Non-Finito – Jawa Pos

Saya kenal banyak pemimpin daerah, tetapi hanya sedikit di antara mereka yang mempunyai visi jangka panjang. Kebanyakan orientasi mereka hanya untuk tiga–empat tahun ke depan. Setelah itu mereka sibuk mempersiapkan diri agar terpilih lagi. Atau, jika dia seorang bupati/wali kota, bagaimana agar naik kelas menjadi gubernur.

Oleh karena orientasinya hanya tiga–empat tahun ke depan, bisa dipastikan banyak programnya yang populer. Berjangka pendek. Misalnya membangun taman-taman kota, merapikan trotoar dan lampu-lampu penerangan jalan, memperbaiki jalan-jalan yang berlubang, serta membenahi fasilitas publik lainnya.

Pendeknya, program-program yang cepat terlihat dan dirasakan masyarakat. Itu tidak jelek. Bagus-bagus saja. Hanya, saya melihat banyak masalah kita yang tidak bisa diselesaikan dengan program-program jangka pendek. Program-program seperti itu tidak menyentuh, apalagi menyelesaikan, akar masalahnya. Banyak masalah kita yang harus diselesaikan dengan program-program jangka panjang.

Celakanya, para pemimpin daerah yang mempunyai visi jangka panjang kerap menuai sejumlah hambatan. Misalnya, dia harus berhadapan dengan rakyat yang kerap kali tidak sabar melihat hasil kerjanya. Dia juga harus berhadapan dengan wakil-wakil rakyat di DPRD yang kerap memanfaatkan ketidaksabaran rakyat.

Masalah yang lebih serius adalah tidak ada garansi bahwa proyek-proyek jangka panjangnya bakal tuntas semasa sang pemimpin itu menjabat. Bukankah di negara kita ada ungkapan ”ganti pejabat, ganti kebijakan”?

Beruntung kalau proyeknya dilanjutkan. Meski begitu, jelas bukan pemimpin si pemrakarsa yang akan mendapatkan nama, melainkan pemimpin berikutnya. Kondisi seperti itulah yang membuat negara kita belakangan miskin dengan karya-karya besar.

Tidak Selesai

Dunia kita sebetulnya kaya dengan karya-karya besar yang tidak tuntas. Saya menemukannya di Firenze, Italia. Di sana ada karya-karya agung dari para tokoh pembaharu, tokoh renaisans. Di antaranya Galileo Galilei, arsitek agung Michelangelo dan Donatello, serta pelukis Leonardo da Vinci.

Karya-karya besar itu dibangun puluhan hingga ratusan tahun. Sejak abad ke-11 hingga 15. Begitu indah dan mengundang rasa ingin tahu jutaan orang dari mancanegara. Udara panas sekitar 40 derajat Celsius ternyata tak menghambat mereka melihat keajaiban renaissance.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah patung-patung karya Michelangelo. Anda tahu, patung-patung itu dipahat dari batu cadas kelas satu: marbel (marble). Kebetulan, di daerah Tuscany dekat Firenze, ada batu marbel berkualitas prima. Saking kerasnya batu marbel itu, memahatnya tidak hanya membutuhkan kerja keras, tetapi juga ketelitian yang luar biasa, dan tentu ada yang tidak selesai.

Mengapa karya besar itu tak diselesaikan dan tetap dianggap sebagai karya seni yang selesai? Ada banyak teori. Misalnya, pembuatnya ingin menunjukkan betapa keindahan sudah tampak dari karya yang belum diselesaikan.

Teori lain, sang seniman ingin menunjukkan sulitnya membuat sebuah karya. Atau pembuatnya harus segera pindah ke kota lain, berubah pikiran, kehabisan waktu untuk menuntaskan karyanya, atau ditinggal mati penyandang dana.

Penuh Ketidakpastian

Karya-karya besar tadi seakan meninggalkan pesan: adanya kendala yang kini amat menggejala di kalangan pemimpin, yaitu ketidakpastian. Itulah filosofi non-finito dalam setiap perubahan. Para kepala daerah perlu mencamkan hal tersebut. Kalau mereka ingin menghasilkan karya besar, perubahan besar, bersiaplah berhadapan dengan ketidakpastian.

Sewaktu menjadi gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso menggagas pembangunan monorel dan busway. Apa hasilnya? Jakarta semakin macet. Rakyat marah. Apalagi, proyeknya tidak selesai.

Sutiyoso kehabisan waktu. Sebelum proyeknya selesai, jabatannya sudah berakhir. Proyek monorel kini menyisakan tiang-tiang beton berukuran besar di jalan-jalan utama Jakarta. Sementara jalur-jalur busway masih sangat kurang.

Apakah Sutiyoso mewariskan kekacauan bagi ibu kota? Mungkin tidak. Sebab, pembangunan monorel itu memicu tradisi pembangunan infrastruktur publik besar-besaran oleh para penggantinya. Lalu, jalurbusway dan bus-busnya juga terus ditambah. Masyarakat pun kini semakin cerewet menuntut pemerintahnya menyediakan angkutan publik yang andal.

Dulu seorang pemimpin perubahan sulit sekali melakukan sesuatu yang berpikiran jauh ke depan. Dia tahu pasti akan kehabisan waktu mengurus banyak hal dan ketidakpastian. Mulai perizinan, anggaran, teknologi, negosiasi dengan politisi, perencanaan, birokrasi, pengadaan, dan sebagainya. Tapi, harap diingat, membangun proyek besar bukan sesuatu yang instan –sebagaimana saya saksikan di Firenze. Prosesnya pun melewati banyak suka dan duka.

Di negara kita mungkin banyak orang dengan cepat menilai sebagai proyek gagal. Lalu, sang pemimpin yang akan dipenjarakan atau dikriminalisasi. Tapi, saya berharap itu tidak menciutkan nyali para pemimpin kita untuk membangun karya-karya monumental atau proyek-proyek jangka panjang.

Para penegak hukum dan auditor hendaknya juga harus belajar opportunity cost, bukan cuma monetary cost. Dulu kita berhasil melakukannya. Misalnya, kita bangga mempunyai candi atau Stadion Utama Gelora Bung Karno. Betulmonetary cost-nya besar. Tapi tengoklah, opportunity benefit-nya juga besar. Saya berharap kita akan memilikinya lagi.

Hendaknya kita jangan menjadi bangsa yang kerdil, yang beraninya hanya menjadi UMKM, atau membangun jalan tol puluhan kilometer saja. Kita butuh energi besar, mewariskan karya-karya besar, dan melakukan perubahan besar.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *