Inilah Tantangan Besar CEO Baru Garuda Indonesia – Kompas

Tantangannya besar, tetapi ruangnya kecil. Apa yang bisa dilakukan seorang CEO? Itulah Pekerjaan Rumah mantan CEO Citilink yang kini dipercaya Rini Soemarno sebagai CEO baru Garuda Indonesia, Arif Wibowo.

Itu  pulalah yang sebenarnya dihadapi Emirsyah Satar saat kembali ke Garuda di tahun 2005. Dan itulah tantangan seorang change maker. Ia harus mengubah platform, memperbesar ruang, dari titik yang menyudutkan dengan pertahanan yang rapuh ke sebuah ruang besar dengan visi pertahanan yang luas.

Caotic, the End of Chaos

Barangkali tak ada industri global yang lebih caotic dari industri penerbangan. Dia diinginkan dunia, tetapi industrinya sulit meraih keuntungan. Selain investasinya yang masif,  bisnis ini highly regulated dan melibatkan banyak kepentingan.

Kalaulah negara-negara tetap mempertahankannya, itu semata-mata karena  ada sejarah national flag carrier. Jadi, kalau  di-grounded karena rugi, banyak pemimpin yang khawatir ia dipandang sebagai simbol dari kegagalan besar ekonomi.

Tambahan pula, bisa terjadi national flag carrier buntung karena terjadi ketakseimbangan ekonomi, sehingga bisa jadi perekonomian lain yang diuntungkan semisal bisnis logistik dan pariwisata. Tetapi masalahnya, dunia pariwisata kita hanya sepertiganya Malaysia, dan indeks kinerja logistik kita terparah di Asean.

Maka, Malaysia memilih untuk menyelamatkan MAS (Malaysia Airlines) kendati tahun ini didera banyak kesulitan. Kerugiannya di kuartal I-2014 mencapai 140 juta dollar AS, dan diduga akan menjadi 620 juta dollar AS pada akhir Desember ini (Forbes, 19 Juli 2014). Angka ini lebih besar dari yang diderita Garuda Indonesia yang mencapai 206,4 juta dollar AS sepanjang (Januari – September 2014).

Di Amerika Serikat sendiri, tutupnya airlines soal yang biasa. Mereka tinggal meminta perlindungan negara dalam paket UU kebangkrutan (chapter seven dan chapter eleven). Pasar telah menggantikan kepentingan lain demi efisiensi dan kompetisi. Dan anehnya, meski merugi, selalu saja ada investor baru yang berani mengadu nasib.

Industri penerbangan Indonesia belakangan ini mencatat ada tiga penerbangan lokal yang berhenti beroperasi sepanjang 2014 (Merpati 1 Februari, Sky Aviation 1 Maret, dan Tiger Mandala 1 Juli). Lalu 5 perusahaan telah  ditutup sejak 2005 (Star Air 2008, Linus 2009, Adam Air 2008, Jatayu 2008, dan Batavia 2013).

Sementara, Indonesia AirAsia juga mengurangi jumlah pesawatnya karena merugi sejak akhir tahun lalu. Informasi yang saya kumpulkan menunjukkan hampir semua armada penerbangan swasta domestik mengalami kesulitan serupa. Di negara tetangga hal serupa juga terjadi.

Ini berarti ruang untuk memperbaiki efisiensi perusahaan benar-benar terbatas. Ada kesan bahwa fundamental ekonomi mikro–yang menjadi landasan berpijak industri penerbangan–berada di ambang batas kekacauan (ini istilah strategic management, the end of chaos). Setelah bertahun-tahun diabaikan oleh pemerintahan sebelumnya, tiba-tiba kita terbangunkan. Tetapi begitu terbangun, regulasinya belum sempat diurai, namun kerugiannya sudah dirasakan.

Kita tersadarkan oleh analisis industri yang menjelaskan mengenai biang keladi kerugian. Apakah itu kegagalan CEO melihat jauh ke depan, abai (ignorant), kesimpangsiuran manajemen, atau belenggu yang begitu kuat. Biasanya hal ini terjadi karena interplay antara keduanya, yaitu gagalnya CEO mengirim sinyal yang kuat pada regulator untuk bertindak cepat.

Tetapi harap dicatat, awal 2014 perhatian para regulator lebih tertuju pada pesta demokrasi ketimbang mengurus ekonomi.

Jadi, fondasi ekonomi mikro yang tak terurus itu bisa saja menjadi biang keladi dari melambungnya kerugian: mahalnya harga avtur dan kepadatan traffic pesawat di bandara. Ditambah lagi, depresiasi mata uang rupiah dalam konteks price ceiling yang diterapkan regulator.

Namun ini juga bisa terjadi karena para CEO gagal menendang informasi yang kencang kepada regulator dan politisi agar segera bertindak. Mengapa demikian? Jawabnya adalah karena tahun-tahun sebelumnya mereka terlenakan oleh bisnis yang positif, yang terlihat dari banyaknya piagam penghargaan. Seperti kata Jim Collins “good is the enemy of great”.

Tetapi di dunia internasional, dengan policy yang berbeda, peta kompetisi yang berat juga telah “mematikan” banyak national flag carrier lainnya. Dalam hal inilah, filosofi pengambil kebijakan akan memainkan perannya. Apakah kita biarkan mereka mencari jalan sendiri (seperti yang dialami oleh Merpati Nusantara), atau dibimbing keluar oleh negara.

Malaysia memilih jalan yang kedua. Ini juga yang dilakukan pemerintah Singapura. MAS disuntik sebesar 1,8 miliar dollar AS dalam skema“Rebuilding The National Icon”.

PM Malaysia, Datuk Sri Najib Razak mendorong langkah Khazanah yang melakukan delisting saham MAS dari Bursa Malaysia dengan program perubahan besar-besaran ini. “All must do their part to support MAS,” ujarnya seperti dikutip harian New Strait Timesakhir Agustus lalu. Ia seperti ingin mengatakan, “Hentikan semua keributan dan keonaran, jauhi prasangka, keluarlah dari coba-coba resistensi, lalu fokus pada perubahan yang lebih besar.”

Lantas, siapkah kita semua bersatu seperti yang terjadi di negeri yang belum demokratis di seberang selat itu? Saya kira inilah  tantangan BUMN Indonesia. Bising, penuh kecurigaan, banyak yang asal usul, peliknya kepentingan yang bermain, dan sulit saling percaya.

Medan Bisnis Airlines

Sekarang, mari kita bandingkan business landscape yang dihadapi Emirsyah Satar pada tahun 2005 saat mulai memimpin Garuda Indonesia. Business landscape itu ditandai dengan munculnya armada-armada penerbangan baru yang menawarkan tarif yang murah. Ini berarti industrinya menarik.

Tetapi di dalam Garuda sendiri, sejuta masalah menghadangnya untuk maju: Tingkat ketepatan waktunya rendah (di bawah 85 persen), kecurangan banyak dilakukan orang-orang dalam yang bekerjasama dengan penguasa, load factor-nya di bawah rata-rata industri (±60 persen), total hutangnya mencapai 845 juta dollar AS dengan cash flow negatif (ini menandakan secara teknis ia telah bangkrut), ditambah ia baru saja terkena musibah ketika aktivis HAM, Munir tewas dalam pesawat rute Jakarta-Amsterdam.

Di luar itu, dunia sedang dilanda kecemasan terhadap ancaman terorisme. Dan Indonesia dinilai Barat menjadi salah satu sarang terorisme. Selain itu, perhatian terhadap keamanan penerbangan kita pun dinilai dunia kurang. Jadi pantaslah kalau semua armada nasional dilarang terbang memasuki benua Eropa.

Situasinya tentu berbeda dengan hari ini. Garuda servisnya membaik, ketepatan waktu dan load factor-nya relatif bagus, kru juga profesional, produktivitas karyawannya tinggi, usia pesawatnya relatif muda, jumlah pesawatnya berkembang dari 49 (2006) menjadi 140 (2013). Ia juga menjadi airline terbaik nomor 7 dunia versi Skytrax di bawah Cathay, Qatar, Singaore Airlines, Emirates, Turkish dan ANA. Ia bahkan lebih baik dari Etihad dan Lufthansa.

Lantas apa masalah yang bakal dihadapi Arif Wibowo kalau kondisi internalnya sudah membaik?

Jawabnya adalah menyetel ulang antara apa yang terjadi di luar dengan kondisi internal. Inilah yang kita sebut sebagai strategicfit, yaitu membuatnya menjadi fit antara internal dan eksternalnya.

Dalam presentasi INACA belum lama ini disebutkan bahwa harga avtur yang harus dibayar airlines domestik lebih tinggi 5-6 persen dari pesaing-pesaingnya, sementara biaya ini menyangkut 40-50 persen dari total biaya operasional airlines. Kalau biaya leasingpesawat mencapai 10-15 persen, dan biaya perawatan sebesar 8-10 persen, maka jelas ruang bagi Arif untuk memperbaiki kinerja Garuda bukan soal gampang.

Ia harus bekerja sama dengan stakeholders-nya untuk memperbaiki fundamental ekonomi mikro yang dihadapi industri ini, baik itu di otoritas kebandaraan, energi (Pertamina), maupun pembuat kebijakan (Menko Perekonomian dan Kementerian Perhubungan).

Makanya saya katakan ruangnya sangat sempit. Pilihannya hanya dua: kita berubah beramai-ramai, atau kembali ke armada \”kancil\” yang gesit, efisien, menjadi low cost carrier dengan bertarung menghadapi anaknya sendiri yaitu Citilink.

Tetapi siapa tahu masih ada alternatif ke 3, yaitu strategic fit tadi. Siapa tahu Tuhan membukakan mata mereka menemukan cara-cara baru, jurus pamungkas. Dirut baru biasanya banyak akal karena kariernya masih panjang. Kecuali yang tersisa di dalam sangat enggan berubah.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *