Berita tercapai kesepakatan pembentukan holding company (perusahaan induk) BUMN bidang perkebunan dan kehutanan sungguh melegakan.
PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III menjadi induk usaha perkebunan, sedangkan 13 PTPN lainnya menjadi anak usaha PTPN III. Sedangkan usaha di bidang kehutanan, Perum Perhutani menjadi induknya dengan anak usahanya, PT Inhutani I sampai V. Harus diakui, kesepakatan itu tercapai mengikuti “tradisi masa transisi”, musyawarah mufakat dalam aroma birokratik dan kepentingan yang meletihkan, bahkan kedet-ulur sehingga melewati proses yang sangat lama.
Tetapi, marilah kita berpikir positif bahwa akhirnya tercapai. Ini sebuah langkah bagus. Mudah-mudahan dengan langkah ini, di Kabinet Jokowi kelak, menteri BUMN akan menjadi menteri yang menangani usaha milik negara yang terakhir. Bukankah visi besar memisahkan BUMN dari Departemen Keuangan pada 1997 adalah menjadikan BUMN kita besar dan sehat? Kalau itu mau dijalankan, para CEO BUMN harus diberi ruang untuk menjalankan aksi korporasi yang profesional.
Mereka harus terpisah dari belenggu birokrasi kementerian dan jebakan UU Keuangan Negara yang mempunyai efek besar bagi maju mundur BUMN. Ingat lho, kita bukan berada di zaman yang tertutup dan stabil seperti pada Orde Baru. Ini zaman globalisasi dengan MEA, peradaban yang terhubung, persaingan dinamis, dan penuh ketidakpastian. Jadi, program pembentukan holding company yang sudah digagas sejak 2002 kelak tidak harus menunggu selama 12 tahun lagi seperti sekarang. Ini pun agak mengherankan sebab sebetulnya kita sudah punya model pembentukan perusahaan induk.
Kita pernah menggabungkan lima perusahaan pupuk yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi PT Pupuk Indonesia. Begitu pula untuk industri semen yang menjadikan PT Semen Gresik sebagai induk bagi PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa. Wajarlah kalau namanya diubah menjadi PT Semen Indonesia Tbk. Kita juga sudah lama menggagas pembentukan holding company untuk BUMN pertambangan.
Tapi, sampai sekarang belum ada hasilnya. Ada apa? Saya yakin kabinet Jokowi-JK (ingat lho , mereka ini orang dari dunia usaha yang tahu cara mengelola bisnis dan manajemen) pasti akan semangat membentuk BUMN itu kedalam beberapa holding misalnya holding energy , keuangan, transportasi dan logistik, kelautan dan maritim, serta agro-based industry. Beberapa bahkan akan merger. Maka itu, para pemimpin dan pekerja BUMN bersiap-siaplah mengubah cara pandang, mindset, dari teritorial yang sempit (namun terasa besar) ke dalam paradigma baru yang benarbenar luas.
Jangan memimpin dengan territorial mindset , yang membuat seakan-akan hanya kita yang boleh berada dalam garis embarkasi imajiner yang membesarkan kita. Segeralah berubah, persiapkan jauh-jauh hari agar hidup dan nasib perusahaan menjadi lebih baik, tidak reaktif, serbasulit, dan makin tak pasti.
Dampak Sinergi
Dalam banyak kesempatan saya selalu bicara tentang betapa sulitnya bagi sesama BUMN untuk bersinergi. Bahkan banyak BUMN yang memilih bersinergi dengan perusahaan asing ketimbang dengan sesama BUMN karena masih banyak yang, maaf, pimpinannya stubborn, berwawasan sempit, leadership – nya kurang kuat, konflik di dalam tak bisa diatasi dengan baik dan membiarkan anak buahnya terlibat dalam konflik kepentingan. Tapi, maaf, ini juga disebabkan oleh presiden masih ikut-ikutan memutuskan siapa yang boleh menjadi CEO dan komisaris dalam beberapa BUMN.
Tahu sendirilah kriterianya seperti apa. Jadi, kalau kita mendapat hanya beberapa CEO profesional, mereka pun sulit bersinergi dengan BUMN lain yang kondisinya masih seperti di atas. Ya, apalagi kalau bukan stubborn dan merasa paling benar, merasa ditugaskan menjaga teritori masing-masing. Saya sering mengibaratkan kita tidur di ranjang sama, tapi mimpinya berbeda-beda. Padahal, sinergi adalah modal utama jika kita ingin memenangkan persaingan. Kata filsuf Aristoteles, “The whole is greater than sum of its part. “
Dampak sinergi juga luar biasa. Stephen Covey merumuskannya begini, “Synergy is what happens when one plus one equals ten or a hundred or even a thousand! “ Jadi, satu tambah satu bukan dua, melainkan sepuluh atau bahkan seribu. Kalau dampak positifnya begitu besar, mengapa kita begitu sulit bersinergi? Pada banyak kasus, saya menemukan masih banyak birokrat kementerian dan CEO BUMN yang terlalu kaku, hanya tahu menghitung angka, dengan expertise . Yang superspesialis dan membaca peraturan tertulis, tetapi tidak tahu bagaimana caranya memperbesar kue nasional secara kreatif dan hidup dalam peradaban transient yang kolektif kompetitif.
Wawasan yang sempit ini hanya memperkuat ego sektoral atau sempitnya pandangan. Di salah satu BUMN, saya menemukan kuatnya silo-silo yang membuat unit-unit antar-BUMN sulit bersinergi. Dalam kondisi seperti ini kita memerlukan peran CEO visioner yang berani membongkar silo-silo tersebut. Pada kasus lain, ada jajaran pimpinan yang cemas kalau holding company akan membuatnya kehilangan jabatan. Anak anak buah dan serikat pekerja terus berdatangan menyatakan keresahannya.
Seakan-akan besok hidupnya akan berakhir. Tak ada yang melihat potensi besar untuk menaklukkan pasar Thailand atau Jepang dari BUMN yang sehat dan besar. Tak ada yang mampu melihat, perubahan ini juga berarti kesejahteraan yang lebih baik. Bahwa yang rutin akan hilang, ya pastilah. Kita harus berani menjelajahi dunia baru dengan cara-cara baru. Harus diakui, tak semua yang menyatu dalam holding company akan berhasil. Untuk yang berhasil, mendiang Stephen Covey menyebut matematikanya begini, 4×6 bukan sama dengan 6×4, eh maksud saya, 1 + 1 bukan 2, tetapi bisa 10,100, atau bahkan 1.000.
Bagaimana jika gagal karena yang menjegal lebih kuat? Mungkin 1 + 1 bisa sama dengan 0 (nol). Bahkan bisa negatif. Kecemasan semacam ini selalu menghantui para pengambil keputusan, baik di kalangan pemegang saham maupun jajaran eksekutifnya. Maka itu, ketimbang menjadikan holding betulan, saya menyebut yang sekarang ini masih quassy holding. Saya pahami maksudnya: agar tak menimbulkan gejolak. Toh , semua masih pegang jabatan, walaupun namanya anak perusahaan, kebebasannya masih besar. Ini antara lain yang menyebabkan proses pembentukan holding company menjadi terasa lebih sulit.
Empat Manfaat
Bicara soal ini, saya sebetulnya tengah menunggu-nunggu lahir gagasan holding company atau bahkan merger dalam industri kepelabuhan yang saat ini dikelola empat BUMN yakni PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, III, dan IV, serta Pelindo II yang kini berganti nama menjadi Indonesia Port Company. Bagi saya, merger atau pembentukan holding company itu kini menjadi sangat penting. Bahkan strategis mengingat Joko Widodo sudah sangat merindukan terbentuk jalur tol laut yang efisien dan turun biaya logistik nasional. Ini juga berdampak pada pengurangan kemiskinan di daerah-daerah terluar. Apalagi pada akhir 2015 kita akan memasuki era ASEAN Economic Community (AEC).
Era ini menuntut kita memperbaiki kualitas layanan di segala sektor, termasuk di pelabuhan. Setahu saya juga ada kontrak yang disepakati pemerintah SBY dalam ASEAN soal connectivity. Selama ini kualitas layanan pelabuhan kita masih jauh dari baik. Ambil contoh masih tinggi dwelling time yakni waktu yang dibutuhkan sejak barang atau kontainer diturunkan dari kapal sampai akhirnya dibawa ke luar dari kawasan pelabuhan. Di Pelabuhan Tanjung Priok, rata-rata dwelling time -nya masih 6,2 hari. Bandingkan dengan Singapura yang hanya 1,5 hari, Malaysia 3 hari, dan Thailand 4-5 hari. Dengan pembentukan holding company, semua pelabuhan kita dituntut untuk memiliki standar layanan yang sama. Juga menyangkut dwelling time tadi.
Selain itu, saya juga mencatat setidaknya ada empat manfaat yang bakal diperoleh jika empat BUMN pelabuhan kita mampu bergabung dalam satu holding company atau merger. Apa saja? Saya akan bahas minggu depan agar Anda tak letih membacanya. Yang jelas, negeri ini akan sangat diuntungkan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan