Sewaktu kecil saya sering diajak ayah menyaksikan pertandingan olahraga antarkampung. Ada pertandingan sepak bola, ada juga bulu tangkis. Bukan hanya itu. Semasa kecil saya juga kerap diajak menyaksikan pertandingan sepak bola baik tingkat nasional maupun internasional di Stadion Utama Senayan yang kini kita kenal sebagai Stadion Gelora Bung Karno (GBK).
Pengalaman itu masih membekas hingga kini. Lewat pertandingan-pertandingan tersebut, saya diajari tentang pentingnya sportivitas. Saat bertanding, seluruh pemain betul-betul bertarung habis-habisan. Saling dorong, saling jegal, saling serang.
Tapi, itu hanya terjadi di lapangan. Begitu pertandingan selesai, mereka kembali berteman. Tim yang menang bersorak gembira, tim yang kalah menerima. Sama sekali tidak ada yang tersinggung atau tidak terima atas kekalahannya.
Sayang, setelah menjadi orang tua, saya tak pernah mengajak anak-anak saya menyaksikan pertandingan olahraga. Baik pertandingan antarkampung maupun yang dilakukan di Stadion GBK. Mengapa? Jujur saja, saya khawatir tak mampu menunjukkan adanya sportivitas di sana.
Ada tim yang tidak puas dengan keputusan wasit. Mereka mengerubungi wasit, main dorong dan main tendang, sampai sang wasit lari terbirit-birit mencari perlindungan.
Lalu, tim yang kalah tidak terima. Mereka meradang dan memicu terjadinya perkelahian antartim. Bahkan, antarsuporter. Mereka ngamuk, menyasar apa saja. Lalu, terjadilah bentrokan suporter dengan masyarakat atau antarsuporter.
Dalam suasana yang rusuh semacam itu, siapa pun bisa menjadi korban. Saya tentu tidak mau saya dan anak-anak saya menjadi salah satu korban.
Itulah yang terjadi kalau nilai-nilai sportivitas sudah semakin tergerus. Akibatnya, prestasi pun mandek.
Dulu di tingkat ASEAN tim sepak bola kita sangat disegani. Kini lihat saja, pernahkah tim sepak bola kita menjadi juara di tingkat ASEAN? Apalagi di tingkat yang lebih tinggi seperti Asia atau dunia.
Mabuk Solidaritas
Namun, ada lagi yang membuat saya lebih cemas. Menurut Heywood Broun, jurnalis olahraga asal Amerika Serikat, dalam setiap pertandingan, bukan hanya sikap sportif yang akan muncul, tetapi juga karakter sejati seseorang akan terlihat di sana. Ia menulis begini, \”Sports do not build character. They reveal it.\”
Ungkapan Broun itulah yang membuat saya cemas. Tontonan yang kita saksikan di ring tinju atau lapangan sepak bola adalah cermin karakter suatu bangsa. Menurut dia, sportivitas ternyata tak hanya terjadi dalam cabang olahraga, tetapi juga dalam dunia pendidikan kita. Coba kita telisik.
Di Surabaya tahun lalu ada guru yang memaksa seorang muridnya yang pintar agar memberikan sontekan kepada murid lain saat ujian nasional (unas). Alasannya demi solidaritas. \”Apa kamu tega kalau teman-teman kamu tidak lulus.\” Begitu cara sang guru memaksa.
Seusai ujian, si anak pintar tadi mengadu kepada orang tuanya. Lalu, sang orang tua melaporkan kasusnya ke dinas pendidikan. Akibatnya, kepala sekolah dan guru tadi dikenai sanksi.
Namun, langkah sang orang tua tadi membuatnya tidak disukai warga di sana. Warga malah mencaci maki sikapnya. Dia pun dipaksa meninggalkan rumahnya. Akhirnya orang tua tadi menyerah. Dia pun pindah rumah dari Surabaya ke Sidoarjo.
Begitulah, kecurangan –sebuah sikap yang jelas sangat tidak sportif– bisa membuat kita mabuk. Kita jadi sulit membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Kini pun di dunia kerja kita saksikan para buruh dan eksekutif solider terhadap nasib temannya yang akan dipecat gara-gara melakukan kecurangan.
Dan jangan heran kalau ada oknum polisi juga solider terhadap bosnya yang karena satu dan lain hal transaksi keuangannya tertangkap bidikan PPATK.
Bukan Kasus Terakhir
Saya pikir, setelah kasus di Surabaya, kecurangan unas kali ini bakal berakhir. Apalagi, pemerintah sudah memutuskan bahwa unas tidak menentukan kelulusan. Nyatanya, itu pun tidak terjadi. Kecurangan terus saja berlangsung.
Contohnya unas kemarin. Pada hari pertama, Senin, 13 April 2015, jam 10-an, soal unas sudah bocor. Soal itu diunggah melalui akun Google Drive. Memang tidak banyak, hanya 30 di antara 11.730 paket soal atau 0,25 persen. Namun, bagi saya, tetap saja bocor dan mengindikasikan bahwa kecurangan terus saja terjadi.
Bukan hanya itu. Kunci jawaban bahkan ternyata sudah beredar. Setelah unas, kunci jawaban bertebaran di sebuah sekolah swasta di Medan. Menurut seorang wakil kepala sekolah di sana, kunci jawaban itu akurat 100 persen.
Mereka mengaku mendapatannya tidak secara gratis, tetapi dengan membeli.
Alasannya, meski unas sudah tak lagi menentukan kelulusan, hasilnya tetap saja memengaruhi reputasi sekolah. Kalau nilai unas rendah, untuk tahun ajaran berikutnya, tak ada murid yang mau mendaftar ke sekolah swasta tersebut. Jadi, mereka terpaksa membeli lembar jawaban unas demi menjaga reputasi sekolah. Apalagi, sekolah-sekolah lain di Medan pun melakukannya.
Kita tentu prihatin dengan perilaku yang sangat tidak sportif tersebut. Anda pernah mendengar ungkapan bahwa kalau kerja koki restoran tidak benar, makanan jadi tidak enak dan restorannya tidak laku. Atau, kalau kerja tukang bangunan tidak beres, mungkin rumah kita jadi lebih cepat rusak. Tapi, apa jadinya kalau kerja guru-guru kita yang tidak benar? Bangsa inilah yang rusak.
Kita tentu tidak ingin bangsa ini menjadi rusak. Apalagi kalau pencetusnya hanya soal \”kecil\”, yakni unas.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan