba-tiba menjadi mesin uang yang bagus, hampir pasti akan muncul musuh-musuhnya sekaligus orang-orang yang merasa bisa menggantikan, merasa lebih pandai dan lebih suci.

Kawan menjadi lawan, bukannya berkolaborasi, mereka malah saling mencaci. Semua terpulang pada cara pandang, seperti lirik lagu Barbra Streisand ”Lessons To Be Learned”: ”just like the seasons,…..there are no mistakes. just lessons to be learned.” Well , berapa lama orangorang dan perusahaan-perusahaan ber-mindset lama atau berbusiness model kuno itu akan sanggup bertempur menghadapi perubahan tersebut? Melawan jelas tidak ada gunanya.

Alam berubah seperti musim, dan ia tak akan bisa dilawan karena sudah ada aturannya. Akan jauh lebih baik kalau kita berdamai dengan pikiran yang terbuka dan belajar lagi agar lebih pandai menguasai ilmu baru. Bukankah belajar perlu pengorbanan?

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

2 thoughts on “Ekonomi Kolaborasi – Koran Sindo”

  1. sepertinya semua perlu belajar terus dalam ruang yang dinamis, pemerintah sebagai penanggung jawab regulasi( parlemen) dan pelaksana regulasi terus mencermati keadaan yang terus berkembang bukan statis dalam kemapanan, sehingga pada akhirnya masyarakatpun dalam kondisi siap untuk berubah dan berkembang lebih baik…

  2. Artikel yang sangat bagus, menyadarkan kita bahwa keterpurukan ini tidak akan membaik dg hanya diratapi, apalagi dg hanya menyalahkan orang lain, meskipun mungkin orang lain salah tapi bukan berarti kita tdk bersalah. shg banyak yg harusnya menjadi pembelajaran baru terabaikan, (model biz baru, tech yg bisa menjadi enabler, dll)

    Saya mencoba meyakini bahwa pasti ada sisi lain yg positif (hikmah) dari kesulitan yg tengah dihadapi saat ini.

    Tidak mudah memang untuk suatu kebangkitan baru, perlu believe dan perlu endurance yg luar biasa. karena tidak mungkin sekali jadi. awalnya pasti ada proses learning. Repotnya, kalau belum berhasil akan dianggap itu salah. seeing is believing….

    Mengapa banyak rakyat kecewa terhadap pemerintahan ini?Jawaban sederhananya, Krn faktanya tidak (belum) sesuai dengan harapannya.

    berharap Negara lah yang harus memberi kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tidak salah memang.. meski sebenarnya itu bernada tdk kreatif.

    Saya teringat kata2 pak Jonan ketika beliau msh dirut KAI (ketika kami menyampaikan pendapat bhw hrs ada keberpihakan pemerintah thdp industri dalam negeri), beliau mengatakan : jangan pernah berharap negara akan memberi kemajuan kpd perusahaan anda. Anda harus berpikir bagaimana perusahaan anda membawa kemajuan bagi Negara.

    Sepintas membuat frustasi, karena tanpa adanya keberpihakan itu berat bagi industri utk bersaing dg industri china yg skala ekonomisnya sdh sgt tinggi.

    Tapi kembali pada pemikiran yg khusnodhon, mungkin ada biz opportunity lain yg selama ini terabaikan …meskipun harus merubah segalanya.. why not??

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *