Pekan lalu saya menghadiri upacara pelantikan seorang pemimpin keagamaan. Upacaranya megah. Ada seribuan undangan yang hadir. Pada puncak acara, di atas panggung, tokoh agama tersebut menduduki kursi yang sudah dipersiapkan untuknya.
Kursi itu sudah dihias dengan segala atribut. Sandaran dan tempat duduknya memakai beludru warna merah. Pasti empuk dan nyaman untuk diduduki. Ketika tokoh agama tersebut diantar oleh pendahulunya untuk menduduki kursinya, tepuk tangan membahana dari segenap undangan yang hadir.
Anda tahu apa tugas utama tokoh yang baru saja dilantik dan diberi gelar dengan sangat meriah itu? Melayani! Sekali lagi, tugas utamanya melayani. Jadi, segala kemegahan itu kita berikan untuk seorang “pelayan” (kita biasa menyebutnya sebagai “pemimpin”). Orang yang melayani itu harus sigap, gesit,tanggap, cepat membaca signal, tidak ada keragu-raguan, dan sudah pasti ia rendah hati dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.
Kontradiksi dan Paradoks
Hidup kita memang penuh dengan kontradiksi dan paradoks. Kita memberikan kursi yang nyaman untuk sang pelayan. Ini perangkap. Jika tidak hati-hati, sang pelayan akan merasa dirinya sebagai penguasa. Alih-alih melayani, dia malah bisa menjadi seorang yang selalu minta dilayani. Dan kita pun terperangkap pula: melayani secara beelebihan orang-orang yang harusnya justru melayani kita.
Kita bisa merasakan hal itu di kantor-kantor pemerintahan. Para pegawai pemerintahan itu mestinya sadar bahwa mereka bekerja untuk kita. Sebab, mereka digaji dari uang pajak yang kita bayar sehingga mereka bisa rapat di hotel berbintang dan melakukan kunjungan kerja dengan pesawat terbang. Tapi, kita merasakan sendiri perilaku mereka jauh dari sosok yang siap melayani. Jika pernah berhadapan dengan mereka, Anda pasti akrab dengan ungkapan ini: jika bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat.
Beruntung belakangan ini kita mulai bisa merasakan adanya perubahan di pemerintahan. Ada Dahlan Iskan yang sigap dengan sepatu ketsnya mendatangi kantor-kantor layanan BUMN dan mengajak aparatnya melayani dengan kesungguhan. Di Jakarta, kita bisa merasakan itu pada sosok Gubernur Joko Widodo dan Wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama. Di Surabaya, Walikota Tri Rismaharini. Di Kalimantan Timur, Gubernur Awang Faroek memimpin langsung transformasi di jajaran pemerintahannya agar lebih sigap melayani masyarakatnya. Dan di Denpasar, ada walikota IB Rai Darmawijaya Mantra dan istrinya yang melayani kaum papa dengan penuh kesungguhan.
Hal serupa mestinya bisa kita rasakan juga di lingkungan korporasi. Seorang general manager mesti melayani manager-nya, dan sebaliknya. Seorang manager mesti mau melayani supervisor-nya. Artinya segitiga struktur kekuasaan dengan CEO di posisi puncak harusnya dibalik. CEO di bawah, kustomer di paling atas, lalu di atas CEO ada GM dan supervisor serta pegawai ujungtombak. Itulah makna yang terkandung dalam konsep Servant Leadership yang kini banyak kembali dipakai di korporasi.
Sayangnya hal semacam ini kerap tidak terjadi. Maka, tak heran kalau di kantor kita sering menemukan telepon di meja resepsionis berdering-dering, meski di situ ada banyak orang, tidak seorang pun yang tergerak untuk mengangkatnya. Begitu pula ketika di lantai ada sampah, tak seorang pun mau memungutnya. Semua menganggap itu urusan office boy (OB) atau petugas cleaning service, bukan urusan saya. Saat lebaran tiba, yang ada hanya cacian terhadap petugas kebersihan yang ikut libur. Padahal itulah saatnya kita melayani mereka dengan mengucapkan terimakasih.
Kita Semua Pelayan
Padahal, sejatinya kita semua mesti mau menjadi pelayan bagi sesama. Lantas apajadinya kalau baru kampanye saja, calon presiden sudah dilayani secara berlebihan? Bagi saya ini kesalahan fatal demokrasi. Dan, kita semua sudah memperaktekkannya bukan? Anda semua adalah pemimpin sekaligus pelayan. Coba saja anda menjadi ketua RW. Jabatan anda dijamin tak kan lama kalau tengah malam saja tak mau membukakan pintu untuk melayani warga.
Apa jadinya jika semangat melayani tidak ada di lingkungan perusahaan? Risikonya sungguh tidak main-main: ancaman kebangkrutan. PT Garuda Indonesia Tbk pernah mengalaminya.
Sebagai BUMN, maskapai penerbangan ini pernah terperangkap dengan sistem kerja yang birokratis. Khas gaya pemerintahan. Unit yang satu tidak mau melayani unit yang lainnya. Masing-masing unit sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka bukan hanya tidak saling melayani, tetapi juga tidak saling berkomunikasi. Jika ada masalah, mereka sibuk menuding siapa yang salah, bukan membenahi masalahnya. Akibatnya, tercipta silo-silo. Masing-masing unit sibuk melindungi kepentingan sendiri. Di Garuda Indonesia, ketika itu kerja sama, sinergi, dialog dan tukar menukar informasi adalah sesuatu yang sangat mahal harganya.
Kita semua kemudian tahu konsekuensinya. Garuda Indonesia beroperasi dengan sangat tidak efisien. Kinerja mereka pun terpuruk. Beban usaha Garuda Indonesia pada tahun 2005 naik 14% dari Rp11,6 triliun menjadi Rp13,3 triliun. Akibatnya, selama tahun 2005, Garuda Indonesia harus menanggung rugi Rp668 miliar. Ditambah dengan beban utangnya yang menggunung, secara teknis ketika itu Garuda Indonesia layak dinyatakan bangkrut.
Untunglah ketika itu Garuda Indonesia segera menyadari masalahnya. Mereka membenahi diri dengan membongkar silo-silo, sehingga terjadi dialog, komunikasi dan sinergi. Masing-masing silo kemudian mulai menyadari pentingnya bekerja sama, saling bertukar informasi dan mau saling melayani.
Kini, kita semua tahu Garuda Indonesia tumbuh menjadi maskapai penerbangan internasional yang menguntungkan, sangat sehat dan membanggakan.
Kita tentu ingin dunia usaha kita tumbuh sehat dan membanggakan. Supaya itu terjadi, mari kita mulai dengan hal yang sederhana, yakni membuka hati untuk mau saling melayani. Melayani kolega, bawahan dan customer. Untuk itu, jangan lagi ada telepon di kantor berdering-dering dan kita diam saja. Jangan lagi ada sampah yang berserakan dan kita sama sekali tidak mau peduli.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan