Pertengkaran – Jawa Pos

Dulu orang tua tidak terlalu risau melihat anak-anaknya berkelahi. Bahkan, kita diserahkan guru untuk bertarung secara jantan: satu lawan satu di lapangan sekolah.

Perkelahian cara itu ada koridornya. Misalnya, tidak main keroyok, tidak pakai senjata, dan ada wasitnya. Tetapi, kalau cara dulu tersebut kita terapkan sekarang, mungkin kita semua bakal masuk penjara karena melanggar HAM.

Anak-anak berkelahi umumnya karena belum bisa menerima cara pandang atau pendapat yang berbeda dengan dirinya. Belum tahu cara yang tepat untuk menyalurkan emosi.

Namun, bagaimana sekarang? Relatif lebih damai. Tetapi, begitu beritanya meledak, kita jadi terkaget-kaget: bullying satu kelas, penindasan, pengeroyokan pakai senjata yang mematikan, perampasan, dan kata-kata kasar begitu mudah menyulut kebencian masal, bahkan di kalangan anak-anak sekalipun. Tidak jarang pula orang tua jadi terlibat. Hal kecil pun dibuat menjadi besar.

Perkelahian Orang Dewasa

Hari-hari ini kita dipertontonkan si mulut-mulut besar (di panggung politik) yang biasa membual di media massa terlibat pertengkaran hebat. Bahkan ada yang memukul dan masuk ke dalam berita dunia. Segala kebobrokan dirinya selalu disalahkan kepada orang lain.

Dari pengamatan saya, mereka yang bermulut besar dan senang mengancam itu ternyata hanya berani karena ada orang kuat di belakangnya. Belakangan, masyarakat pun melabeli mereka begini: Tampang Rambo, hati Rinto. Artinya, kalau bosnya sudah kena masalah, bekingnya hilang dan belangnya ketahuan gampang nangis juga dia.

Tetapi, harus diakui, sangat banyak konflik orang tua di negeri kita ini yang masih dilandasi hal-hal primitif: uang, jabatan, dan mudah tersinggung. Baru-baru ini, saya harus berhadapan dengan warga yang menutup jalan di kampung. Bayangkan, semua boleh lewat, kecuali orang baru yang terlihat lebih mapan. Setelah ancam-mengancam, akhirnya ketemu juga ujungnya: minta kompensasi karena dia merasa jalan itu dulu diwakafkan almarhum nenek moyangnya.

Bayangkan, keikhlasan nenek moyang dinodai keturunan yang serakah dan mudah dihasut tetangga. Tetapi, setelah kompensasi dibayar, tetangganya mengompori hal lain lagi. Rupanya, mereka tersinggung karena tidak diajak bicara, tidak kebagian pula. Primitif sekali, bukan?

Daripada songong menjunjung diri, mending saya ajak Anda menyaksikan perkelahian orang dewasa yang diurus secara profesional.

Mei mendatang, ada dua orang tua yang berkelahi dan ditonton miliaran pasang mata. Mereka adalah Manny Pacquiao, 36, dan Floyd Mayweather Jr, 38. Manny adalah petinju asal Filipina dan Floyd dari Amerika Serikat. Dalam perkelahian tersebut, Manny akan dibayar USD 100 juta dan Floyd USD 150 juta. Kalau dirupiahkan, nilainya lebih dari Rp 1,3 triliun dan Rp 1,9 triliun. Saya kira, itu jumlah yang pantas untuk diperebutkan. Sah, halal, dan bayar pajak pula.

Kejadian tersebut tentu berbeda dengan nelayan-nelayan pantura yang awal April lalu bertengkar dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di hadapan presiden di Istana Negara. Para nelayan setuju dengan larangan penggunaan cantrang atau modifikasi jaring trawl. Cantrang akan membuat ikan-ikan kecil ikut terjaring. Itu tentu akan mengancam kelestarian.

Menteri Susi ingin larangannya berlaku per September 2015. Namun, para nelayan tidak setuju. Mereka menginginkan masa transisi yang lebih lama, persis dengan gertakan pemerintah lalu yang memaksa penambang membangun smelter.

Ini menjadi dilema bagi pemimpin, mau populer atau membangun masa depan? Kalau mau populer, ikuti saja apa kata rakyat. Amanlah kursi menteri, aman pula bagi Jokowi. Ketika pemerintah SBY mengulur batas waktu kewajiban membangun smelter, majalah The Economist pun menyindirnya dalam cover depan: SMELTDOWN!

Di negeri ini, sangat banyak konflik atau pertengkaran yang justru dilakukan orang-orang dewasa. Gubernur Ahok vs DPRD, KPK vs Polri, sesama pengurus parpol, antarparpol, tawuran mahasiswa vs polisi, dan sebagainya. Maaf, semua masih serbaprimitif.

Banyak Cara untuk Menaklukkan

Kebanyakan di antara kita memang lebih suka tidak berkonflik. Apalagi bertengkar. Banyak cara yang bisa kita lakukan. Bukankah Sun Tzu mengajarkan, ’’To fight and conquer in all our battles is not supreme excellence; supreme excellence consists in breaking the enemy’s resistance without fighting.’’

Sikap yang agak dekat dengan akomodatif adalah kompromi. Dalam kompromi, kita menerima kemauan lawan. Tetapi, di sisi lain, kita juga memaksa lawan menerima kemauan kita. Bukan take and give, tetapi give then take.

Dengan lawan, kita pun bisa bersikap kolaboratif. Caranya, bersama-sama kita ciptakan musuh bersama.

Kalau menghindar sudah tidak bisa, kompromi tidak mungkin lagi, apa boleh buat lah. Tetapi, emosi harus terkendali. Bagi sejumlah orang, konflik adalah nutrisi utama untuk kemajuan. Pengusaha asal Texas, AS, Margaret Heffernan bilang begini, ’’For good ideas and true innovation, you need human interaction, conflict, argument, debate.’’

Karena itu, dalam setiap kesempatan, Heffernan selalu membagi pandangan hidupnya, ’’Let’s not play the gameLet’s change it.’’ Dia selalu bilang, ’’Beranilah untuk berbeda pendapat.’’ Anehnya, hati mereka bisa tenang meski mulut berdebat. Kepalanya tetap adem. Tidak ada ancam-mengancam atau saling menyalahkan.

Dengan logika semacam itu, bagaimana sikap Anda melihat adu jotos antara anggota DPR kita yang terhormat? Saya punya satu kutipan yang menarik dari Miguel Angel Ruiz, seorang spiritualis asal Meksiko. Dia mengatakan, ’’People like to say that the conflict is between good and evil. The real conflict is between truth and lies.’’

Anda yakin pertengkaran itu terjadi karena mereka ’’benar-benar’’ sedang memperjuangkan kepentingan kita? Saya tidak yakin!

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *