Budaya Dadakan – Sindo 19 Mei 2011

Lebih dari 2.000 tahun lalu, seorang filsuf pernah berujar, ”Keberuntungan akan terjadi saat peluang bertemu persiapan,”(Seneca).

Seneca sepertinya ingin menasihati kita, betapa pun peluang yang Anda lihat begitu besar, tanpa persiapan, tak akan pernah bisa menjadikan Anda manusia atau bangsa yang beruntung. Apalagi bangsa yang kompetitif. Saya pernah membagi-bagikan kalimat itu kepada 300-an usahawan dan saya menemukan dua jawaban berbeda. Di kalangan industriawan saya selalu mendapat jawaban ”amin” alias ”laksanakan.” Mereka mengatakan,kata kuncinya ada pada ”persiapan.” Tanpa persiapan, percuma memburu peluang.”Persiapan itulah yang membuat kami menjadi besar, dihormati dalam industri, kompetitif, dan terdepan.” Jawaban sebaliknya saya terima di antara pedagang-pedagang kecil, pemilik warung kaki lima.

Mereka mengatakan, ”peluang segala-galanya”, sedangkan ”persiapan itu impossible.” Kalau pakai persiapan malah tidak jadi jualan, tidak jalan, banyak takutnya. ”Jadi, kapan diingat, begitu terpanggil, ya kerjakan saja. Malam dipikirkan, besok langsung buka usaha.” ”Tidak perlu pikirkan dari mana uangnya, siapa yang harus diajak bicara, berapa lama pihak terkait diberi tahu dan seterusnya. So, just do it,” ujar mereka. Saya jadi teringat dengan sindiran almarhum Prof Dr Slamet Imam Santoso di Aula FKUI lebih dari 25 tahun lalu. ”Banyak orang yang malam ini bermimpi membangun Fakultas Kedokteran,besoknya langsung bangun rumah sakit. Padahal dokternya belum ada, apalagi kurikulumnya.” Semua serba dadakan, dan Anda lihat sendiri bagaimana kualitas output-nya yang berdampak sampai hari ini.

Tapi,ngomong-ngomong, bagaimana pemerintahan dan birokrasi kita? Mereka menganut cara berpikir yang mana? Apakah cuti bersama yang jatuh pada Senin (16 Mei 2011) lalu sudah dipersiapkan jauh-jauh hari atau dadakan? Apakah pemerintah bersungguh-sungguh memperbaiki daya saing bangsa ini dalam menghadapi China-AFTA atau kita anggap saja ini bonus kecil yang tak perlu dipersoalkan?

Makna Persiapan

Setahun lalu seorang teman, mantan CEO perusahaan asing yang diangkat menjadi staf khusus seorang menteri, mengeluhkan hal yang sama. ”Serba dadakan,” ujarnya. Menteri yang dibantunya sibuk mengurusi hal-hal yang baginya tidak begitu penting. Menghadiri resepsi pernikahan semua yang mengundangnya, membuka seminar dan menjadi keynote speaker,melayani seluruh tamu yang minta bertemu, dan mengerjakan semua urusan surat-menyurat. Sudah begitu, para pejabat tinggi merasa tidak nyaman kalau tak selalu berada di depan atasannya.

Turun dari pesawat semua dirjen sudah harus ada di depan pintu atau ruang tunggu. Acara apa saja yang ada menteri, pejabat harus selalu hadir. Dia mengakui menteri sekarang umumnya pintar-pintar, tetapi itulah persoalannya. ”Orang pintar cenderung ingin mengerjakan semuanya sendiri, dan bodoh dalam berkoordinasi, menggerakkan orang lain. Satu-satunya yang digerakkan hanya otak dan tangannya sendiri,”katanya. Saya katakan, mungkin bukan itu point-nya.Persiapan adalah sebuah keterampilan, yaitu keterampilan menganalisis masalah dan melihat jauh ke depan, lalu membuat rencana-rencana yang terkoordinasi. Jadi selain terampil membuat rencana, seseorang juga harus terampil berkoordinasi dan membangun kerja sama.

Ini saja belum cukup, diperlukan latihan-latihan dan pengecekan-pengecekan. Jadi rencana yang berdiri sendiri saja bukanlah sebuah rencana yang baik. Kita butuh sekretariat kuat, yang bukan cuma jadi tukang ketik dan fotokopi, melainkan pemeriksa agenda dan mem-follow up keputusan. Cobalah tengok negara-negara yang neraca perdagangannya surplus terhadap China dalam platform China – AFTA. Mereka semua bekerja dengan persiapan yang matang. Setiap isu mereka diskusikan hingga terwujud action plan beserta agenda-agendanya. Semuanya memiliki sekretariat negara dan sekretariat-sekretariat kementerian yang kuat.

Sementara di Indonesia sekretariat menteri hanya diisi sekretaris biasa yang hanya bertugas typing, filling, dan scheduling tamuplus travelling menteri.Sedangkan sekretaris jenderal sibuk dengan urusan administrasi dan birokrasi. Bagaimana dengan sekretariat negara? Saya punya kesan, di era sekarang ini sekretariat negara mengalami banyak kemunduran. Peranan manajemen modern, motivasi, dan leadership sudah pasti sangat memengaruhi keberadaannya.

Birokrasi Ribet 

Tak dapat dipungkiri, bekerja dadakan telah menjadi semacam budaya di negeri ini. Banyak bawahan mengeluh pekerjaannya tidak selesai-selesai, karena atasannya banyak memberi tugas dadakan. Kalau ditanya ke atasannya, mereka semua mengatakan pihak terkait (klien, pasar, pejabat) juga mintanya mendadak. Birokrasi yang ditanya mengatakan, presidennya atau DPR-nya minta mendadak. Taruhlah semua yang mendadak itu tak bisa dihindari, tetapi bukankah ada di antara hal-hal yang mendadak itu yang dapat direncanakan?

Coba periksa kembali, apakah betul merencanakan cuti bersama atau libur nasional saja tidak bisa kita umumkan sebulan atau setahun sebelumnya? Kalau hal seperti ini saja tidak bisa, kemungkinan besar cara berpikir para pemimpin sudah terganggu. Ribet dan terlalu banyak benang kusut yang harus segera dibenahi. Birokrasi yang ribet sudah menjadi benalu dalam pembangunan negeri ini. Tinggal dipotong saja, kok malah disayang-sayang?

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/400024/34/

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *