Pareto, Shaw, dan Gerobakpreneur – Koran Sindo

Kita semua pemakai gadget. Dari telepon seluler (ponsel) biasa hingga ponsel cerdas. Bentuknya bisa telepon sentuh, iPhone, tablet, atau peranti jinjing lainnya.

Semuanya produk berbasis teknologi. Ada yang langsung sentuh dan pakai, tetapi tak sedikit yang masih hidup dalam peradaban membaca manual. Namun berapa banyak dari kita yang membaca manualnya sepenuh hati sebelum menggunakannya? Dugaan saya, sedikit sekali. Bahkan button theory mengatakan, kaum muda langsung mengoprek-oprek layar sentuhnya atau knopnya meski berisiko salah, lalu bingung tak tahu apa yang meski dilakukan, keliru berulang kali, dan sebagainya.

Jika tidak atau kurang mengerti, ketimbang repot mencari tahu dari manualnya, kita lebih suka bertanya ke orang lain. Faktanya, anak-anak kita, entah bagaimana, ternyata bisa jauh lebih cepat paham ketimbang kita. Perilaku semacam ini tentu ada risikonya. Vilfredo Pareto, ekonom dan sosiolog berkebangsaan Italia, mengatakan, ”Sebanyak 80% hasil ternyata diperoleh hanya dari 20% usaha.” Itu sebabnya Hukum Pareto kemudian kita sederhanakan dengan prinsip 80/20. Maksud saya begini.

Dari seluruh pemakai gadget, ternyata hanya 20% di antara kita yang mampu memanfaatkan 80% dari fungsi-fungsi yang tersedia pada gadget-nya. Sebaliknya, sebanyak 80% pemakai gadget ternyata hanya bisa memakai 20% dari seluruh fungsi yang tersedia dalam peranti tersebut. Maka, tak mengherankan, meski ada begitu banyak pemakai smartphone , sebagian besar ternyata hanya menggunakannya untuk menelepon, mengirim SMS, atau sesekali membuka email. Sebagian besar lainnya menggunakannya untuk berselfie dengan bantuan tongsis (tongkat narsis) atau paling-paling untuk bermain game.

Aplikasi- aplikasi lainnya? Nyaris tidak digunakan. Prinsip Pareto ini berlaku di mana-mana. Dalam setiap perubahan, ternyata hanya 20% pegawai dan staf yang mendukung proses transformasi. Selebihnya menolak, diam saja, tidak mengerti atau ikut arus. Soal distribusi kekayaan juga sama, ternyata sebanyak 80% dikuasai hanya oleh 20% warga dunia. Sebaliknya, 80% masyarakat dunia memperebutkan 20% kekayaan yang tersisa dan masih banyak lagi contoh lain.

Prinsip 2 – 3 – 95

Vilfredo Pareto mungkin seorang ekonom yang sangat optimistis. Ia jauh lebih optimistis ketimbang George Bernard Shaw, seorang sastrawan. Cobalah simak pernyataan Bernard Shaw tentang manusia berpikir: ”Only 2% people think, three percent think they think, the remaining 95% would rather die than think .” Betulkah hanya 2% di antara kita yang berpikir? Kalau melihat fenomena yang terjadi di dunia pendidikan kita, saya merasa Bernard Shaw ada benarnya. Hanya 2% dari seluruh tenaga pendidik yang betul-betul menjalankan perannya sebagai pendidik.

Mereka ini adalah orang-orang yang tidak sekadar memindahkan isi buku ke kepala murid-muridnya, tetapi juga memperbaiki cara berpikirnya dan menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Makanya hanya sedikit akademisi yang punya karya besar, bukan? Lalu, sebanyak 3% adalah mereka yang merasa dirinya pendidik. Padahal bukan. Lalu, mayoritas sisanya adalah mereka yang menyebut dirinya pengajar. Di antara mereka yang menjadi pengajar pun hanya 2% yang betul-betul bisa memindahkan isi buku ke dalam benak dan tindakan murid-muridnya.

Lalu, sebanyak 3% merasa dirinya berhasil memindahkan isi buku ke dalam pikiran murid-muridnya. Selebihnya tidak berhasil memindahkan isi buku tersebut. Fenomena yang sama terjadi di kalangan para pemimpin. Hanya 2% di antara para pemimpin yang benar-benar melakukan perubahan. Sebanyak 3% merasa dirinya sudah melakukan perubahan, padahal belum. Lalu, mayoritas lainnya adalah pemimpin yang selalu ikut arus. Mereka memimpin bawahannya dengan cara-cara yang sama, seperti yang dilakukan para pendahulunya.

Mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai generasi penerus. Padahal, zaman sudah berubah. Problematika sudah menjadi semakin kompleks sehingga tidak bisa lagi dipimpin dengan caracara lama. Di mana kita bisa melihat fenomena tersebut? Di mana-mana. Kita mempunyai banyak seniman lukis, tetapi hanya ada beberapa yang layak disebut maestro sekelas Affandi, Jeihan atau Sudjojono. Begitu pula di tingkat dunia, hanya ada beberapa gelintir yang layak disebut seperti Van Gogh, Rembrandt, Picasso atau Leonardo da Vinci.

Bukan Gerobakpreneur

Angka 2% seakan-akan menjadi magic number. Ia menjadi indeks penting dalam dunia kewirausahaan di berbagai negara. Anda tentu mengenal rule of thumb yang mengatakan suatu negara akan menjadi negara maju jika 2% dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha atau entrepreneur. Kita belum menjadi negara maju karena jumlah penduduknya yang menjadi pengusaha tak sampai 1%.

Sumber-sumber yang lain menyebut bahwa jumlah pengusaha kita hanya 0,24% dari seluruh penduduk Indonesia. Bahkan ada yang menyebut jumlah pengusaha kita baru 0,18% dari seluruh penduduk. Banyak kalangan menilai Malaysia lebih maju dari kita. Di sana jumlah penduduknya yang menjadi pengusaha sudah lebih dari 6%. Amerika Serikat yang jauh lebih maju ketimbang kita sebanyak 12% dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha.

Saya percaya kuantitas memang penting. Tapi, kualitas juga tak kalah penting. Itu sebabnya saya risau kalau kita hanya berpegang pada angka 2% dan mengabaikan kualitas. Maksudnya begini. Untuk mengejar angka yang 2%, beberapa perguruan tinggi membuka program studi atau jurusan kewirausahaan atau minimal mengaktifkan mata kuliah-mata kuliah untuk menjadikan lulusannya wirausaha. Lalu, sejumlah lembaga juga menggelar lomba kewirausahaan. Mulai dari wirausaha muda hingga wirausaha paling inovatif dan sebagainya.

Semua baik-baik saja. Tapi, kalau Anda cermati, banyak lulusan perguruan tinggi yang kemudian menjadi pengusaha sebetulnya bisnis-bisnis mereka hanya menjadi pesaing dari pedagang kaki lima. Mereka bukan melahirkan merek- merek franchise baru, tetapi mengembangkan apa yang disebut dengan istilah gerobakchise. Bisnis franchise ala gerobak. Bagi saya, mereka tidak menjadi berkah bagi ekonomi rakyat. Malah mereka menjadi pesaing bagi para pedagang kali lima.

Mereka pasti menang karena memiliki bekal pengetahuan dan penguasaan teknologi informasi. Padahal, 20-30 tahun yang lalu, Soeharto saja sudah mencetak konglomerat atau Bung Karno 60 tahun yang silam sudah mencetak pengusaha Benteng yang skala usahanya besar. Kita juga sudah saksikan lahirnya pengusaha pribumi lulusan S-1 sekelas Medco dan Bukaka. Kita memang masih membutuhkan banyak entrepreneur. Tapi, entrepreneur yang kelak bakal menjadi pengusaha-pengusaha besar sekelas Arifin Panigoro, Ciputra, Trihatma Kusuma Haliman, atau Chairul Tanjung. Maksud saya, bukan sekadar gerobakpreneur.

Maksud saya pula, kalau sudah besar, bantulah yang kecil-kecil, bukan mematikan mereka yang tak berdaya. Caranya, jadikan mereka besar juga. Itulah mimpi saya sekarang ini, yang ingin saya wujudkan melalui dunia pendidikan.

 

Rhenald Kasali

Founder  Rumah Perubahan

Sebarkan!!

1 thought on “Pareto, Shaw, dan Gerobakpreneur – Koran Sindo”

  1. Ide mencetak entrepreneur besar sangat bagus. Apalah bisa seseorang yg tetap tinggal di kota kecil atau pelosok menjadi entrepreneur besar tanpa berurbanisasi di kota besar seperti Jakarta? Apakah orang yg berurbanisasi pada umumnya lebih cerdas drpd orang yg tdk berurbanisasi?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *