Memilih Komisioner KPK – Sindo 4 Agustus 2011

Pada Sebuah poster antikorupsi yang dibuat seorang mahasiswa tertulis kalimat ini. \”Korupsi Tak Ubahnya Tikus Busuk.Dihukum Matipun Menebar Bau Busuk!\”. Seperti itulah bau busuk yang sekarang menyengat. Dari gedung pengadilan, kantor polisi, kantor kecamatan, pemerintahan daerah hingga pusat, sampai ke kantor-kantor dewan perwakilan rakyat.  Semakin besar kekuasaan, semakin besar kerakusan menyembulkan bau busuk.

Di China, hukuman mati sudah pasti dikenakan pada siapa saja yang terlibat dalam kejahatan korupsi. Tak usah korupsi, membuat uang palsu saja,  hukumannya mati. Di Indonesia, pelaku kejahatan sulit dihukum. Bahkan tak banyak yang menyadari korupsi telah menimbulkan dampak kemiskinan yang sangat rawan bagi masa depan bangsa ini. Gairah korupsilah yang menyebabkan infrastruktur Indonesia carut marut, bangunan sekolah mudah ambruk, rumah sakit tak mampu menampung pasien,  obat-obatan menjadi mahal, BBM mudah hilang, kualitas pendidikan buruk, impor pangan melambung dan seterusnya.  Koruptor yang dibiarkan mati kegemukan menyebar virus yang berbahaya bagi orang-orang baik.

Pansel KPK

Kalau tak ada aral melintang dalam dua minggu ke depan pansel KPK sudah dapat menyerahkan delapan orang (bukan sepuluh) nama calon komisioner KPK kepada presiden. Dan sesuai dengan amanat undang-undang, presiden akan menyerahkan ke delapan nama itu kepada parlemen yang akan memilih separuh dari jumlah yang dipilih pansel.

Mungkin karena masyarakat masih percaya pada KPK, maka wajar bila kerja kami di Panitia Seleksi calon pimpinan KPK selalu menarik perhatian publik. Masyarakat begitu antusias ingin tahu siapa yang terpilih dan lolos pada setiap fase. Pada tahapan ini, dengan jumlah calon yang makin mengerucut, mulailah mengalir fakta-fakta yang lebih menarik tentang kasus-kasus yang dilakukan para kandidat dimasa lalu yang dialami rakyat. Padahal minggu-minggu lalu kami hanya mendapatkan masukan \”basa-basi\” berupa dukungan dengan kalimat yang sama pada orang-orang tertentu. Sekarang Kami mulai menerima masukan secara terbuka tentang rekam jejak tokoh-tokoh yang mereka kenal.

Partisipasi publik, baik yang sehat maupun yang kurang sehat mengalir begitu deras, baik diminta maupun tidak.  Dan semakin menarik, kita menemukan tak satupun orang yang diperkirakan hebat hidup tanpa cacat. Yang satu kepemimpinannya kuat, tetapi menimbulkan kegelisahan. Yang lainnya punya integritas tapi tak pernah teruji dalam bidang yang penuh tantangan. Orang yang disukai dan diberi rekomendasi positif oleh satu kelompok yang dikenal punya integritas tinggi ternyata ditemukan kekurangannya pada bidang lain. Laporan masyarakat, track record, dan ujian yang mereka lewati berbicara banyak dan sulit untuk dibandingkan secara linear.

Sudah begitu, harus diakui cara kerja yang diatur oleh undang-undang (UU no 30 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) ini memiliki sejumlah kelemahan yang perlu disempurnakan.

Merekrut komisioner pemberantasan korupsi tidak bisa disamakan dengan rekrutmen komisioner lainnya.  Selain tugasnya yang berat, korupsi telah diakui sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan yang luar biasa pula. Oleh karena itulah negara harus mencari orang-orang yang luar biasa untuk ditempatkan pada lembaga KPK. Namun bisakah panitia seleksi mencari orang-orang luar biasa ini melalui cara-cara yang biasa? Tentu saja tidak mudah.

Pertama, orang-orang yang luar biasa ini tidak mudah direkrut kalau diminta mendaftar. Saya mengerti iklim demokrasi telah menimbulkan daya partisipasi masyarakat yang luar biasa sehingga untuk menjadi menteri saja presiden mengatakan ada banyak orang yang daftar melamar. Meski kita mendengar sejumlah pihak yang diangkat menjadi menteri melakukan kasak-kusuk melalui parpol dan jalur informal, menteri yang bekerja optimal adalah menteri yang dicarai, bukan yang melamar.

Demikian pulalah KPK. Saya dan Anda mempunyai banyak kenalan yang kita percaya mampu memimpin KPK. Namun mereka merasa kurang terhormat bila harus melamar.  Beruntunglah kita karena  masih ada orang terhormat yang masih mau melamar.  Namun sudah pasti jumlahnya jauh dari yang kita harapkan. Merekapun bertarung bersama para job seekers yang sering ikut proses seleksi pada berbagai pemilihan segala macam komisioner. Kalau bisa di KY, ikut di sana, kalau gagal, ikut dalam pemilihan hakim agung, atau hakim tipikor.  Kalau belum beruntung coba menjadi dewan pengawas televisi, kppu, atau komisioner lainnya.

Jadi kita memerlukan metode baru untuk mencari putra-putri terbaik. Mungkin cara kerja seperti yang dilakukan head hunter dapat dijadikan pilihan.

Kedua, seleksi ini menjadi kompleks karena melibatkan politisi yang kita ketahui tengah menjadi sasaran pemberantasan korupsi belakangan ini. Lima puluh persen probabilitas diangkatnya seorang komisioner berada ditangan DPR. Di sinilah masalah baru muncul.  Selain kental dengan budaya politik uang, orang-orang yang menjadi sasaran pemberantasan korupsi akan selalu berupaya menyingkirkan kandidat yang fianggap berbahaya bagi masa depan mereka.

Masyarakat luas mempertanyakan dimana letak kredibilitas orang-orang yang berkawan dekat dengan buronan Nazaruddin yang akan memilih komisioner yang akan menangkap Nazaruddin? Jangankan mendukung komisioner yang layak, menemukan fakta bahwa Nazar tidak bersih saja mereka tidak mampu, apalagi membawa pulang ke tanah air.  Pertanyaan berikutnya adalah, mampukah DPR bertindak objective dengan secara jantan berdiri dan mengatakan, \”saya memilih abstein karena saya memilikiconflict of interest\”

Conflict of Interest

Akhirnya kita perlu mengingatkan, korupsi sulit diberantas bila bangsa ini gagal membangun landasan integritas yang berdiri diatas kepentingan publik. Sepanjang para elit belum bisa membedakan mana kepentingan pribadi dengan kepentingan publik saya kira korupsi besar masih akan sulit diberantas.

Para pemegang kekuasaan di parlemen dan lembaga- lembaga penegakan hukum kental terlibat dalam conflict of interest. Bukan rahasia umum lagi dengar pendapat yang dilakukan para wakil rakyat dengan menteri atau direksi BUMN adalah ajang perebutan proyek. Menteri atau direksi diusir, dipersalahkan, dipermalukan di gedung DPR bukanlah semata-mata karena mereka dianggap merugikan rakyat.  Melainkan karena mereka mengganggu bisnis segelintir anggota dewan.

Conflict of interest terjadi ketika seseorang mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik. Bila ini terus dipertahankan, jangan harap korupsi besar bisa hengkang dengan hadirnya KPK seorang diri. Negeri ini perlu pertobatan radikal, sebelum bencana besar menghalau para elit.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/418018/34/

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *