Memasuki usia setengah abad, kita kerap terkena gejala penuaan: mata mulai kurang awas, gerakan melambat, dan kalau sakit lama sembuhnya. Lebih repot lagi cara berpikir kita pun kerap mulai ketinggalan zaman. Surat kabar pun bisa seperti itu.
Namun, kalau asupan (SDM, informasi) dan kebugaran (teknologi, kepemilikan, keuangan) terjaga, ia bisa tetap gesit menguji kebenaran. Itulah yang dilakukan harian Kompas. Itu sebabnya pada usia yang ke-50, di mata saya, Kompas tampil bak pria mapan pasca-menjalani terapi stem cell untuk meremajakan sel-sel tuanya.
Saya tahu bisnis media cetak lebih rumit daripada bisnis bank. Selain lebih berisiko, return-nya juga tak sebesar bisnis perbankan. Meski keduanya sama-sama menghadapi ancaman digitalisasi, bisnis bank terus tumbuh.
Ini berbeda dengan bisnis pers. Memasuki abad ke-21, Kompas hidup dalam bayang-bayang kematian industri. Sudah pembacanya semakin terfragmentasi, perilaku membaca pun berubah total. Pada era digital, banyak pembaca yang sulit fokus terlalu lama. Itu sebabnya mereka ingin berita yang lebih pendek-sesuai dengan lebar layar gadget-nya, lebih ringkas dan to the point.
Tekanan perubahan
Di Amerika Serikat, beberapa media cetak tutup diterjang digitalisasi. Kalau koran sejernih Kompas ikut mati akibat era digital, itu sama saja dengan teknologi mengebiri demokrasi. Sebab pers adalah pilar ke-4 demokrasi. Newspaper should lead, that it has an obligation to its community that it is beholden to the public (Caroll, 2014).
Dulu pejabat Orde Baru takut dengan Kompas sebab masyarakat lebih percaya Kompas daripada Departemen Penerangan.
Namun, waktu berlalu dan dunia pers berubah. Washington Post yang pada 1970-an mampu meruntuhkan kekuasaan Richard Nixon kini beralih kepemilikan ke pendiri Amazon, Jeff Bezos. Koran-koran besar pun satu per satu bangkrut atau jatuh ke tangan private equity. Di sini, surat kabar diminati politisi untuk membentuk opini sehingga ukuran return-nya agak berbeda.
Sebagian pihak bilang zaman telah berubah. Bisnis koran tak cocok lagi bagi kaum muda. Betulkah? Sebuah kajian strategic management ternyata menemukan masalah lain, yaitu kurang klopnya pandangan antara pemilik baru dan para jurnalis yang biasa bekerja dengan kebenaran.
Kompas beruntung
Gejala serupa mulai marak di sini. Saya kira Kompas beruntung karena tidak terperangkap dalam putaran kapitalisme uang atau politik. Ia menjadi sedikit yang masih tersisa: dimiliki, dikelola, dan diawasi oleh insan pers profesional.
Barangkali soal kepemimpinan dan kesamaan visi antara pemilik dan wartawan inilah tantangan terbesar bisnis media abad ini. Kepemilikan bisa mengancam produk dan kepercayaan. Padahal, produk pers adalah produk kepercayaan. Ia menjadi sumber verifikasi terakhir dari maraknya gosip, fitnah, kepentingan uang, kekuasaan, dan kebrutalan persaingan.
Kompas menjadi benteng terakhir dari pers perjuangan yang masih hidup. Ia harus berhadapan dengan kekuatan \”aku adalah media\” dalam peradaban interaktif dan peradaban kamera. Ketika semua orang bisa menjadi media dan deraunya begitu kuat, masyarakat perlu petunjuk. Itu hanya bisa diatasi oleh media tepercaya yang menaruh orang-orang pilihannya di lapangan untuk memotret segala gejala.
Benar, media sosial marak, tetapi kebenarannya sulit dilacak. Ia bahkan bisa membuat khalayak bingung. Ada kesenjangan antara tahu dan belum tahu dengan benar atau salah. Di situlah kita membutuhkan Kompas sebagai petunjuk arah. Maka, begitu kelas menengah tumbuh, Kompas justru semakin tangguh.
Saat kapitalisme memasuki dunia pers, yang dikehendaki para pemilik sederhana saja: uang! Dan, itulah masalah dari surat kabar yang didirikan bukan oleh wartawan.
Menjadikan surat kabar sebagai alat untuk memperoleh keuntungan maksimal hanya akan menghancurkan bisnis pers. Benar semua struktur biaya, cara kerja dan teknologinya harus dikaji ulang, tetapi tidak mengubah misinya. Itulah pelajaran dari karut-marutnya persaingan produk pers abad ke-21.
Disrupsi
Dalam buku No Ordinary Disruption (Dobbs, Manyika & Woetzel, 2015) ditunjukkan, perubahan dunia telah memasuki babak 3S: speed, surprise, dan sudden shift. Tak terbayang oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) bahwa ilmuwan-ilmuwan muda India berhasil mengorbitkan stasiun ruang angkasa di sekitar Mars dengan biaya hanya 74 juta dollar AS. Uang ini lebih kecil daripada biaya membuat sebuah film science fiction Hollywood, Gravity.
Di tengah tekanan 3S, mengelola Kompas pada masa depan sama seperti seseorang yang berada di ambang kekacauan perubahan (the edge of chaos). Semua hanya bisa ditangkal dengan kekuatan kepercayaan. Di sinilah inti kekuatan Kompas yang tak dimiliki media-media lain, yakni pada tata nilai yang kuat mengakar, yang membentuk manusia-manusia kritis yang sulit dipereteli kehendak perseorangan dalam memanfaatkan media.
Itulah penggalan pengalaman yang saya dapat kala dibesarkan di Kelompok Kompas-Gramedia lebih dari 30 tahun lalu: kepercayaan. Setiap reporter muda sudah lebih dulu belajar makna integritas jauh sebelum Indonesia mengenal good corporate governance, pakta integritas, komite etik, dan seterusnya. Kini terbukti di tengah berbagai ujian, hanya media berkarakter yang tetap tegak.
Segala keberpihakan, kecuali untuk kepentingan publik, hanya membuat reporter gelisah dan sulit menyelaraskan manajemen. Itu sebabnya banyak media yang terlihat kuat, tetapi rapuh manajemennya. Semoga Kompas tetap setia pada cita-citanya.
Selamat ulang tahun Kompas.