Dalam waktu yang tidak lama lagi perbincangan tentang mobil nasional akan kembali marak. Pasalnya, angka produksi otomotif nasional sudah mendekati 1 juta, dan begitu mendekati angka konsumsi kramat ini, biasanya para insinyur mulai berpikir mengapa tidak membuatnya sendiri saja?
Di China, angka 1 juta sudah terjadi sejak tahun 1992, dan sejak itu pertumbuhan pasarnya naik di atas 20% setahun. Tahun lalu, China memproduksi 18 juta kendaraan roda empat dan lebih dari 90% untuk konsumsi domestik. Sekarang China memiliki sejumlah perusahaan otomotif nasional yang memasarkan mobil-mobil buatan sendiri dengan berbagai merek seperti Pegasus dan Sailor (buatan Great Wall Motors), Geely, Jinghuai (JAC), BYD, Lifan, Changan, Cherry, Junjie, dan sebagainya.
Di India, angka penjualan 1 juta dilalui pada tahun 2003 dan sekarang produksinya telah mencapai 3,54 juta. Perusahaan-perusahaan domestik yang dulu melakukan kerjasama dengan merakit merek- merek dari luar negeri kini sudah mulai memasarkan merek lokal. Tata, Mahindra & Mahindra, hindustan Motor, dan lain sebagainya kini mulai memasuki pasar ekspor menembus dominasi Jepang, Korea, dan Thailand. Produsen mobil India fokus pada mobil-mobil kecil berharga murah. Demikian juga dengan Thailand yang memilih pasar mobil kecil yang bersahabat dengan lingkungan (eco car).
Global Brand
Namun berbeda dengan situasi di era perang dingin yang kental dengan isue-isue nasionalisme, di awal abad 21 ini pikiran manusia sudah bercampur aduk antara nasionalisme dengan globalisme. Boleh saja misalnya orang menyebut Kijang atau Kuda, tetapi mereka baru dibeli kalau ada logo Toyota atau Suzuki di depannya.
Otomotif memang erat hubungannya dengan globalisasi. Selain membutuhkan pasar yang besar untuk memperoleh posisi low cost, konsumen otomotif lebih memberi apresiasi pada nama-nama global. Nama ini juga terkait dengan asal negaranya yang mencerminkan reputasi atau tingkat teknologi dan persepsi terhadap kualitas suatu negara. Begitu mendengar nama Jerman, bangsa manapun di dunia ini langsung mengasosiasikannya dengan kualitas teknologi seperti Mercedes dan BMW. Namun begitu mendengar nama India atau China, pasar belum dengan serta merta menerimanya sebagai safety. Produk India dan China masih bertarung di dataran harga murah ketimbang kualitas dan kenyamanan.
Sekarang bayangkanlah apa yang dipikirkan dunia mendengar mobil buatan Indonesia? Setidaknya saat ini sudah ada empat merek yang mendeklar dirinya sebagai otomotif buatan lokal. Keempat merek itu adalah Gea (buatan PT INKA), Arina (Semarang), Esemka (buatan anak-anak SMK 1 Singosari) dan Tawon (buatan PT SGJ). Mereka semua bergerilya di pasar otomotif murah di bawah 1000CC dengan harga di bawah enam puluh juta rupiah.
Mobil-mobil kecil ini diduga dapat menarik minat para pemilik sepeda motor yang ingin naik kelas, melompat ke kendaraan roda empat. Segmen ini sudah memiliki kebutuhan berkendaraan yang lebih nyaman dan dengan mudah pindah kelas didorong kenaikan penghasilan dan ketersediaan kredit.
Namun apapun yang anda pikirkan, otomotif adalah sebuah produk fashion yang memiliki perilaku pasar yang lebih rumit dari sekedar menjual baju. Ada elemen gaya hidup dan gengsi, namun lebih dari itu respon pasar ditentukan oleh persepsi tentang rasa aman (safety), nilai jual kembali (resale value) dan ketersediaan spare parts. Jadi dengan demikian, membangun mobil nasional bukanlah sekedar bisa membuat, melainkan sebuah upaya besar membangun merek, yaitu merk global, dan membangun mata rantai nilai (value chain). Tanpa upaya membangun mata rantai nilai dan persepsi merek, maka kita hanya akan bisa membuat bukan untuk dipakai, melainkan untuk sekedar menghibur hati.
Supply chain
Kunci lain yang dipegang Jepang dan Korea Selatan, juga China, Thailand, dan India dalam membangun industri otomotifmya adalah supply chain. Jauh sebelum merek-merek mobil nasional muncul, di masing-masing negara itu telah tumbuh industri-industri penopang otomotif dalam skala besar. Untuk merakit sebuah mobil biasanya dibutuhkan lebih dari 20.000 komponen, mulai dari kaca sampai ke transmisi, mesin dan micropcessor. Mata rantai pasok ini dibagi ke dalam third, second, dan first tier.
Maka tidak mengherankan bila industri otomotif China bisa bergerak lebih mandiri karena memiliki lebih dari 6.500 produsen komponen otomotif. Penghasilan yang diterima negara di China, India dan Thailand dari sektor otomotif relatif besar bukan semata-mata dari merek-merek otomotif nasionalnya, melainkan dari kapasitas industri komponen yang sangat kuat.
Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah mobil nasional selalu harus identik dengan lahirnya merek-merek mobil nasional? Kalau melihat perilaku pasar, maka tampaknya kita harus merelakan untuk menunda nafsu beberapa waktu untuk memiliki merek mobil sendiri sampai industri komponen ini benar-benar kuat secara masif. Dengan industri komponen yang kuat, tidak tertutup kemungkinan Anda bisa merakit mobil Anda sendiri seperti industri sepeda motor China atau seperti anda membeli komputer di Glodok.
Setiap kali berbelanja komputer di daerah Glodok, seseorang bisa menghabiskan waktu enam hingga sepuluh jam. Mengapa dibutuhkan waktu selama itu? Jawabnya adalah karena anda bebas memilih komponen, mulai dari processor, motherboard, ram,hardisk, power supply, graphic card, dvd writer, dan seterusnya. Hanya saja dalam industri otomotif, dibutuhkan mekanisme perijinan yang kuat untuk mengontrol perilaku perakit, mengingat pentingnya unsur safety.
Namun kehadiran pemain-pemain baru yang berada di segmen mobil murah sudah sangat dibutuhkan. Kehadiran mereka dapat merombak struktur harga pasar ke bawah sehingga rakyat dapat menikmatinya dengan harga yang wajar.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Yaa,seperti itulah negeri kita ini, ingin berkembang saja sulit, ingin maju dipersulit, ijin ini itu sulit, banyak birokrasi, regulasi lah, dll..seperti saya yg membuat mobil sendiri, benar-benar dibuat sendiri selama 3 tahun, nah, Bapak bisa lihat di facebook saya, dengan nama Wiwit.