Pemerintah Yang (Kurang) Berdaya – Jawa Pos

Bagi Anda yang kerap bermobil dinihari hingga menjelang pagi, sesekali boleh stay tune di salah satu radio swasta. Di sana kita bisa mendengar bagaimana rakyat mengomentari berbagai isu yang dilontarkan oleh pengelola radio.

Senin lalu (15/6), misalnya, mereka memberikan komentar soal rencana pemerintah untuk mengeluarkan Perpres tentang Pengaturan Harga Pangan. Perpres ini menjadi penting setidak-tidaknya karena dua hal. Pertama, lahirnya perpres ini merupakan amanat UU No 4 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Kedua, kita memasuki Ramadan.

Anda tahu tradisi Ramadan di negara kita, bukan? Meski ini sejatinya menjadi bulan yang tepat untuk menahan diri, menahan hawa nafsu, celakanya tidak terjadi untuk belanja. Bahkan, untuk bahan pokok sekalipun.

Itu sebabnya, harga-harga selama Ramadan justru naik. Beberapa malah melonjak gila-gilaan. Harga telur naik dari Rp20.000 menjadi Rp 22.000per kilogram. Harga ayam potong dari Rp 38.000 menjadi Rp 45.000. Begitu pula harga daging sapi dari Rp 90.000 menjadi Rp 110.000. Itu yang naiknya bisa kita bilang wajar.

Ada juga yang lebih pas disebut melonjak. Contohnya, harga bawang merah dari Rp 20.000 per kilogram menjadi Rp 35.000. Harga cabai keriting dari Rp 20.000 menjadi Rp 40.000.

Macan Ompong

Itulah realitas di lapangan. Maka, ketika pemerintah mengeluarkan Perpres tentang Pengaturan Harga Pangan –sementara harga-harga sejumlah bahan pokok sudah naik duluan–, rasanya jadi menggelikan. Apalagi fenomena semacam itu tak hanya terjadi setahun atau dua tahun belakangan, melainkan lebih dari belasan tahun. Begitu terus, selalu berulang.

Selama Ramadan, pemerintah menegaskan ingin mengendalikan harga pangan. Di lapangan, kenyataannya harga-harga terus bergerak di luar kendali. Maka, tak heran kalau komentar dari para pendengar di radio tadi terkesan pesimistis.

Apa bisa perpres tersebut mengendalikan harga pangan? Jangan-jangan hanya menjadi macam ompong. Dan jangan-jangan ada variabel yang belum kita sentuh. Jangan-jangan pula itu adalah hak rakyat untuk menangguk untung dan konsumennya cuma ribut di mulut. Toh, belanjanya naik terus.

Kita tahu, eksekutor lapangan dari perpres tersebut adalah Kementerian Perdagangan. Instansi inilah yang bakal mengecek sejauh mana pergerakan harga pangan di pasar-pasar. Jadi, ini ibarat pertarungan antara aparat birokrasi dan para pelaku pasar. Tetapi, ada juga sebagian di antara mereka yang berperan sebagai spekulan yang mempunyai jaringan kuat.

Kali ini, nah, dengan bekal perpres tadi, siapa yang bakal menjadi pemenangnya? Mudah bukan menduganya.

Bayangkan saja begini. Aparat birokrasi kita, para pegawai negeri sipil yang gajinya pas-pasan, pukul 08.00 mungkin sudah masuk kantor. Tapi,masih banyak di antara mereka yang tidak langsung kerja, melainkan mencari sarapan dulu entah di kantin-kantin atau warung-warung. Selesai sarapan, mereka minum kopi sambil merokok. Ngobrol santai. Ini bisa menghabiskan waktu sampai satu jam, beberapa bahkan lebih.

Ritual berikutnya masuk ke tempat kerja dan membaca surat kabar atau majalah. Lalu, ngobrol lagi mengomentari berbagai hal yang dimuat di surat kabar. Pukul 10.00 mungkin mereka baru mulai secara efektif bekerja.

Menjelang pukul 12.00, mereka sudah sibuk memikirkan bakal makan siang di mana. Lalu, pukul 12.00 pergi makan siang dan kembali lagi ke kantor sekitar pukul 13.30.Setelah bekerja sekitar dua jam, mereka siap-siap untuk pulang. Harus on time kalau tidak bisa ketinggalan bus. Entah bus angkutan umum atau bus kantor.

Dengan pola perilaku semacam itu, bagaimana mungkin aparat birokrasi kita mengimbangi lawannya, rakyat pedagang dan spekulan, yang sejak dini hari –ketika kita masih terlelap dalam mimpi– berada di pasar. Lalu, sebagian besar transaksi di pasar-pasar juga sudah berlangsung ketika matahari mulai merangkak naik.

Sementara itu, pada jam-jam tersebut, aparat kita baru bersiap-siap melakukan operasi pasar. Mereka berkoordinasi dulu, kumpul-kumpul, dan mengecek apakah para wartawan yang bakal diajak mengikuti operasi pasar sudah datang. Setelah lengkap, baru mereka berangkat.

BUMN-BUMD Yang Bertarung

Kalau desain, remunerasi, dan strukturnya seperti ini, birokrasi kita tak akan pernah sanggup memenangkan persaingan dengan para spekulan yang lincahnya bukan kepalang. Sekali lagi, tak akan pernah! Sejak kapan harga-harga sejumlah bahan pokok turun, atau katakanlah stabil, semasa Ramadan? Tidak pernah, bukan?

Aparat birokrasi kita memang tak pernah didesain untuk bertarung di lapangan. Apalagi melawan para pelaku pasar. Mereka tak punya energi dan motivasi untuk melakukannya.

Maka, mekanisme pasar harus dilawan dengan mekanisme pasar. Pebisnis harus dilawan dengan pebisnis. Itu baru sebanding. Jadi, jangan minta aparat birokrasi kita untuk bertarung. Serahkan urusan tersebut ke BUMN-BUMN atau BUMD-BUMD kita. Biarkan mereka yang bertarung. Kita punya Perum Bulog.

Mengapa kita tidak memanfaatkan habis-habisan perusahaan umum itu untuk bertarung menghadapi ulah spekulan. Jangan malah digembosi.

Sekali-sekali bolehlah kita berharap pemerintah memberi kita THR dalam bentuk harga-harga bahan pokok yang stabil. Syukur kalau bisa turun. Dan, kita tak akan lelah berharap.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *