Franchise Boom – Sindo 28 April 2011

Setiap kali saya mendatangi komunitas-komunitas franchise Indonesia, saya tertegun. Apakah itu seminar, konferensi atau pameran (ekspo), pengunjungnya bukan saja ramai, tetapi ramai sekali. Franchisor  atau calon franchisor-nya banyak. Demikian pula calon-calon franchisee-nya. Meski yang ditawarkan kebanyakan masih berupa kuliner, produknya amat bervariasi. Dari bakso sampai kebab, dari bubur sampai lele.

Tengoklah kanan-kiri jalan yang Anda lalui, atau mall yang Anda kunjungi. Di semua tempat itu yang Anda lihat adalah outlet-outlet franchise: Kuliner,outlet toko sepatu, komputer, software, pakaian, mainan anak-anak, agen-agen properti, dan seterusnya. Selalu tersembul franchisor lokal diantara merek-merek dan franchise asing.

Baik franchisor maupun franchisee sama-sama bersemangat dan saling menaruh harapan. Seakan-akan franchise adalah jalan terbaik untuk tabungan hari tua, jalan menjadi ke wirausahaan dan bebas dari segala resiko.

Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar. Sama seperti manusia yang Anda kenal, selalu ada franchisor dan franchisee yang baik dan ada yang tidak. Di Rumah Perubahan kami mempunyai dua orang mitra kerja yang mengenal seluk beluk franchise. Yang satufranchisor lokal yang berhasil membangun teknologi dan jaringan pemasaran yang solid, sedangkan yang satu lagi adalahfranchisee yang aktif membeli franchise.

Rekan saya yang dulu merintis kewirausahaannya sebagai franchisee sekarang telah berevolusi menjadi milyarder dalam bidang usaha Pertrochemical. Sampai saat ini ia masih menjadi pemegang hak pada beberapa merek franchise. Namun dari pengalamannya, kita bisa belajar. Ia menemukan, dari puluhan franchise yang ia beli ternyata hanya 30-40% franchisor lokal yang dapat dipercaya. Sekitar 60-70% franchisee yang dibelinya ternyata hanya pepesan kosong belaka.

Tapi nanti dulu, apakah franchise asing tidak ada masalah? Ternyata belum tentu. Seorang pengusaha mengaku tidak semuafranchisor luar negeri pasti bagus. “Setelah beberapa tahun berjalan kami tidak mendapat support apa-apa”,” Ujarnya.

Mereka hanya tertarik mengambil uang muka (franchise fee). Sedangkan dukungan teknis dan pemasarannya buruk, pasokan barang-barang atau bahan baku tidak lancar, produknya hanya laku sesaat dan seterusnya.

Bayangkan, apa jadinya negeri ini kalau Departemen Perdagangan dan para pembuat kebijakan hanya tertarik mempromosikanfranchise sementara kontrol dan bimbingan mutunya tidak ada? Inilah yang saya khawatirkan: Franchise boom, lalu collaps seperti bursa saham yang anjlok.

Inilah saatnya dimana usaha franchise lokal tumbuh bak jamur di musim hujan. Tetapi 95% franchisor itu miskin pengalaman, pendirinya masih sangat belia, belum memiliki keterampilan manajemen yang memadai dan celakanya, sebagian diantaranya mereka tergoda ingin cepat kaya. Beberapa franchisor yang kami wawancarai ternyata bukan memulai usaha dari keunggulan teknologi, melainkan karena tergoda oleh jargon \”passive income\” yang dijanjikan sejumlah mentor sebagai jalan pintas menuju kaya.

Karena itulah dalam tulisan ini saya perlu mengingatkan franchisor dan franchisee, juga pemerintah agar lebih cermat menjaga baik-baik pertumbuhanindustri franchise yang tengah tumbuh. Kita tidak ingin pasar negeri ini dikuasai oleh franchisefranchiseasing. Tetapi kita juga tidak bisa membiarkan industri ini dijalankan oleh pelaku-pelaku yang kurang berkualitas.

Selektif

Usaha franchise tidak serta merta gagal karena kesalahan franchisor. Kata kunci usaha ini adalah selektif. Franchisor yang berhasil adalah franchisor yang sangat berhati-hati memberikan haknya kepada orang lain untuk menggunakan sistem dan brand yang ia miliki.

Anda bisa bayangkan apa jadinya bila dalam setahun seorang franchisor melepas haknya kepada 100 individual franchisee. Ini berarti setiap dua atau tiga hari mereka membuka satu outlet baru. Jangan bandingkan dengan McDonalds atau franchisorterkemuka lainnya yang bisa membuka outlet beberapa jam sekali. Mereka sudah berusia puluhan tahun, sistemnya sudah teruji dan modal masing-masing  franchisee-nya sudah kuat. Franchisor dan franchisee kita masih sama-sama baru belajar dan ekonominya masih lemah.

Selektif dalam memilih franchise menjadi sangat penting untuk menjaga kekuatan merek. Dalam presentasinya di Universitas Indonesia minggu lalu, Hengky Eko Sriyanto, pemilik waralaba bakso Malang Kota Cak Eko, mengatakan ada sembilan tipe calonfranchisee yang harus dihindarkan. Kesembilan karakter itu adalah arogan, keras kepala, tidak realistis, berantakan, egois, pemalas, mudah panik, kurang percaya diri, dan rakus.

Sedangkan orang-orang yang berpotensi sukses menjadi mitra adalah mereka yang mau belajar, mau bekerja hingga larut malam, terampil dalam membangun relationship, memiliki keterampilan menjual, tahan banting, bersedia menerima pendapat orang lain dan memiliki modal yang memadai.

Saya kira tidak perlu dijelaskan satu persatu karakter di atas. Yang jelas Anda harus selektif, bila perlu lakukan pengujian-pengujian yang dapat dipertanggungjawabkan. Anda mungkin tidak cukup melakukan psikotes saja, melainkan harus mengujinya secara langsung on the spot.

Yang jelas, Anda tidak dapat bekerjasama dengan orang yang ingin buru-buru meraih keuntungan. Ingatlah Starbucks Indonesia saja memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menikmati keuntungan. Satu tahun bukanlah waktu yang cukup untuk menilai kelayakan usaha dari sebuah franchise yang brandnya  kuat, tetapi enam bulan bisa jadi sudah terlalu lama untuk mempertahankan franchise yang belum dikenal.

Jadi sebenarnya selektifitas merupakan alat signal yang bagus untuk melihat kesungguhan franchisor serta ketangguhan usahanya. Franchisor yang asal ambil franchise fee, mudah membuka gerai dan menerima anda secepat angin sudah hampir dapat dipastikan bukanlah franchise yang baik. Naga-naganya investasi Anda akan menguap secepat itu pula.

Harus Sudah Untung

Selain menyeleksi franchise, setiap orang yang akan mengoperasikanfranchise hendaknya juga selektif dalam memilih. Sebuah sistem hanya boleh di-franchise kan kalau induknya benar-benar sudah terbukti menguntungkan selama lima tahun. Undang-undang mengatur, sebelum lima tahun beroperasi, suatu sistem belum dapat di-franchise kan.

Lantas siapa yang bisa memeriksa laporan keuangan franchisor? kalau mereka bukan listed/public company tentu publik kesulitan mengecek data yang mereka berikan. Dalam hal ini kewajiban pemerintah lah untuk mengaudit franchisor.Pemerintah berkewajiban menjaga kepentingan investor meski perannya harus dibatasi agar tidak terjadi persekongkolan atau pemerasan oleh oknum-oknum petugas.

Lantas mengapa semakin banyak anak-anak muda yang tertantang menjadifranchisor meski usaha mereka belum berusia lima tahun, bahkan belum teruji, mereknya belum kuat, dan sistemnnya belum terbangun?  Jawabnya mungkin adalah pemerintah tidak terlalu tegas mengawasi pekerjaan mereka. Atau bisa jadi, saat ini masyarakat sedang mengalami kelebihan likuiditas sehingga mereka mencari cara untuk memutar uang yang efektif.

Tetapi harap diingat franchise adalah sebuah sistem yang dijalankan E2E, yaitu Entrepreneur to Entrepreneur. Bukan E2Em (Entrepreneur to Employee). Jadilah entrepreneur maka Anda akan lebih cermat mengambil langkah. Anda tidak akan sekedar ingin mengeluarkan uang atau nice to have it. Anda akan bertindak lebih kritis, tidak ingin meraih untung yang berlebihan tanpa mempertimbangkan resikonya.

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/395427/34/

Sebarkan!!

0 thoughts on “Franchise Boom – Sindo 28 April 2011”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *