Ketika Ibu Bersalah – Jawapos 1 Agustus 2011

Pernahkah kita memperhatikan apa yang dilakukan ibu kita saat ia kena marah suaminya? Jawaban anak-anak zaman sekarang mungkin amat beragam.
”Ibu membalas dan menantang ayah!”
“Ibu tidak tahan, lalu pergi meninggalkan rumah.”
Anak yang lain mengatakan begini:”Ibu terdiam, lalu sambil meneteskan air mata ia pergi ke depan komputer, membuka internet, dan melakukan chatting (Skype) dengan seseorang. ” Mungkin ia curhat dengan kakak atau adiknya, atau mungkin juga dengan sahabat dekatnya.

Tetapi seorang ahli budaya menemukan kesamaan diantara ibu-ibu kita, dan tampaknya kesan seorang ibu yang demikian masih tertanam kuat diantara para pemimpin, baik di dunia usaha, akademik, maupun pemerintahan. Kesannya sungguh menyentuh. Ia mengatakan begini.

”Ibu tidak membalas dengan kata-kata yang sama tingginya dengan nada suara ayah yang terdengar marah. Ibu justru menunjukkan keagungannya dengan menutup mulutnya rapat-rapat dengan mata menunduk. Tetapi ibu tidak tinggal diam. Ibu melayani amarah ayah dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Ia mencuci piring berjam-jam. Membersihkan perabot rumah tangga, meski di rumah ada dua orang pembantu. Ibu sama sekali tidak menantang orang yang ia cintainya. Dan anehnya, cara ibu yang demikian justru membuat ayah yang geram, melunak. Lalu malam hari, aku mendengar suara ayah meminta maaf kepada ibu, dan mereka berpelukkan.”

Ibu Melayani

Cara yang ditempuh seorang ibu bukanlah cara-cara yang penuh ancaman, kekerasan, melakukan pemogokkan, adu kekuatan, adu gengsi, dan seterusnya. Dunia yang dikuasai nafsu umumnya berakhir dengan konflik dan kehancuran. Tetapi ”cara ibu” yang penuh kasih biasanya melunakkan kekuasaan.

Anda mungkin bertanya, saya sedang menyindir kasus yang mana sih? Apakah soal pilot Garuda yang mogok namun ”ibunya” (manajemen) mendiamkan dan memilih terus bekerja (sampai akhirnya mereka berpelukkan siang harinya) dan menghentikan mogok? Apakah soal SBY yang memilih diam dan bekerja saat partai yang ia bangun dipermainkan ”anak-anaknya” (seperti ketua MPR yang berbicara sama ngawurnya dengan si buron Nazaruddin)? Atau kasus calon pempinan KPK dari internal yang diumumkan tidak lolos seleksi, atau apa?

Ya, Anda bisa menerkanya kemana saja. Tetapi bagi saya, seberapa kayanya dan tinggi hatinya seorang anak Indonesia, saya kira kita semua jatuh cinta pada kasih ibu kita masing-masing.

Seorang anak muda, empat tahun yang lalu ditugaskan menggantikan seorang pemimpin cabang bank di sebuah kota kecil yang dianggap Direksi telah gagal dipimpin pendahulunya. Saat ia datang di kota kecil itu, Bupati tengah marah besar dengan bank daerah tersebut karena permohonan kredit pegawainya lama tidak diberi jawaban. Meski sahamnya di bank itu tidak signifikan, pak Bupati punya  otoritas untuk memindahkan rekening pemerintahannya ke bank lain.

Karena merasa tidak dilayani dengan baik terjadilah konflik. Benar saja rekening Pemkab melayang ke bank pesaing. Pak Bupati marah besar. Dan tentu saja pemimpin bank kena batunya. Ia dipindahkan, dan Direksi menunjuk orang baru untuk memadamkan kebakaran. Di tangan anak muda ini, hanya dalam tempo tiga bulan semua rekening berhasil diterima kembali. Apa kiatnya?
”Saya teringat bagaimana cara ibu meredakan emosi ayah dengan bersih-bersih. Maka, saat pak Bupati marah dan tak mau menerima kedatangan saya, saya tidak tinggal diam. Saya membuat kegiatan-kegiatan positif dengan melakukan lomba-lomba kebersihan kota. Saya bagikan kaos dan nasi box bagi orang-orang yang mau ikut kerja bakti membersihkan tugu. Tugu kota kami cat sampai seperti baru. Setiap minggu saya membuat acara untuk mendukung pemerintah kabupaten,” ujarnya.
Sederhana, bukan?

Benar, tetapi dua bulan kemudian telepon berdering. Ajudan Bupati mengundang anak muda itu ke rumah Bupati. Ia justru ingin berkenalan. Bukan hanya itu saja. Rekening dikembalikan dan ia dijadikan anak angkat. Pak Bupati terkesan, persis seperti ayah yang luluh di depan ibu yang hanya bersih-bersih saat suaminya marah besar.

Saya berpikir alangkah indahnya Indonesia kalau kita bisa menahan emosi dan memilih jalan ”cara ibu” untuk meluluhkan hati orang-orang yang berkuasa saat mereka tengah marah. Pertanyaannya, siapa yang tanggap mengambil peran seorang ibu?
Ibu, dalam tatanan budaya Timur sering dipandang sebagai sosok yang lemah, yang ”dikuasai” pasangannya, yang memegang kendali keuangan. Karena ”uang ayah” banyak, atau ayah yang bekerja,  maka ayah punya kekuasaan. Konsumen, klien, relasi, pejabat, pengambil keputusan strategis, atasan, penguasa, bahkan para wakil rakyat yang bodoh dan korup sekalipun, lebih memilih peran sebagai ayah, ketimbang ibu.

Kita yang lemah, yang tak punya kuasa, yang memasarkan produk, yang menjadi bawahan atau mahasiswa yang tengah belajar atau rakyat biasa, punya potensi yang besar memenangkan perseteruan dengan memainkan ”peran ibu”. Sekarang Anda tinggal menjalankan saja peran itu. Tak peduli apakah Anda pria atau wanita, tua atau lebih muda. Semua orang bisa menjalankan ”peran ibu”. Bersih-bersih, bekerja lebih giat dan mengunci mulut rapat-rapat. Coba ukilah peran itu, siapa tahu ketulusan Anda dengan cara ini akan menghasilkan keberuntungan. Selamat menjalankan ibadah puasa.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *