Menjelang pemilu legislatif, 9 April 2014, mata kita dibuat letih oleh berbagai spanduk para calon anggota legislatif (caleg). Apakah itu untuk caleg tingkat pusat maupun daerah, selain di kaca belakang angkot, juga “sampahnya” bertebaran di sana-sini.
Sebagian besar dipaku di batang-batang pohon, bahkan bertengger di dahan atau ranting, membentang di atas jalan, dan banyak pula yang ditancapkan dengan batang-batang bambu di pinggir jalan. Kebanyakan spanduk, mudah diduga, dipasang secara liar. Di Bogor, bahkan pernah terjadi seorang caleg marah besar saat balihonya (yang dipasang di sembarang tempat) dicabut aparat pemkot.
Dalam hati saya pernah berjanji tidak akan memilih caleg yang poster atau spanduknya dipasang serampangan. Bagaimana mungkin kita memiliki para legislator yang andal dan mampu mengawasi kerja pemerintah, membuat UU, peraturan daerah atau berbagai produk hukum lainnya yang berkualitas baik kalau sejak awal cara berkampanyenya saja sudah main tabrak sana- sini. Dan, sepanjang tahun 2009–2014, kita semua sudah merasakan bagaimana kinerja para legislator tersebut.
Ruangruang sidang di DPR kosong melompong. Banyak perda yang tak berkualitas dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, sehingga akhirnya dibatalkan oleh pemerintah pusat. Adalah hal yang biasa bila kita dengar ucapan wakil rakyat yang tidak konsisten. Kata birokrat yang mengikuti sidang, itu namanya UUP: Ujung-Ujungnya Proyek. Rendahnya kualitas para legislator berdampak ke manamana. Salah satunya ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sejak dicabutnya UU Nomor 5/1962 tentang Perusahaan Daerah, praktis BUMD-BUMD tak punya payung hukum lagi untuk bernaung.
Akibatnya banyak perusahaan daerah yang menjadikan perda dan persetujuan DPRD sebagai sandaran hukumnya. Dengan kualitas anggota DPRD yang pas-pasan dan banyaknya benturan kepentingan, Anda tentu bisa membayangkan betapa berat beban yang harus dipikul oleh para pengelola BUMD. Harap maklum, belum ada satu pun partai yang mengumumkan tingkat pendidikan sebagai syarat untuk meloloskan kandidat para calegnya.
Sapi Perah
Di Kalimantan Timur (Kaltim), saya mendengar sendiri betapa perusahaan daerah yang ada di sana, Melati Bhakti Satya (MBS), menjadi bulanbulanan DPRD. Bahkan DPRD meminta agar MBS dibubarkan saja. Padahal, saya tahu benar, Gubernur Kaltim Awang Faroek dan Direktur MBS, Sabri Ramadhani, tengah berjuang habis-habisan untuk membenahi BUMD tersebut. Awang Faroek adalah seorang gubernur dengan visi jangka panjang. Oleh karena itu selama periode kepemimpinannya, ia giat mengembangkan industri pengolahan, kawasan industri dan berbagai proyek infrastruktur, seperti pelabuhan dan jalan raya.
Proyek-proyek semacam ini tak bisa dilihat hasilnya dalam satu-dua tahun ke depan karena melakukan transformasi ekonomi bukanlah pekerjaan maintenance, juga bukan kegiatan renovasi. Strategi serupa, saya lihat, ia lakukan dalam membenahi perusahaan daerah (perusda) di Kaltim. Di tengah keterbatasan permodalan, ketimbang menyuntikkan dana segar, Awang Faroek justru meminta MBS untuk mengubah aset-aset pemda yang menganggur agar menjadi produktif. Di mata saya, ini adalah strategi jangka panjang, bukan jangka pendek.
Sebab untuk bisa mengubah aset-aset itu menjadi produktif, dibutuhkan SDM-SDM yang andal. Membenahi SDM jelas bukan pekerjaan jangka pendek. Sementara, di sisi lain saya melihat DPRD Kaltim justru ingin hasil yang segera. Mereka ingin perusda segera untung sehingga mampu menyetor dividen yang sebesar-besarnya ke Pemprov Kaltim. Belum lama ini di Jakarta kita juga mendengar omongan lucu LSM yang mempersoalkan besarnya laba ditahan oleh BUMN dan BUMD yang diartikan sebagaikerugiannegara.
Saya tak mengerti di mana mereka belajar tentang hal ini. Mereka beranggapan untung perusahaan (dividen) harus disetor sebesarbesarnya buat negara. Mungkin mereka terganggu dengan istilah “laba ditahan” yang seakan-akan “tak jadi disetorkan”. Mereka lupa, perusahaan itu tak akan menjadi besar kalau setiap tahun harus dikuras keuntungannya. Ibarat sapi perah, ia tak akan bisa menghasilkan susu yang baik kalau tak diberi vitamin dan makan yang bagus, bukan? Lihat saja Pertamina yang selama pemerintahan Orde Baru tak ada laba yang ditahan.
Apa akibatnya? Tak ada investasi baru, tak ada kilang-kilang baru yang di bangun dan tak ada teknologi baru yang dikuasai. Beda benar dengan Petrobraz (BUMN Brasil) atau Statoil ASA (BUMN Migas Norwegia) yang kini menguasai dunia dengan teknologi eksplorasi minyak lautan dalam yang menguntungkan karena sumber migas tak lagi ditemui di lautan yang dangkal. Bisakah Petrobraz dan Statoil punya teknologi itu kalau setiap kali untung semua dividennya harus disetor ke kas daerah atau kas negara? Buat orang bisnis pengetahuan seperti itu adalah soal sepele. Tapi tidak bagi para legislator yang latar belakangnya amat beragam.
Apalagi bila kepentingannya untuk tampil atau kepentingan lain begitu dominan. Perbedaan strategi dan cara pandang antara eksekutif dan legislatif dalam membenahi BUMD, sebagaimana terjadi di Kaltim, adalah satu dari sejumlah permasalahan sebagai akibat belum adanya payung hukum baru bagi BUMD. Saya kira ke depan masih akan ada lagi sejumlah permasalahan yangdihadapiolehBUMDdalam interaksinya dengan DPRD maupun pemerintahan provinsi. Di negara ini, sudah menjadi rahasia umum betapa BUMD atau BUMN biasa dijadikan sapi perah baik oleh eksekutif maupun legislatif— terutama oleh partai-partai politik (parpol).
Kelola Aset Rp600 Triliun
Saya kira fenomena yang menimpa BUMD di Kaltim dan Sumatera Utara juga sangat mungkin terjadi di banyak provinsi lainnya. Saat ini kita memiliki lebih dari 1.000 BUMD yang mengelola aset senilai lebih dari Rp 600 triliun atau setara 30% APBN 2014. Ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Dengan lemahnya sistem operasional danpengawasan, BUMD-BUMD bisa dijadikan sapi perahan. Apalagi kebanyakan BUMD juga tidak dikelola secara profesional. Seperti BUMN di masa lalu, masih banyak pimpinan dan pengawasnya yang berasal dari kalangan pensiunan pegawai pemerintah daerah.
Kita sebetulnya punya prototipe BUMD yang relatif sehat. Misalnya, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dan Bank DKI yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta. Sebetulnya kita juga punya contoh BUMND di Jawa Barat-Banten yang bisa dijadikan contoh, yaitu BJB yang sahamnya dimiliki oleh Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten. Bank tersebut, saya lihat, sudah dikelola secara profesional, bahkan sudah go public. Tapi entah mengapa, ternyata go public saja masih belum cukup. Gangguan politik ternyata masih bisa membuat organisasi gonjang-ganjing. Tapi bagaimanapun bank ini tetap lebih sehat dari bank daerah lainnya.
Ke depan, baik Ancol maupun dua bank tadi bisa dijadikan model BUMD yang sehat dan berperan penting sebagai motor pembangunan di daerah. Sementara, sambil menunggu para legislator di Senayan merampungkan UU tentang Perusahaan Daerah, kita semua harus memperketat pengawasan agar BUMD–BUMD kita tidak menjadi ajang jarahan dan gertakan sambal kosong yang membuat organisasi terantukantuk baik oleh kalangan eksekutif maupun parpol, terutama pada tahun politik ini.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan