Cerita RJ Lino, direktur utama PT Indonesia Port Company (IPC), tentang control room membuat saya terperangah. Isinya begini. Menjelang akhir Juni 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau langsung kondisi di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ia ingin tahu tentang kinerja dwelling time di pelabuhan itu. Kita sudah tahu cerita lanjutannya. Presiden Jokowi marah dan meminta masalah ini dibenahi segera. Kembali ke soal control room tadi. Saat meninjau pelabuhan, control room itu sengaja dipertontonkan kepada Presiden Jokowi. Kesannya control room itu seakan- akan berfungsi mengendalikan kegiatan bongkar-muat di pelabuhan. Begitukah?
Selesai kunjungan Presiden Jokowi, esok harinya control room itu langsung menghilang. Begitu pula dengan orang-orang yang bekerja di ruang kendali tersebut. Bagaimana bisa? Control room itu jelas sandiwara. Diadakan hanya dalam rangka kunjungan presiden. Bagi saya ini jelas sudah keterlaluan, dan menggambarkan betapa jahatnya sistem dan mafia pelabuhan kita.
Dan celakanya, mereka adalah jajaran birokrasi kita. Bayangkan, mereka berani menipu presiden. Saya jadi tak heran kalau angka dwelling time kita begitu tinggi. Dan, jangan hanya lihat pada angka dwelling time -nya. Lihatlah dampaknya pada kinerja perekonomian kita. Biaya logistik kita masih mencapai 24,4% dari produk domestik bruto (PDB)—tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Tapi yang terpenting bukan jumlah harinya yang tak kompetitif, melainkan ketidakpastian bagi dunia usaha. Namanya juga menghadapi mafia yang bermain, kadang lama waktu urusan dokumentasi perizinan impor itu kelar lima hari, kadang seminggu, sebulan, bahkan bisa setahun. Bayangkan betapa mahalnya dan tak pastinya.
Akhirnya pengusaha harus buat stok bahan baku lebih banyak, lebih sering, dengan biaya bunga modal yang makin besar untuk berwirausaha di negeri ini. Sudah mahal, ketidakpastiannya tinggi sekali. Fakta inilah melemahkan daya saing kita sebagai negara. Investor jadi tak tertarik menanamkan modalnya. Bahkan bukan hanya itu. Biaya logistik yang tinggi menyebabkan harga- harga melambung. Ini jelas menyengsarakan rakyat kita.
Fenomena Gunung Es
Kita jelas geram menghadapi situasi ini. Maka ketika beberapa pekan kemudian kita membaca berita tentang ditangkapnya sejumlah petinggi di lingkungan Kementerian Perdagangan oleh pihak kepolisian, kita senang. Apalagi pada saat itu polisi juga menemukan dan menyita uang tunai senilai USD42.000 dan 4.000 dolar Singapura. Kalau dikonversi dalam rupiah, nilainya lebih dari Rp600 juta.
Uang itu diduga hasil suap terkait perizinan impor barang. Maka tak heran kalau ada yang mengaitkan uang itu dengan kasus tingginya dwelling time. Baiklah kalau sebagian Anda senang dengan penangkapan itu. Saya pun senang, meski sekaligus ngeri. Tidak ada kapok-kapoknya. Anda tahu kasus tingginya dwelling time ini sudah berlangsung hampir mungkin 20-an tahun.
Jadi akarnya pasti sudah tertanam begitu dalam. Lalu, yang terungkap baru di Kementerian Perdagangan. Padahal masih ada 16 kementerian dan instansi lain yang berurusan dengan dwelling time. Instansi itu, di antaranya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, badan karantina, beberapa kementerian lain, serta kepolisian. Jadi urusannya pasti tidak mudah.
Nah, saya mau sedikit mengajak Anda berpikir kritis. Ingat, petinggi Kementerian Perdagangan yang ditahan oleh kepolisian baru terkait dengan perizinan impor. Ini sesungguhnya belum memiliki keterkaitan yang jelas dengan isu dwelling time. Mengapa? Supaya jelas, saya ulangi lagi definisi tentang dwelling time .
Menurut World Bank (2011), dwelling time adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu peti kemas (kontainer) dibongkar dan diangkat (unloading) dari kapal sampai peti kemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama. Lamanya dwelling time di pelabuhan ditentukan oleh tiga faktor, yakni pre-clearance, customs clearance, dan post-clearance.
Pre-clearance adalah proses peletakan peti kemas di tempat penimbunan sementara (TPS) di pelabuhan dan penyiapan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Sedangkan customs clearance adalah proses pemeriksaan fisik peti kemas (khusus untuk jalur merah), lalu verifikasi dokumen- dokumen oleh Bea Cukai, dan pengeluaran Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Sementara kegiatan post-clearance adalah saat peti kemas diangkut ke luar kawasan pelabuhan dan pihak pemilik peti kemas melakukan pembayaran ke operator pelabuhan. Jadi, angka dwelling time adalah hasil penjumlahan tiga faktor tadi. Nah, surat izin impor yang diurus di Kementerian Perdagangan tadi belum menyentuh isu sejak pre-clearance sampai post-clearance .
Itu baru izin untuk mengimpor barang. Belum termasuk mengurus keluarnya barang dari pelabuhan. Maka, masalah tingginya angka dwelling time belum terpecahkan sama sekali. Ibarat fenomena gunung es, itu baru sedikit bagian atasnya yang terpecahkan. Di bawahnya masih ada masalah yang jauh lebih besar.
Tiga Hukum Besi
Kalau mau digali lagi, banyak faktor lain yang ikut menjadi penyebab tingginya dwelling time. Misalnya, murahnya biaya sewa di TPS tadi. Para pengusaha yang gudangnya terbatas tentu lebih suka menyimpan kontainernya di TPS. Murahnya biaya sewa di TPS juga membuat importir enggan menyimpan kontainernya di gudang-gudang milik perusahaan penyimpanan peti kemas.
Memang soal tarif sewa di TPS ini murahnya keterlaluan. Jauh lebih murah ketimbang parkir mobil di pusat-pusat perbelanjaan. Maka, tak heran kalau importir lebih suka menyimpan peti kemasnya di TPS. Masalah inilah yang kemudian didobrak oleh PT Indonesia Port Company (IPC) dengan menaikkan biaya sewa penyimpanan peti kemas di TPS per Januari 2015.
Tapi itu baru menyelesaikan satu masalah. Belum masalah-masalah lainnya. Masalah lain adalah buruknya infrastruktur jalan raya. Kemacetan jalan menuju atau ke luar dari pelabuhan sungguh- sungguh membuat kita nyaris gila. Kalau mau mencoba, sesekali melintaslah di jalan layang tol Pluit-Tanjung Priok.
Di sana Anda, sambil terjebak dalam kemacetan, akan bertemu dengan antrean panjang dari truk-truk kontainer yang merayap menuju pelabuhan. Begitu pula dengan sebaliknya. Ketika keluar dari kawasan pelabuhan, truk-truk itu kembali terjebak dengan kemacetan. Kalau datang dan perginya truk terlambat, tak heran kalau keluarnya kontainer dari kawasan pelabuhan pun ikut terhambat.
Maka jadilah kontainer- kontainer itu menumpuk di TPS. Baiklah, dengan begitu banyak masalah, apa yang bisa dilakukan? Untuk itu, saya ingin menyinggung sedikit soal tiga hukum besi dalam proses perizinan. Ketiganya adalah jelas persyaratannya, jelas biayanya, dan jelas kapan selesainya.
Apa implementasinya? Jelas, realisasikan segera Indonesia National Single Window (INSW) yang bukan sandiwara. Artinya pengawasannya harus kuat. Dengan adanya INSW, semua urusan yang terkait impor barang dilakukan secara online . Tak ada lagi tatap muka. Seiring dengan itu, untuk masing-masing kementerian dan instansi yang terlibat dengan urusan kepabeanan, segera terapkan Service Level Agreement -nya.
Minta mereka menetapkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengurus suatu dokumen. Lalu, yang terakhir—ini yang agak membuat saya lemas, perkuat koordinasi. Mengapa saya lemas? Soal koordinasi, Anda tahulah masalahnya. Bahkan saya bisa bilang, negara kita ini sebetulnya sudah pada kondisi ”darurat koordinasi”.
Rumit, ribet, kebanyakan pemimpin, yang masing-masing perlu dicuci motifnya masing-masing. Tetapi, meski agak lemas, kita tidak boleh menyerah, bukan!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan