Banyak orang sudah lupa, tetapi beberapa di antara kita mungkin ingat. Sepuluh tahun lalu, tak lama setelah krisis moneter, sejumlah perusahaan mengklaim visinya menjadi the world class company. Seingat saya, tulisan itu ada di sebuah perusahaan telekomunikasi milik BUMN dan di bandara Soekarno-Hatta (SHIA).
Tidak jelas betul apakah para pemimpin perusahaan mengerti apa yang dimaksud, tetapi sebagai warga negara saya sering bertanya-tanya: Apa maksud gerangan di balik statement itu? Tulisan serupa juga saya baca di bandara Kuala Lumpur (KLIA) dan bandara Changi Singapore. Bedanya, di kedua bandara internasional itu mereka “begging” pada para pelancong agar memberivote kepada mereka sebagai “The World Class Airport”. Voting diberikan kepada Skytrax yang melakukan survey konsumen tentang kebandar-udaraan.
Bukan cuma berkampanye, mereka juga minta saran dari para pelancong apa kekurangan-kekurangan mereka. Mulai dari lantai yang kusam, toilet yang bau dan kumuh, lampu yang remang-remang, selasar jalan yang sempit, ruang tunggu, tempat merokok, ban berjalan, antrian, petunjuk jalan, pelayanan imigrasi, petugas bea cukai, tax refund, tempat parkir,baggage handling, sampai restoran dan fasilitas internet di ruang tunggu bandara. Semua mereka perbaiki melebihi ekspektasi para pelancong danbusinessman.
Beda benar dengan di sini. Beda apa yang dikampanyekan dengan apa yang dilakukan sehari-hari. Spanduk tinggal spanduk. Masing-masing petugas bekerja sendiri-sendiri. Antrian semakin crowded dan panjang. Tanda petunjuk jalan tidak banyak ditemui. Akses kereta api yang dijanjikan sampai hari ini tidak terlihat, selain jalan tol yang semakin padat. Pelancong dan jumlah pesawat tiba-tiba sudah jauh melebihi kapasitas bandara.
Setelah lama dilupakan, kata itu muncul lagi setahun yang lalu. Dan minggu lalu, di perayaan ulang tahun ke-7 STFC (Soekarno-Hatta Trade Facilitation Committee) yang menghimpun para stakeholder Bandara Soekarno-Hatta, diskusi hangat tentang bandara kelas dunia kembali digelar. Yang saya tangkap, para stakeholders khawatir para otoritas kebandaraan tidak bisa membedakan kata “international airport” dengan “world class”. Yang satu bicara tentang regulasi dan fungsi, yang satunya bicara tentang tuntutan konsumen. Dan yang sangat khawatir itu bukan pemerintah, tetapi dunia usaha.
Hendaknya kita lebih serius, kata “world class” menyandang konsekwensi yang serius.
Dan Pemenangnya Adalah…
World class itu adalah sebuah kualitas. Ia bukanlah sekedar fungsional seperti Anda makan di warung tegal sekedar kenyang, atau minum kopi tubruk sekedar tidak mengantuk. Kata world class dalam sebuah industri jasa berarti pelayanan yang canggih, melebihi ekspektasi. Tahun lalu The World Airport Survey mengumpulkan pendapat dari 11.38 juta penumpang yang ditemui di 240 bandara internasional di seluruh dunia. Anda tentu bisa menerka, bandara kita belum beruntung. Sepuluh tahun saja ternyata tidak cukup. Apalagi bila kita tidak melakukan apa-apa, bukan?
Anda ingin tahu siapa saja pemenangnya?
Sepuluh besar 2011 yang diumumkan sebagai The World Class Airport (World’s Best Airport) adalah sebagai berikut: Hongkong, Changi (Singapore), Incheon (Korea Selatan), Munich (Jerman), Beijing (China), Schiphol (Belanda), Zurich (Austria), Auckland (New Zealand), Kuala Lumpur (Malaysia), dan Copenhagen (Swedia).
Kuala Lumpur yang bandaranya terlihat modern saja dan terus berkampanye, tahun ini peringkatnya turun tajam dari nomor 5 (2010) menjadi nomor 9 (2011). Demikian pula Changi yang melorot dari urutan nomor 1 tahun 2010 ke nomor 2 (2011). Sedangkan Copenhagen melonjak dari urutan nomor 15 ke momor 10, dan Hongkong dari urutan ke 3 ke nomor 1. Semua negara yang sadar pentingnya pariwisata dan arti pergerakan ekonomi pasti memperhatikan bandaranya. Seperti Beijing yang tahun sebelumnya berada di urutan ke 8, sekarang menjadi nomor 5 dunia.
Saya tidak menemukan berapa urutan bandara Soekarno-Hatta dalam hasil survey itu. Tetapi harus kita akui, kerja keras saja masih belum cukup membawa bandara Soekarno-Hatta (SHIA) ke 10 besar dunia dalam dua-tiga tahun ke depan. Andaikan saya menjadi ketua DPR maka saya pasti akan memindahkan anggaran pembangunan gedung itu ke perluasan dan perbaikan kualitas bandara, atau pembangunan jalan kereta api yang sudah pasti akan membuat bangsa ini lebih bermartabat.
Perhatikanlah kalimat-kalimat yang muncul dari para peserta survey yang mengisi komentar tentang SHIA (Soekarno-Hatta International Airport):
“In common with most reviews here – the international terminal is awful and a disgrace to Indonesia. It is amazing that the nation tolerates this for its first point of contact with arriving foreigners – or maybe it just doesn\’t care. Immigration is totally inadequate with perhaps 4-5 desks open for multiple flights leading to clearance times of more than an hour. Perhaps the delay at immigration could be considered a plus as typically the wait for baggage is relatively short. But all in all, avoid if you can.”
Atau bacalah komentar ini:
“The airport is dark, hot and humid. The toilets are dirty with cockroaches, people are smoking inside the airport. The shops are boring and food choice limited. Long queue at immigration (with various people trying to cut queues), long waiting time for the baggage, and chaotic traffic outside the airport as every vehicles are trying to stop right outside to drop off/pick up passengers.”
Secara menyeluruh kata-kata negatif seperti awful, dark, confusing, waste time, traditional and old, not friendly, crowded, lazy, dan setrusnya masih banyak ditemui dalam survey-survey yang diisi para businessman dan wisatawan yang mendara di SHIA.
Kalimat-kalimat dan hasil survey ini tentu merupakan cambuk bagi para stakeholder. Sebab para pengelola dan orang-orang yang bertanggung jawab di SHIA adalah relatif pemimpin-pemimpin baru yang terlihat lebih bersungguh-sungguh. Para eksekutif Angkasa Pura II baru delapan bulan bekerja. Dirjen Imigrasi baru tiga bulan. Dirjen Bea dan Cukai, selain muda, juga baru sebulan ini menjabat. Jadi mereka pasti ingin membangun legacy dan memberi bukti, bukan janji.
Bandara kelas dunia diukur dari pelayanan, bukan sekedar fungsionalitas. Akses dan teknologi tentu penting, tetapi airport shopping, security processing, immigration service, ruang transit, kebersihan, toilet, hiburan-hiburan, ruang makan, antrian, dan internet harus menjadi perhatian para pengelola. Menteri-menteri harus merubah struktur gaji para petugasnya yang berkantor di bandara karena biaya mereka sangat besar. Budaya kerja harus di therapy, investasi baru harus ditanam kembali dan semuanya harus di bawah satu komandokan (BKO).
Produk, bukan Promosi
Berkali-kali saya mengatakan promosi Indonesia harus dimulai dari produk, bukan pameran-pameran dagang, promosi wisata, atau jalan-jalan lainnya. Tetapi mungkinkah pemerintah meninjau kembali komponen-komponen biaya pemasaran Indonesia (Indonesia’s Marketing Mix of Place)? Saya menduga, para pejabat masih belum puas jalan-jalan dan masih belum mampu melancong dengan uang milik sendiri, sehingga promosi masih diartikan jalan-jalan.
Andaikan kita mau sedikit bersabar, maka berbenah diri adalah strategi yang terbaik. Sebab hukum pemasaran mengatakan “promoting bad product is backfired!”
Bertobatlah sebelum terlambat. Ayo para Menteri, buka mata, jangan terbawa arus dan berpura-pura tidak tahu! Ayo para wakil rakyat, belum puaskah dengan kekuasaan mu yang sudah terlampau besar itu? Kembalikanlah semuanya demi martabat bangsa. Banglitlah Indonesiaku!
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/398499/34/