Deep Understanding – Sindo

Salah satu teka-teki yang masih saya ingin tahu jawabannya – sepanjang lebih dari 25 tahun menjadi pendidik adalah: mengapa anak-anak kita kesulitan mengungkapkan isi pikirannya. Maksud saya, kalau diberi pertanyaan, kok jawabannya pendek sekali dan ingin cepat-cepat selesai.

Selain tidak argumentatif, terasa miskin dalam konsep. Di Harvard, Michael Porter, guru besar ilmu manajemen terkemukan yang menularkan metode pengajaran partisipatif pernah memberi tahu resepnya. “Ajukan cold call , tunjuk seseorang secara mendadak, lalu gali perlahan-lahan. Mereka mungkin kurang siap, tetapi buatlah sebersahabat mungkin agar mereka nyaman berbicara.”

Saya pun menerapkannya, dan ternyata hanya berhasil di tingkat pendidikan S2 dan S3. Di tingkat S1, saya butuh waktu banyak sekali untuk menggali dan mengeluarkan isi pikiran mahasiswa saya. Dan kalau dikejar lebih jauh mereka menjawab seragam: “ya gitu deh!” Dan kalau sudah mentok, keluarkanlah jargon asyiknya: “Au ah, gelaap…”

Tetapi saya tidak menyerah. Sampai dipertengahan semester, satu persatu mulai berani memberi jawaban yang agak panjang, lebih panjang, lebih menyatu dan sistematis. Dan tahukah Anda, disitulah letak kebahagiaan seorang pendidik, yaitu saat anak-anaknya mendapatkan apa yang disebut “deep understanding.”

Hubungan Kompleks

Orang dewasa seperti Bapak dan Ibu yang telah lulus menjadi Sarjana dan bekerja, barangkali pernah merasakan betapa sulitnya memahami hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori. Nah, kemampuan seorang anak menangkap hubungan-hubungan yang kompleks dalam sebuah teori atau konsep itulah yang kita sebut sebagai deep understanding. Jadi bukan sekedar tahu banyak hal namun serba sedikit.

Bukanlah sekedar menguasai permukaan-permukaaan saja yang ngepop, atau sekedar fragmented pieces of information. Deep understanding sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, dan untuk itulah seorang guru dituntut untuk bersabar dan memeriksa apakah betul murid-muridnya sudah paham dan bisa mengerjakannya.

Pendidikan seperti itulah yang sebenarnya dirindukan anak-anak kita. Bukan seperti sekarang yang dikenal anak-anak dengan istilah SKS (Sistem Kebut Semalam). Guru-guru yang bijak tahu persis otak manusia memerlukan waktu untuk merangkai satu elemen dengan elemen-elemen lainnya. Ibarat orang membuat kue lapis legit, dibuatnya harus dengan penuh kesungguhan, dari selapis tipis yang satu ke lapisan tipis berikutnya.

Sebaliknya , metode sistem kebut satu malam yang banyak dianut dewasa ini sepertinya sangat mengabaikan kapasitas belajar para murid. Guru ingin cepat-cepat berpindah dari satu halaman ke halaman berikutnya. Penjelasan-penjelasan mendasar sebuah konsep sering terputus, sehingga anak-anak kesulitan memahami suatu konsep secara mendalam. Cara seperti ini sungguh kejam. Ibarat sopir metro mini atau taksi liar, guru bisa dipacu menjadi ”sopir tembak” yang ugal-ugalan ”kejar setoran”.

Tidak mengherankan bila menjelang ujian, guru, dan murid sama-sama panik. Guru-guru yang cerdik tentu tak kehilangan akal, digunakanlah dulu yang kita kenal sebagai ”jembatan keledai” saat ujian di SLTA dulu tentu mengerti mengapa disebut demikian.

Guru dan murid telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam pendidikan, yaitu waktu. Kita tak bisa menyimpan waktu, apalagi membelinya. Tetapi kita tidak bisa memberi mereka waktu yang lebih banyak untuk  pendalaman suatu konsep. Caranya sederhana saja, rampingkan jumlah mata ajaran yang harus diberikan dan berikan metode yang lebih aktif – kolaboratif.

Saya sering diprotes oleh orang-orang yang khawatir mata ajarnya tidak relevan lagi bila pemerintah kelak mendengarkan tulisan reflektif ini dengan mengurangi jumlah mata ajaran yang harus diambil para murid. Tetapi selalu saya katakan kita harus berani berkata jujur bahwa anak-anak kita telah mengalami penyiksaan otak yang rawan. Dan impaknya sudah kita rasakan saat ini dengan beredarnya orang-orang bergelar hebat, pintar, tahu banyak, tetapi selalu bingung harus bergerak kemana dan harus memulai dari mana.

Kreatif dan Reflektif

Saat menulis kolom ini saya pun tengah membongkar-bongkar program-program belajar dari berbagai sekolah di manca negara. Bila  disimak tulisan-tulisan saya dua minggu terakhir, perampingan-perampingan telah diambil sejumlah bangsa dalam beberapa tahun terakhir ini.

Di sebuah sekolah di Jepang saya menemukan sebuah buku pedoman belajar dengan tujuh pilar, yaitu: Berpengetahuan dengan ”deep understanding,” mampu berpikir kompleks dan menjadi pemecah masalah, kreatif namun reflektif, menjadi kontributor yang bertanggung jawab, termotivasi dan terkendali, independen namun interdependen, dan mampu menjadi komunikator yang efektif.

Ketika saya masukan kata-kata kunci di atas di mesin pencari di internet, saya pun menemukan kesamaan dari banyak sekolah di negara-negara maju bahwa melahirkan orang kreatif saja tidak cukup, namun juga harus menjadi kontributor yang bertanggung jawab dan reflektif. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita membentuk manusia-manusia seperti itu? Anda mungkin mulai merasakan kegalauan-kegalauan saat orang-orang kota yang sudah memiliki kendaraan (roda dua maupun roda empat) tidak bisa membedakan (bahkan tidak tahu cara memakai) antara klakson dengan rem. Saat posisi di jalan raya kejepit atau tidak bisa menyusul, bukan rem yang dipijak, melainkan kelakson.

Saya tidak tahu  apa jawaban yang harus diberikan untuk membuat seseorang menjadi hebat, tetapi mungkin saya tahu apa kunci kegagalan yang akan dialami bangsa ini. Yaitu, saat kita merasa bangga dengan banyak pelajaran yang kita dapatkan, padahal semua itu hanya kulit-kulitnya saja. Hanya sepotong-sepotong, miskin pendalaman dan tidak reflektif.

Rhenald Kasali, 21 Juli 2011
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *