Apa jadinya Indonesia ketika jumlah ponsel berkamera sudah melebihi populasi penduduknya? Dengan 280 juta ponsel, praktis tak ada orang yang berpergian tanpa membawa kamera, dan setiap orang punya kesempatan menempatkan dirinya pada sebuah “galeri” layar kaca. Setiap orang tiba-tiba sadar “branding”.
Layar kaca yang dulu didominasi oleh televisi pun berevolusi dengan hadirnya layar-layar kaca baru: smartphone, iPad, laptop, computer dan Blackberry. Semua orang bisa menyebarluaskan berita dan gambar dengan cepat, bahkan memanipulasi. Lalu televisi berevolusi menjadi social tv dengan memadukan “interactivity” ke dalam penyajian informasi dan hiburan. Televisi bukan lagi media yang static dan mudah digunakan untuk pencitraan.
Buku ini menyajikan beberapa fenomena menarik yang dapat menjadi ancaman bagi “old brands” (brand-brand yang sudah eksis) baik bisnis, politik, personal maupun institusional. Namun juga sekaligus memberikan ruang besar bagi pembaharuan. Camera Branding merupakan kajian terhadap perilaku “celebritas” apakah dipanggung hiburan bisnis, maupun politik dan birokrasi di peradaban kamera ini. Kajian terhadap sekitar 1.200 berita televisi (news, infotaiment dan bisnis) dipadukan dengan respons publik di social media dalam 5 tahun terakhir (2007-2013) dengan mengamati secara langsung perilaku konsumen (pemirsa, pengosumsi) dan tokoh-tokoh publik (gubernur, politisi, birokrat, CEO dan artis). Beberapa fenomena itu adalah:
1. Dari Cameragenic menjadi Auragenic
Timbul kesadaran bahwa penampilan fisik sudah bukan lagi hal yang menentukan pilihan. Resonansisosial melalu “interactivity” antara netizen memunculkan apa yang disebut dalam buku ini sebagai “auragenic”itu.
2. Auragenic tak dapat “dibaca” kalau sebuah brand terdiam atau terkontrol of script yang tak bisa diajak berkomunikasi. Social TV meyakinkan khalayak berinteraksi dengan brand (old brand, struggle brand, ataupun future brand). Reaksi-reaksi sesaat memunculkan aura yang ditangkap melalui panca indera khalayak.
3. Di depan kamera tak ada gesture dan content yang jujur kecuali candid/ hidden camera. Bahasa camera Cinta Laura, keaktoran para politisi, atau penampilan fisik selebritas – semua tidak geneuine. Sehingga timbul kerinduan terhadap authentics, autentisitas atau sesuatu yang genuine, jujur, prososial atau bahkan altuism.
4. Jokowi–Ahok adalah simbol authentics yang dirindukan masyarakat karena memiliki auragenic yang kuat dan geneuine.
5. Brand-brand tua dalam bisnis dengan cepat memanggil momentum. Coca cola dengan tall vending machine – 2 cokes for oneadalah contoh penerapan Camera Branding
6. Camera Branding dapat digunakan untuk brand rejuvenite (peremajaan brand-brand tua) dengan menghidupkan aura brand,dan dapat mempercepat kelahiran brand-brand UKM tanpa biaya besar (seperti Dian Pelangi, Trijapreneur, dan lain-lain)
7. Camera Banding melahirkan kekuatan bagi pejuang-pejuang sosial dalam karya-karya perubahan sosial (seperti pada ketokohan Haji Idin-Sanggabuana dan Masril Koto – Komunitas Bank Tani)
8. Camera Branding dapat membentuk perilaku “evil” dengan membandingkan tokoh-tokoh dan perilaku kontroversial (violence, mutilasi, korupsi, petualang-petualang wirausaha, dan seterusnya.)
9. Tetapi Camera Branding dapat mentransformasi perilaku-perilaku buruk tersebut menjadi perilaku prososial dengan memunculkan (baca: membrandingkan heroism). Camera Branding Effect ini misalnya terjadi pada Een Sukaesih yang lumpuh seluruh badannya namun menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mengajar. Ia menerima liputan 6 award, lalu diterima presiden di Istana, dan menjadi pembicara di social media. (Banality of Heroism as counterpoint to the Banality of Evil. Ordinary people do heroic deeds)
10. Camera Branding akan menjadi fenomena penting dalam marketing, social transformation, politik, pembentukan karakter dan bisnis di era baru Indonesia.
Buku Camera Branding ditulis oleh Rhenald Kasali untuk mengenal perubahan di Indonesia.
Rhenald Kasali, Founder Rumah Perubahan
Tentang Rumah Perubahan
Dibangun sebagai sebuah social enterprise yang bergerak bidang pendidikan, lingkungan hidup, dan sosial, Rumah Perubahan melakukan banyak kegiatan yang bersifat memberdayakan masyarakat, baik di lingkungan sekitar maupun di tempat lain. Di lahan seluas 5 ha di Pondok Melati, Bekasi, Rumah Perubahan memiliki PAUD Kutilang dan taman bacaan, pertanian organik, hingga peternakan sapi dan pengolahan biogas menjadi sumber daya listrik. Sementara di Pulau Buru, Maluku, Rumah Perubahan menggerakkan integrated farming yang meliputi peternakan sapi dan pengolahan biogas untuk bahan bakar penyulingan minyak kayu putih.
Dalam waktu dekat tengah dipersiapkan pula School for Climate Change, Rumah Tempe, Crowd Funding (kitabisa.co.id) dan e-commerce produk-produk innovative Indonesia.
Untuk menjaga keberlanjutan berbagai kegiatan tersebut, Rumah Perubahan menyelenggarakan berbagai pelatihan, mulai dari pelatihan manajemen, self transformation, hingga keterampilan teknis seperti menulis dan public speaking. Di Rumah Perubahan, agen-agen perubahan belajar mengenai kemandiri, inovasi, berorientasi pada tindakan nyata, serta mengedepankan proses dan etika dalam setiap perubahan yang dilakukan.
Informasi:
Twitter : @rumah_perubahan
Facebook : Rumah Perubahan Rhenald Kasali
Email : buku@rumahperubahan.com
Telepon : (021) 845 900 10, 0811884949