Transformasi Kawasan Industri – Koran Sindo

Kalau Anda sempat masuk Kawasan Industri Pulogadung, barangkali Anda akan bertanya-tanya. Apa sih bedanya kawasan itu dengan area lainnya? Sejatinya nyaris tidak ada.

Jalan-jalan banyak yang rusak dan menjadi penyebab kemacetan. Siapa pun bebas keluar-masuk kawasan industri. Kalau daerah lain terkena pemadaman listrik, di kawasan industri Pulogadung pun begitu pula. Kecuali Anda punya genset, yang cukup mahal biaya operasionalnya. Ketersediaan air bersih? Pasokannya sama saja dengan daerah-daerah lain di luar kawasan industri. Penerangan jalan? Ada beberapa ruas jalan yang tampak temaram, bahkan gelap.

Fasilitas pengolahan limbahnya entah ada di mana. Banyaknya pedagang kaki lima, juga warung-warung, membuat Pulogadung terkesan kumuh. Bahkan jalan menuju tol tetap saja macet, semrawut, bahkan kawasan ini jalannya mudah rusak, banjir pula. Maka ketika membaca berita tentang fasilitas di kawasan industri Pulogadung akan ditingkatkan, saya senang. Memang ada sebagian kita yang sudah bosan dengan kata ”akan”.

Di negara kita, kata ”akan” biasanya merujuk pada sesuatu yang entah kapan bakal terealisasi. Bahkan, mungkin tidak terealisasi sama sekali. Itu hanya kata yang biasa diucapkan politisi selama masa kampanye. Tapi betulan, jalan berlubang-lubang dalamnya mulai tampak bagus lagi. Pada kabinet pemerintahan yang lalu, ada seorang menteri yang terkenal dengan sebutan menteri ”akan”.

Ke mana-mana dia selalu bicara akan membangun ini, akan menertibkan itu, akan mempermudah perizinan, akan membantu pengusaha kecil, akan meningkatkan akses, dan seterusnya. Semuanya janji. Anda tentu tahu bukan, menteri yang saya maksud? Mudah-mudahan untuk kawasan industri Pulogadung tidak begitu.

Supaya menjadi catatan, ini fasilitas yang akan ditingkatkan di kawasan industri Pulogadung: gerbang elektronik untuk memastikan hanya investor dan karyawan yang bisa masuk, pengelolaan limbah, perbaikan jalan berlubang, penataan lahan hutan kota di dalam kawasan, penertiban pedagang kaki lima dan parkir liar. Alhamdulillah . Sudah lama kita tak melihat kawasan industri baru yang dibuat dengan master plan yang baik, yang mencerminkan kegairahan berinvestasi dan ketertiban ekonomi.

Belajar dari China

Sekarang kita lihat potret yang lebih besar. Saya lama tak mendengar rencana pemerintah membangun kawasan industri. Lalu, muncul berita sampai tahun 2019, pemerintah berencana membangun 19 kawasan industri lebih dari 80% berlokasi di kawasan Indonesia timur. Investasi totalnya bakal mencapai Rp192,44 triliun.

Banyak urusan yang mesti dibereskan untuk membangun kawasan industri. Misalnya harus ada koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sesuatu yang menjadi masalah sangat serius pasca kita memberlakukan UU Otonomi Daerah pada tahun 2000. Masalah klasik lainnya adalah soal ketersediaan infrastruktur. Pasokan listrik harus terjamin ini juga menjadi salah satu masalah serius di negara kita.

Belum lagi masalah ketersediaan air bersih dan pelabuhan- pelabuhan. Jangan sampai barang sudah mulai diproduksi, tak jelas mau diekspor lewat pelabuhan mana. Masalah berikutnya soal ketersediaan SDM. Jangan sampai kawasan industri sudah dibangun dan investor mau masuk, tenaga kerjanya tidak ada. Lalu, masalah yang sangat gawat adalah soal kepastian hukum dan inkonsistensi kebijakan. Saya tak punya banyak komentar soal ini.

Anda pasti sudah tahu warisan yang diterima pemerintah ini. Apa pun, rencana pemerintah membangun 14 kawasan industri sampai tahun 2019 adalah berita yang bagus. Tapi jumlahnya masih kurang banyak, sebab bagi saya agak mengherankan kalau pemerintah berencana menggenjot pertumbuhan ekonomi dan menciptakan banyak lapangan kerja, tapi tidak memasukkan kawasan industri di dalamnya.

Padahal, nyata-nyata kawasan industri memainkan peran strategis bagi peningkatan kinerja perekonomian suatu negara. Contohnya ada di mana-mana. Salah satunya di China. Pemerintah China mulai mengembangkan kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sejak 1980-an. Areanya menyebar. Ada di Shenzhen, Zhuhai, dan Shantou di Provinsi Guangdong, atau Xiamen di Provinsi Fujian, termasuk Provinsi Hainan yang dijadikan KEK.

Sejak itu pengembangan kawasan industri, KEK, dan zona-zona pengembangan kawasan ekonomi terpadu di China kian tak terbendung. Nyaris semua provinsi di China memiliki kawasan industri. Bahkan, ada yang menjadikan provinsinya sebagai kawasan ekonomi khusus, seperti di Hainan. China betul-betul menjadikan kawasan industri, yang mereka integrasikan dengan KEK dan zona-zona pengembangan ekonomi terpadu lainnya, termasuk kluster-kluster industri, sebagai instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi.

Bukan hanya itu, adanya kawasan-kawasan tersebut juga mendorong inovasi teknologi, meningkatkan ekspor dan terutama penciptaan lapangan kerja. Dengan adanya kawasan industry juga KEK dan zonazona ekonomi investasi asing langsung ke China meningkat pesat. Semua itu, ditambah kemudahan perizinan, ketersediaan infrastruktur, upah buruh yang kompetitif, dan kepastian hukum, membuat investor betul-betul bak disambut dengan karpet merah.

Alhasil buahnya pun bertaburan. Produksi barang-barang meningkat pesat, begitu pula dengan volume dan nilai ekspor China. Kondisi inilah yang membuat perekonomian China tumbuh hingga di atas 9%, bahkan mencapai dua digit, selama hampir 30 tahun. Penyerapan tenaga kerja terjadi di semua lini usaha.

Tiga Generasi

Di Indonesia, pengelola kawasan industri perlu melakukan transformasi, sebab kini ia sudah memasuki generasi ke-3. Untuk Anda ketahui, kita sudah membangun kawasan industri sejak tahun 1970, yang kita sebut dengan kawasan industri generasi ke-1. Oleh karena baru mulai, pemerintah menyerahkan pembangunan kawasan industri ke BUMN meski peran pemerintah masih dominan.

Lalu, karena dana terbatas, selama periode 1970-1990, hanya ada delapan kawasan industri yang dibangun pemerintah, di antaranya kawasan industri Pulogadung, Rungkut, Cilacap, Medan, Lampung, Makassar, Cilegon, dan Kawasan Berikat Nusantara. Pada kawasan industri generasi ke-2 (1990-an sampai kini), pemerintah melibatkan peran swasta.

Alhasil terjadilah pembangunan kawasan industri secara meluas. Ada 200-an kawasan industri yang ingin dibangun, meski yang terealisasi hanya 30%-an. Pada kawasan ini mulai dirancang bangunan multifungsi, seperti untuk pabrik beragam industri, fasilitas litbang, ruang pamer, pergudangan, bahkan mulai menerapkan isu-isu ramah lingkungan atau eco industrial estate.

Kini kita bakal mengembangkan kawasan industri yang lebih modern atau disebut kawasan industri generasi ke-3. Ciri-cirinya, kawasan tersebut memiliki dukungan infrastruktur yang lebih terpadu, lebih ramah lingkungan, berbasis sumber daya lokal, inovatif, ada fasilitas litbang, dan dilengkapi dengan perumahan, pendidikan dan bahkan pusat perbelanjaan.

Tapi sayangnya, orang daerah harus bolak-balik ke Jakarta mengutus perizinan dari pemerintah pusat untuk memajukan kawasan industri kebanggaannya. Akibatnya cuma yang ada di dekat Ibu Kota saja yang berkembang. Bayangkan kalau daerah diberi izin mengurus listrik dan membangun pembangkitnya sendiri, pasti sudah banyak daerah yang tidak gelap gulita seperti yang kita rasakan sekarang.

Belum lagi soal lahan, dan perizinan terkait. Ampun ribet- nya. Begitulah, transformasi terjadi di mana-mana. Bukan hanya perusahaan yang bertransformasi, melainkan juga kawasan industrinya. Saya berharap transformasi kawasan industri ikut memicu transformasi perekonomian kita. Kata seniman Marilyn Manson, ”…. the key to longevity – and immortality, in a sense – has to do with transformation. ”

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *