Lama kalimat di atas saya renungi, sampai hari Sabtu lalu saya menerima para penggerak Sektor Ketiga di Rumah Perubahan.
“Saya memulainya karena kesel,” kata Haji Chaerudin yang biasa dipanggil Bang Idin. Berbeda dengan aktivis lain yang berdemo di tengah kota, atau preman-preman etnis yang memilih gerakan dengan kekerasan, Bang Idin memilih terjun langsung ke sungai. Ia melakukan survei dengan bertengger di atas sebatang gedebong pisang dari Gunung Pangrango. Hatinya pedih melihat aliran sungai yang melewati ibukota diterjang bokong rumah-rumah besar dan dijadikan pembuangan limbah. Dari situlah lahir komunitas yang ia berinama Sanggabuana. Di tepi Kali Pesanggrahan di Karang Tengah, Lebak Bulus Jakarta, ia menanam ribuan pohon keras, buah sukun, memelihara kambing, membangun komunitas pedagang ikan hias dan ikan konsumsi di Parung dan mengolah sampah. Hasilnya silahkan anda lihat sendiri. Bukan cuma penghijauan dan kebersihan, sebuah kegiatan ekonomi yang produktif mengakar hingga ke bawah.
Demikian juga dengan Masril Koto di Sumatera Barat. Ia kesel melihat tak ada lagi kaum muda yang berminat menjadi petani. Setiap petani mengajukan pinjaman modal ke bank, selalu ditolak bank. Ia lalu mendatangi petani satu persatu, sampai para petani menyatakan niatnya untuk berkumpul dan memiliki bank sendiri yang berakar pada budaya ninik-mamak, dan halal. Ia hanya mengajukan pertanyaan dan jawabnya ada di para petani itu sendiri.
Lain Bang Idin dan Masril Koto, lain pula Bambang Basuki. Sebagai tuna netra dan guru Sekolah Luar Biasa (SLB). Ia kesal melihat tuna netra lebih dilihat sebagai hambatan dan constraint. Padahal tuna netra bisa memberi kontribusi yang besar.
Ada kesamaan antara mereka bertiga dengan social entrepreneur lainnya yang bergabung dalam asosiasi yang kebetulan saya pimpin: Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI). Mereka semua kecewa terhadap ribetnya sistem yang gemuruh suara konflik politis tak berujung.
Sektor pertama, yaitu public sector (pemerintah) yang diharapkan berperan ternyata terbelenggu oleh birokrasi dan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Sektor kedua, yaitu dunia usaha, hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Dana CSR masing-masing perusahaan yang besarnya luar biasa, ternyata masih terlalu sedikit yang bisa disalurkan. Orang-orang yang ditugaskan mengemban misi CSR terlihat bingung mengelola dana yang besar dan sulit dihabiskan. Mau diserahkan pada pihak ketiga kok terkesan kurang rela. Sistem yang ada belum mendukung.
Tetapi kekecewaan mereka tentu bukan diungkapkan dengan berbicara, membuat keonaran, atau mencaci maki orang-orang yang berkuasa. Mereka memilih bekerja kecil-kecilan, yang penting ada hasilnya. Lantas apa bentuknya?
Entrepreneurship Solution
Di Amerika Serikat sendiri, semakin hari social entrepreneur telah menjadi perhatian yang penting. Di Harvard Business School, telah dibentuk The Social Entrepreneurship Initiative. Sedangkan di Duke University disediakan sebuah wadah berupa The Center for The Advancement of Social Entrepreneurship. Hal serupa juga dibangun di Columbia Business School, dan puluhan Universitas lainnya mengikuti langkah mereka.
Di Eropa, hal serupa juga terjadi, dan pemerintah yang paling agresif mendorong peran sektor ketiga tampaknya adalah pemerintah Inggris. Bahkan British Council yang dulu hanya berfokus pada kursus bahasa Inggris dan pemberian beasiswa, beberapa tahun ini mulai membangun jaringan kerjasama dan pengembangan kapasitas dalam dua bidang: Ekonomi kreatif dansocial entrepreneur.
Namun terlepas dari hiruk pikuk definisi, social entrepreneur Bambang Ismawan mendefinisikan kewirausahaan sosial adalah social development with entrepreneurship solution. Simpel bukan?
Jadi pejuang-pejuang kesejahteraan sosial yang dulu hanya menampung dana-dana sosial kini bisa saja menegakkan kepalanya dengan berhenti mencari donasi asalkan mau lebih rendah hati berwirausaha atau menggunakan pendekatan kewirausahaan. Tak ada yang melarang mereka untuk berkegiatan ekonomi sepanjang hal itu dilakukan untuk menjaga masa depannya (sustainability). Setiap orang ingin hidup sejahtera, namun tetap bisa berbagi. Namun saat berwirausaha, ingatlah selalu, bahwa keuntungan yang didapat akan digunakan untuk berkegiatan sosial.
Unik dan Bervariasi
Benar. Karena setiap orang memulai dari kegelisahan masing-masing sehingga pemicu awalnya hampir semua berbeda. Mereka mulainya dari diri mereka masing-masing, namun tidak meratapi diri atau menyerang lembaga-lembaga resmi atau menuding pemerintah. Maka ada otentisitas intervensi yang adaptif dengan budaya setempat. Mereka masing-masing mengakar dalam masyarakatnya, dan tetap rendah hati.
Pendekatan kewirausahaan pun tidak hanya dipakai untuk mencari uang. Mereka semua benar-benar bekerja bak entrepreneur sungguhan. Membangun usaha, merekrut pegawai, menciptakan produk dan menyalurkan kesejahteraan.
Ayo siapa yang mau ikut bergabung? Jangan asal bicara, apalagi mengajak orang untuk ribut terus. Kesenjangan sosial yang semakin menganga saat ekonomi membaik (tumbuh) tak bisa diatasi hanya oleh cara-cara dialektis dan politis. Kita bisa membantu mengatasinya dengan pendekatan kewirausahaan.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407908/34/