Saya senang ketika kolega saya, Faisal Basri, dipercaya untuk memimpin tim Reformasi Tata Kelola Migas oleh Kementerian ESDM. Kita tentu paham integritasnya.
Di samping Faisal juga ada Dr Rofikoh Rokhim, lulusan Prancis yang tajam membaca dan tidak bias. Sejak dulu keduanya sangat gemas dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan rent seeking yang merusak moral dan daya saing bangsa. Belakangan praktik ini kental diduga publik terjadi di anak perusahaan Pertamina, Petral.
Saya berharap tim ini mampu menemukan evidence yang dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki keadaan. Jika terbukti praktik mafia migas di Petral sulit dikontrol dan dibasmi dari sini, Petral memang sudah selayaknya dibubarkan. Sebaliknya, jika tidak, harusnya Petral malah bisa ditingkatkan peranannya sebagai trading company yang unggul, yang perannya bukan hanya sebagai pembeli BBM untuk keperluan induknya.
Petral bisa memperbaiki business model -nya dengan melakukan benchmarking pada global trading companies lain yang lincah mengambil posisi dan memilih komoditas yang menguntungkan. Bukan cuma migas, juga bukan semata-mata impor untuk Indonesia. Petral bisa hidup dalam bisnis rempah-rempah, karet, aneka mineral, dan segala jenis hasil olahan untuk energi terbarukan. Pembelinya bisa dari Korea, India, Mesir, Chili, atau China. Sedangkan sumber pasokannya ada di mancanegara.
Mafia vs Mafia
Sejatinya kita sudah sejak lama mendengar isu mengenai mafia dan praktik KKN di bisnis migas. Tetapi, pada era Ari Soemarno mafia-mafia itu mati kutu karena Ari konsisten memimpin transformasi. Begitu menyentuh pelaku-pelaku yang lebih besar dengan menerapkan konsep supply chain, ia pun digusur.
Padahal di tangannya tahap awal proses transformasi yang amat berisiko itu dimulai dan menunjukkan banyak harapan. Setelah itu kita tak tahu persis apa yang terjadi. Beberapa pengamat ekonomi dan pakar migas menyarankan agar Petral dibubarkan saja. Tetapi, jangan lupa, pada era Ari Soemarno Petral telah dipagari dengan sistem yang bagus.
Sementara evidence yang bisa diungkapkan pada era selanjutnya tidak jelas betul. Apalagi komentar juga banyak diberikan politisi yang kabarnya juga bolak-balik datang ke Petral meminta fasilitas bisnis. Bukan apa-apa, sudah menjadi rahasia umum, mereka yang paling keras mem-bully Pertamina atau mem-bully pemimpinnya justru dikenal sebagai calon pemasok yang sulit masuk karena tidak lolos kualifikasi. Jadi ini mafia melawan mafia juga. Benar-benar ruwet dan kusut.
Begitulah sampai sekarang yang tinggal adalah kecurigaan plus kecenderungan impor. Volume diperbesar, selundupan jalan terus, tak ada yang berani memindahkan subsidi, sampai muncul pemimpin baru karena kenaikan harga berarti volume impor turun dan ”rente ”-nya ikut turun. Politik menjadi kumuh, daya saing bangsa tak optimal. Secara teoritis semua itu bisa dirasakan, tapi tak ada yang serius mengumpulkan evidence -nya. Entah memang itu hanya pikiran buruk kita atau sebuah permainan yang rapi.
KIPCO dan PTT
Minggu lalu saya sudah memaparkan lika-liku perdagangan minyak dunia. Sebenarnya, selain Petral, Pertamina juga punya saham di KIPCO dan PTT. KIPCO atau Korean Indonesia Petroleum Company adalah trading arm migas untuk melayani pasar Korea Selatan.
Perusahaan ini berkantor di Seoul, tetapi setahu saya juga memiliki perwakilan di Jakarta. Sementara PTT atau Pacific Petroleum Trading berperan melayani pasar Jepang. Dulu bernama Far East Oil Trading Company dan sudah ada sejak 1965. Sebanyak 59% sahamnya dimiliki Pertamina dan sisanya dipegang konsorsium beberapa perusahaan Jepang seperti Toyota Motor Corp., JX Nippon Oil & Energy Corporation, Kashima Oil Co Ltd, Nippon Steel Engineering, dan sebagainya.
Selain di Jepang, PTT juga memiliki kantor perwakilan di Jakarta. Petral awalnya bukan ada di Singapura, melainkan di Hong Kong. Ia dibentuk sebagai joint venture dengan sejumlah investor swasta dari California, AS pada 1965. Mengapa Hong Kong? Jawabnya, karena waktu itu hanya Hong Kong yang menjadi pusat perdagangan minyak kawasan Asia.
Perta Group berperan sebagai perusahaan yang memasarkan minyak mentah dan minyak olahan asal Indonesia ke kawasan Pantai Barat Amerika Serikat. Bisnis seperti ini memerlukan dukungan keuangan yang canggih serta supply chain yang advance . Karena itulah, bisnis trading Perta Group baru mulai bergulir pada 1972. Saya dengar persiapannya memang rumit. Ia butuh persiapan selama tiga tahun.
Baru pada 1979, Perta Group bisa mendirikan anak usaha yang menangani investasi dan nonmigas, Zambesi Investment Limited (ZIL). Tapi, pada 1981 investor asal AS memutuskan untuk melepas seluruh sahamnya di Perta Group. Sejak itu 100% sahamnya dimiliki Pertamina. Pesatnya bisnis Perta Group ini membuat Keluarga Cendana tertarik untuk ikut memiliki. Kala itu tak ada yang berani menentangnya dan sejak itulah praktik KKN melekat di Perta Group.
Seiring waktu reputasi Hong Kong sebagai pusat perdagangan minyak di kawasan Asia pun meredup. Sementara Singapura justru berhasil menjadikan negaranya pusat perdagangan minyak mentah dan hasil olahannya di Asia. Selain membangun kilang besar-besaran, Singapura juga menjadikan dirinya pusat keuangan dan perdagangan yang menjadi daya dukung penting bisnis padat modal ini.
Pelabuhan laut dalam, storage besar, badan riset yang mampu menentukan harga, serta governance structure yang kuat membuat semua pialang bertemu dan tinggal di sana. Sementara di Indonesia, jangankan kilang dan storage , pada era 1980-an hingga awal 2000-an pelabuhan yang bisa didatangi VLCC saja tak dikembangkan. Lalu pusat keuangannya tidak dikembangkan dengan governance structure yang solid. Kita hanya sibuk bertengkar dan berwacana.
Semua eksekutif kita curigai. Alih-alih menangkap, mafianya malah bebas berteman dengan para pengambil kebijakan dan masuk ke dunia politik. Rezim Orde Baru tumbang pada 1998, bisnis-bisnis Keluarga Cendana pun ikut surut. Begitu pula dengan kepemilikan saham Tommy Soeharto dan Bob Hasan diambil alih oleh Pertamina. Selain memasarkan minyak Indonesia, Pertamina juga menugaskan Petral impor BBM untuk Indonesia walau jumlahnya saat itu masih sedikit.
Ini karena produksi minyak mentah kita sampai 1999 masih mencukupi kebutuhan kilang domestik. Pada Maret 2001 namanya berubah menjadi Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Perusahaan ditugaskan menangani penjualan dan pembelian minyak dan produk minyak di kawasan Asia, AS, dan sejumlah negara di Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan kawasan lainnya.
Sampai 2011 Petral tercatat menangani volume perdagangan sebesar 266,42 juta barel, baik untuk minyak mentah maupun produk BBM. Lewat bisnis itu, Petral membukukan pendapatan USD31,4 miliar, profit margin -nya relatif lumayan, USD47,5 juta.
Pasar Spot
Untuk memahami seluk-beluk kecurigaan ada mafia, saya ingin mengajak Anda mengenali dua cara impor minyak yakni sistem kontrak jangka panjang dan pembelian melalui pasar spot .
Beberapa waktu lalu sekitar 75% pengadaan minyak Pertamina dilakukan melalui sistem kontrak yang pengadaannya ditangani tiga anak usaha tadi. Nah , sisanya yang 25% diperoleh Pertamina melalui pasar spot untuk pembelian satu atau beberapa kargo yang tentu saja kalau dilakukan secara reaktif harganya lebih tinggi, perantaranya bisa masuk, dan butuh pendanaan dari lembaga keuangan yang bunganya bisa dimainkan pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum bank asing.
Pengadaan minyak dengan pola 75/25 (75% kontrak jangka panjang dan 25% pasar spot ) sesungguhnya biasa dilakukan negara-negara Asia. Jepang dan Korea Selatan misalnya biasanya menerapkan pola 67/33. Belakangan pola ini mereka ubah guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar spot . Sebenarnya, kalau kita cerdik, ada dua potensi keuntungan dengan membeli via pasar spot.
Pertama, tak perlu ada komitmen jangka panjang yang mengikat. Kedua , kalau lagi resesi seperti sekarang, kita bisa saja mendapatkan minyak dengan harga yang lebih rendah ketimbang harga pasar. Lain ceritanya kalau kita sudah terikat kontrak. Tetapi, sebaliknya juga bisa terjadi. Jadi, transaksi di pasar spot seharusnya bersifat sesekali dan harganya harus transparan.
Bagaimana kalau yang sebaliknya terjadi? Di situlah letak permasalahannya. Sekali mafia masuk, sahabat-sahabatnya ikut bermain di ladang yang sama. Mereka bukan cuma main volume impornya, melainkan juga produk dan jasajasa turunan lain dan ini bisa membuat negeri bangkrut.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan