Banyak pembaca bertanya, kalau tidak dengan cara bombastis, bagaimana cara memasarkan buku? Maklum, ada-ada saja cara para pendatang baru memasarkan bukunya belakangan ini. Mulai dari menebar uang recehan dan voucher seminar kepada penduduk kampung dari helikopter, sampai mengirim peti mati.
Tidak hanya itu, pengarang-pengarang baru itu juga mengajarkan cara-cara bombastis, cenderung jalan pintas kepada anak-anak muda. Sementara itu, tanpa menggunakan cara-cara seperti itu, saya sendiri bisa menjadi saksi bagi Anda, buku-buku yang ditulis dengan baik bisa menembus pasar secara elok. Saat kolom ini ditulis, saya baru menerima pemberitahuan dari penerbit bahwa cetakan ke empat buku ke-19 saya (Cracking Zone) telah beredar. Padahal buku ini baru diluncurkan empat bulan yang lalu.
Mungkin bukan hanya Cracking Zone yang menjadi koleksi pembaca. Bagi saya, di era informasi seperti ini buku yang baik akan berbicara sendiri. Sebaliknya, buku yang kurang bagus, mau dipromosikan seperti apapun pasti akan sulit diterima oleh pasar. Jadi mengapa tidak memulainya dari produk yang bagus?
Timbul pertanyaan, kalau cara-cara yang sehat saja masih bisa dilakukan, mengapa harus menggunakan cara-cara gila? Benarkah sebuah buku yang bagus isinya tidak akan dilirik pasar?
Fiksi atau Non-Fiksi
Bukan rahasia umum bahwa dunia buku adalah dunia fiksi. Buku-buku yang terjual ratusan ribu, bahkan jutaan kopi adalah buku-buku fiksi. Sementara itu buku-buku non-fiksi, kalau tidak menjadi perhatian publik atau tidak menjadi bacaan wajib di sekolah, paling banyak hanya terjual sepuluh atau dua puluh ribu kopi. Sedangkan mayoritas buku yang dibuat asal jadi, menjual seribu kopi saja susahnya setengah mati.
Namun dunia fiksi menjadi ramai karena banyak cerita dan karangan yang bisa diangkat secara fiktif, baik dalam penokohan, pemasaran, kemasan, maupun event-nya. Maka cara-cara fiktif dalam pemasaran buku fiksi adalah biasa.
Menjadi masalah bila seorang penulis tidak bisa membedakan keduanya. Buku-buku manajemen, ekonomi, science, dan self help(termasuk motivasi) adalah buku non-fiksi yang harus ditulis berdasarkan fakta dan pengetahuan, bukan sembarang bicara. Meski terlihat indah, mengharukan dan seakan memotivasi atau seakan-akan benar, karya non-fiksi tidak dapat disajikan tanpa dasar.
Jadi celakalah bila buku-buku non-fiksi yang dipasarkan dengan pendekatan fiktif, apalagi bila dibuat bombastis. Buku Harry Potter misalnya, bisa saja dibuat bombastis, memakai tokoh-tokoh animatif, diluncurkan tengah malam dengan ribuan remaja mengantri. Tetapi saya tak akan melakukannya untuk buku-buku manajemen (non-fiksi) yang saya tulis.
Jangankan pemasaran, isinya pun harus ditulis dengan penuh kehati-hatian. Anda memerlukan landasan teori untuk menyampaikan kebenaran meski bahasanya dibuat semudah mungkin untuk dipahami dengan contoh yang dekat pada pembacanya. Mungkin Anda masih ingat kontroversi yang dialami Robert Kyosaki yang terkenal dengan buku Rich Dad-Poor Dad-nya. Kisah bapaknya yang kaya (yang menjadi fokus karyanya) di bongkar oleh John Reed (Harvard) yang ternyata kisah yang diangkat Kyosaki hanya fiktif belaka.
Kalau Anda dalami lebih jauh, Anda akan menemukan masalah moral di dalam buku ini yang mungkin telah turut melahirkan orang-orang yang ingin cepat kaya yang sekarang menjadi buronan polisi dan KPK. Masalah moral itu adalah serba mementingkan si kaya, objektif kewirausahaan adalah cepat kaya, berani berspekulasi, sekolah tidaklah penting, dan jangan akui orang tua kandung kalau dia miskin.
Berbahaya bukan? Entahlah bila Anda mengatakan tidak. Tetapi bagi saya, hal seperti ini banyak kurang patutnya.
Nah, bagaimana respons para pengikut Robert Kyosaki? Anda mungkin sudah bisa menerka, para pengikut yang kurang cerdas, tentu akan beranggapan postulasi Kyosaki benar. Mereka ingin cepat-cepat sukses dan cara-cara bombastis pun digunakan. Buku mereka mungkin tidak sebagus buku yang benar-benar bagus, sebab mereka beranggapan semua itu tidak penting. Yang penting heboh dan dibeli. Soal dibaca nomor dua. Dipakai untuk hidup tidaklah penting, yang penting mereka dianggap hebat, kreatif, dan berani. Lalu cepat menjadi kaya. Mereka lupa, buku adalah karya ilmiah. Dengan buku, kita tidak asal bicara atau menulis. Kita menyajikan fakta, hubungan dan kebenaran. Bukan asal bicara, asal gagah-gagahan. Kalau tak punya ilmu, tulis saja biografi, tak usah sok ilmu-ilmuan, atau mencaci maki ilmu pengetahuan.
Inilah cara-cara yang tidak dianjurkan, karena cara-cara seperti ini hanyalah cocok untuk memasarkan buku-buku fiktif, yang hanya merangsang imajinasi. Minggu depan akan saya lanjutkan dengan pengalaman saya memasarkan buku secara elok. Selamat berkarya.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia