Melanjutkan kolom minggu lalu maka saya akan mengulas bagaimana memasarkan buku nonfiksi secara lebih elok. Pertama-tama tentu kita harus memahami bagaimana sebuah buku dipasarkan. Di negara-negara maju, penulis tinggal duduk manis, penerbitlah yang bekerja keras memasarkan buku. Mereka berburu naskah-naskah bagus dari pengarang atau ilmuwan terkemuka, dan bila ada kesepakatan maka penerbitlah yang merancang strategi pemasarannya. Semuanya tentu dimulai dari produk yang bagus, yang didisain secara khusus, dipilih waktu yang tepat, dan dikomunikasikan melalui strategi promosi tertentu.
Tendensi Asal-asalan
Namun di sini situasinya terbalik. Penerbit cenderung enggan berpromosi. Ada tendensi mereka hanya berburu naskah sebanyak mungkin, bahkan siapa saja boleh membuat buku, bagus atau jelek itu relatif. Bahkan ada penerbit besar yang terkesan hanya punya target menerbitkan naskah sebanyak-banyaknya dalam setahun. Penulis-penulis muda yang cerdik memanfaatkan penerbit yang asal membuat buku dengan membuat judul yang \”menggoda\” meski isinya sesungguhnya tidak punya dasar ilmiah sama sekali. Buku itu diedarkan ke toko-toko buku dengan dibungkus cover plastik, dan pembaca kesulitan menerka isinya.
Ketatnya persaingan antar penerbit dan antar buku membuat penerbit gelap mata. Bahkan dalam industri buku-buku pelajaran sering kami temui buku-buku yang sangat tidak bermutu yang dipakai sebagai buku acuan sekolah. Sebagai orang tua, saya masih sering duduk bersama anak bungsu saya, menemaninya belajar dan menafsirkan isi buku yang dipakai di sekolahnya. Dari situlah saya mengerti, bagaimana anak-anak didik kita kebingungan mengikuti ujian nasional atau kenaikan kelas. Buku-buku itu ditulis dengan bahasa yang berputar-putar, terkesan ditulis oleh orang yang kurang berilmu dan tak bisa menulis dengan baik. Rumus-rumus ditaburkan tanpa konsistensi istilah, yang kalau dibaca halaman lebih lanjut akan lebih membingungkan. Saya tidak bisa mengerti apa rahasia seorang anak didik bisa mendapat nilai yang tinggi di sekolahnya dari buku-buku wajib yang dibuat seperti itu.
Dalam industri buku umum, hal serupa juga terjadi. Ada pengalaman beberapa orang yang tidak bisa menulis buku bisa berbangga mengaku sebagai penulis buku. Bukan, ia tentu bukan penulis. Pembaca saja yang dikibuli. Buku itu adalah karya penerbit yang menuliskan pikiran-pikiran orang itu. Mengapa penerbit mau melakukannya? Wajar saja kalau orang yang saya maksud memiliki nama besar. Katakan saja sebuah biografi yang menyangkut tokoh tertentu, wajar kalau bukunya dibuat dengan bantuan penulis atau ghost writer. Tapi yang saya maksud bukan ini. Buku self help atau manajemen yang ditulis seorang pendatang baru ternyata juga bisa dituliskan oleh penerbit hanya karena si penulis datang dengan iming-iming akan membeli lima atau sepuluh ribu kopi. Jadi Anda bisa bayangkan bagaimana controlling idea isi buku tersebut: Amburadul dan asal terbit.
Unik juga kok buku-buku seperti itu bisa laku dan penerbit senang saja membela mereka? Jawabnya adalah karena penerbit dapat uang. Dan saya saksikan buku-buku itu dipasarkan penulisnya dengan diskon khusus, dibundling dengan seminar bombastis, yang dilengkapi iming-iming paket seminar seharga lima juta rupiah, tapi kalau beli buku seharga seratus ribu akan dapat seminar gratis. Ajaib ya? Buku itu laku bak pisang goreng.
Namun demikian, seharusnya buku yang baik memang menjadi tanggungjawab penerbit dan penulis. Penerbit harus mampu mempromosikan isi buku dan membuatkan desain yang bagus, serta meletakkannya pada lokasi yang strategis di toko buku. Namun lagi-lagi karena penerbit dikejar target sekian ratus judul buku dalam setahun, maka kesan mass production pun tak terhindarkan. Cover dan isi dibuat dengan desain asal jadi. Bahasa dan content sulit dipertanggungjawabkan, dan akhirnya buku itu hanya bertahan beberapa bulan saja di toko buku.
Menurut saya, sebuah buku yang baik tak memerlukan bombastisme dalam pemasarannya asalkan sedari awal penulisnya benar-benar memikirkan situasi yang dihadapi pembacanya. Buku yang baik itu langka karena ditulis dengan penuh kesungguhan, dari jam terbang penulisnya yang tinggi. Ia menggabungkan ilmu pengetahuan dengan kebutuhan praktis pembacanya. Bahasanya sederhana sehingga mudah dipahami, kaya contoh, banyak ilustraasi dan isinya mengalir, penuh pandangan-pandangan baru yang didapat dari kajian ilmiah.
Dengan demikian, penulis buku yang bagus harus percaya diri. Tak perlu mengundang sensasi seakan-akan buku yang bagus tak akan diperhatikan kalau tidak bombastis. Justru sebaliknya cara bombastis akan mengundang kecurigaan pasar generasi baru yang sangat kritis. Kalaupun buku-buku seperti ini mendapat pujian, kita pun dapat menerkanya, itu hanyalah pujian semu yang dikarang-karang para penulis buku dan para karyawannya saja.
Sekarang ini kita semua hidup dalam era jejaring sosial yang serba gratis. Pasarnya adalah Generation-C yang terhubung satu dengan lainnya. Sebuah buku yang bagus akan cepat diulas dari mulut ke mulut, dari satu layar monitor ke layar monitor lainnya. Sebaliknya, buku yang buruk akan dikutuk ramai-ramai pula. Jadi dalam sosial media, Anda tak bisa lagi memasarkan buku dengan jargon jualan kecap. Seperti kata-kata: belilah, dasyat, tak ada duanya, dan seterusnya. Jelaskan saja bagian yang menarik, biarkan pembaca menyimpulkan sendiri.
Peran Penerbit
Dulu, penerbit masih sering beriklan. Namun sejak tarif iklan pada media konvensional melonjak drastis, penerbit urung berpromosi di media cetak. Penerbit lebih menjalankan peran produksi dan distribusi, lalu bayar rolayti antara 10 hingga 12 persen. Paling jauh penerbit hanya memberi dukungan minimal pada saat book launching.
Dari pengalaman saya, sikap penerbit memang diskriminatif. Artinya, kalau Anda penulis besar dan nama sudah dikenal, atau penerbit berkeyakinan buku Anda akan meledak, maka mereka akan membuatkan program promosi yang bagus. Mobil boxdistribusi akan dilengkapi billboard aneka warna, display dipajang di toko buku, dan sesekali Anda akan ditampilkan di media massa. Selebihnya, penerbit hanya melaporkan berapa royalti yang telah ditransfer setiap tiga bulan sekali.
Ini berarti peran penerbit minimal sekali, dan lagi-lagi karena buku yang mereka cetak dan edarkan setiap bulan jumlahnya sangat massal, sehingga tak ada jaminan buku Anda akan bergerak dinamis hanya dengan menyerahkan nasib Anda ke tangan penerbit. Dari situlah saya meyakini, peran penulis sangat besar. Penulis harus bisa menjadi distributor yang mampu menjual buku lebih banyak dari masing-masing toko buku. Tentu saja Anda tak perlu membawa peti mati atau membakar petasan besar, cukup menstimulasi orang untuk mendiskusikannya. Di era social media ini, buku yang baik akan brtcerita dengan sendirinya. Jadi? Percaya diri saja, dan jangan berhenti menulis. Perkaya ilmu Anda sehingga membuat pasar Anda percaya pada Anda, perbaiki kualitas buku Anda dari waktu kewaktu, dan tak perlu lebay.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia