Saya sedang berada di atas pesawat GA 430 tujuan Mataram saat membaca berita bahwa para pilot Garuda akan melakukan mogok Kamis ini. Sementara itu, di sebuah harian, saya membaca mogok itu tidak direstui para pilot senior.
Ada rasa lega, tetapi tak kurang rasa gamang menyelimuti pikiran saya. Kalau pesawat kembali ke Jakarta esok pagi terhalang mogok, berarti pekerjaan-pekerjaan penting yang sudah menunggu akan terganggu. Malam ini juga saya memutuskan kembali ke Jakarta daripada harus berspekulasi esok.
Seorang teman menghibur: ”Sudah beres kok. Mereka yang mogok sudah dirayu.” Anda tentu sudah membaca, para penerbang profesional yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Garuda menuntut gaji yang sama dengan yang diterima pilot-pilot kontrak. Dari koran saya membaca pilot-pilot itu tidak terima saat mendengar kabar pilot-pilot kontrak (asing) menerima pendapatan yang lebih besar (Rp64,8 juta) dibandingkan pilot tetap (Rp43 juta).
Sebenarnya tidak terlalu sulit menjelaskan masalah ini karena semua orang tahu, hukum supply-demand terjadi di sini. Dan siapa yang berada pada posisi terjepit harus membayar lebih besar atau menerima lebih kecil. Jadi saat dunia penerbangan Indonesia tumbuh pesat dan Garuda Indonesia menambah pesawatnya (menjadi 116 pada 2015 dan 154 pada 2016), maka dapat dipastikan Garuda Indonesia akan pada posisi terjepit.
Kalau tidak bisa mendapatkan pasokan pilot dari dalam, dunia penerbangan komersial harus mulai terbiasa mengangkat pilot-pilot dari luar dengan status kontrak. Jelaslah sudah Garuda Indonesia ”dipaksa” membayar mereka dengan tarif sedikit lebih tinggi dari yang harus dibayarkan terhadap pilot tetapnya sendiri.
Mengapa Bekerja
Sahabat saya, mantan KSAU Marsekal (Purn) Chappy Hakim, menyalahkan operasional Garuda Indonesia sekaligus Kementerian Perhubungan yang lalai mempersiapkan pilot-pilot sendiri. Sudah tahu industri penerbangan kita mengalami pertumbuhan yang pesat, pemerintah lalai meningkatkan jumlah pilot secara memadai.
Akibatnya kue ini tidak sertamerta dinikmati anak bangsa yang masih butuh pekerjaan. Namun di lain pihak saya berpikir masalah pasokan pilot memang telah jauh berubah. Airlines besar yang dulu dikenal sebagai perusahaan yang steady telah berubah menjadi airlines yang selalu dilanda gonjang-ganjing.
Sejak globalisasi melanda dunia dan energi mengalami kelangkaan, dunia penerbangan menjadi sangat rentan terhadap krisis. Mereka dituntut hidup hemat dan bersaing ketat dengan low cost carrier yang serba hemat dan serba-outsource. Akibatnya kehidupan para pilot menjadi serba-tak menentu.
Airlines baru datang dan pergi dan conventional airlines mengalami kebangkrutan. Saat Garuda mengalami krisis di tahun 1998-2000, puluhan pilot Garuda juga sempat menghadapi masa-masa sulit tersandung PHK. Namun beruntung sebagian besar keterampilan mereka dikenal sangat mumpuni dan mereka cepat diserap airlines asing dengan gaji besar.
Tapi di Eropa dan Amerika Serikat para pilot lebih memilih hidup nomaden, berpindah dari satu low cost carrier ke low cost carrier lainnya, dari satu bendera ke bendera lainnya. Dengan ketiadaan karir, wajar bila mereka menuntut gaji lebih tinggi dari pilot berstatus pegawai tetap.
Namun begitu industri ini didera krisis, mereka pun harus menerima bayaran yang lebih rendah. Itu pun layak disyukuri karena mendapat pekerjaan di masa sulit adalah sebuah anugerah. Di Indonesia, keluarga-keluarga pilot sudah merasakan pahit manisnya hidup dalam keluarga penerbang.
Tidak sedikit keluarga yang dulu mengalami masa jaya kini hidup pasang-surut. Nah bagaimana reaksi pilot-pilot berstatus tetap? Harusnya hal seperti ini dihadapi para pegawai tetap dengan legawa. Mau tidak mau mereka akan berhadapan dengan 5–10% pilot kontrak yang kadang income mereka lebih tinggi dan kadang sebaliknya.
Hidup berdampingan, saling menjaga adalah tuntutan bekerja di dunia baru. Namun apa yang terjadi? Sejak globalisasi dan kapitalisme melanda dunia, manusia semakin kompleks memandang masa depannya. Para pekerja tidak lagi fokus pada apa yang bisa dia lakukan dan cukup atau tidak cukup menurut ukurannya sendiri, melainkan menjadi serba-tidak pasti dan mudah terganggu dengan segala informasi yang diterima.
Pada saat buruh-buruh di seluruh dunia berjuang keras menuntut keadilan dari upah yang sangat rendah, orang-orang yang bergaji besar (dan mampu membeli rumah beton berpekarangan besar) justru ingin menghancurkan masa depan perusahaannya. Bukan karena kurang bersyukur, melainkan ada persoalan lain yang diperjuangkan.
Inilah yang antara lain melatar-belakangi pemikiran pakar SDM Prof Dave Ulrich dan psikolog Wendy Ulrich saat menguraikan pikirannya dalam buku The Why of Work. Saya tidak tahu apa yang tidak diketahui banyak orang tentang keinginan sejumlah tokoh Asosiasi Pilot di Garuda saat membandingkan penghasilan mereka dengan penghasilan pilot-pilot kontrak.
Rasa tidak adil tentu bukan motif yang penting karena mudah dijelaskan dalam kasus ini. Dan saya kira pilot-pilot yang mengancam akan mogok ini memiliki empati yang sama seandainya esok mereka kehilangan pekerjaan dan terpaksa menjadi pilot kontrak diairlines milik asing.
Itulah sebabnya Dave dan Wendy Ulrich mengurai makna bekerja yang penting untuk kita hayati. Apakah posisi Anda direktur, pilot, ketua serikat pekerja, manajer di lini tengah, atau operator di ujung tombak, penting untuk memaknai hidup berkelimpahan (a sense of abundance).
Manusia yang merasa hidup berkelimpahan bertolak belakang dengan manusia yang merasa serba berkekurangan (a sense of scarcity). Dalam rasa berkelimpahan itulah hadir meaning, purpose, hope, and pleasure. Berbeda dengan mereka yang hidup dalam rasa berkekurangan yang selalu dihantui rasa kalah dan dikalahkan, kecurigaan dan kebencian, tersingkir dan tersungkur, serta kesulitan.
Mungkin para pemimpin tidak merasakan pengaruh dari ucapan-ucapan dan perbuatan yang mereka ambil saat mengajak orang lain mendukung gerakan-gerakan negatifnya. Namun satu hal yang pasti, perasaan berkekurangan berdampak buruk bagi kehidupan.
Malam tadi, saya pun memutuskan pindah pesawat dan kembali segera ke Jakarta untuk menyelesaikan tugas-tugas penting sebelum pesawat yang saya rencanakan pagi ini terbang ke Jakarta dihentikan para pilot yang memilih mogok. Saya berharap persoalan internal tidak dibajak keluar dengan mengorbankan masa depan perusahaan yang sudah terurus baik.
Saya juga berharap rasa berkelimpahan bersinar di antara mereka yang hidupnya jauh lebih beruntung dari pegawai-pegawai kecil yang lebih memerlukan uluran tangan. Jadi buat apa mogok?
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/416181/34/