Suatu saat, saya pernah merasa sulit sekali untuk mendapatkan ide. Padahal, saya harus segera mengajukan proposal program untuk klien. Di saat yang lain, saya juga pernah mengalami keadaan dimana saya bingung untuk memilih ide hanya karena ada banyak ide di dalam kepala. Kemungkinan terburuknya: saya tidak menyampaikan ide saya sama sekali.
Mengutip dari Wishnutama, tokoh kreatif dibalik pembukaan ASIAN GAMES 2018 lalu, “Ideas are cheap, execution is everything.”
Semua orang, saya dan Anda, bisa memiliki ide yang besar. Tetapi, jika tidak dilakukan, tidak akan mendapatkan apa-apa.
Begitu pula dengan resolusi tahunan yang kerap kita buat. Berapa banyak dari kita yang membuat resolusi di awal tahun 2019 lalu? Berapa banyak yang sudah tercapai?
Menurut penelitian dari University of Scranton, 92% resolusi tahun baru gagal terealisasi. Dan 80% resolusi tersebut gagal di bulan Februari (US Nes & World Report). Salah satunya adalah karena belum siap berubah. Atau dalam bahasa di buku Self Driving, mereka belum siap menjadi individu dengan growth mindset.
Itu baru contoh kecil mengeksekusi ide yang berasal dari resolusi tahunan.
From Ideation to Creation
Tetapi, ada juga orang-orang yang berhasil membuat nyata ide tersebut. Misalnya saja Mark Zuckerberg.
Tahukah Anda bahwa Zuckerberg hanya membuat satu resolusi setiap tahun? Ya, Zuck hanya memiliki satu buah resolusi yang harus ia capai. Di tahun 2010, ia beresolusi untuk belajar bahasa Mandarin. Tujuan besarnya tidak lain untuk melamar istrinya karena keluarganya hanya bisa berbahasa Mandarin.
Di tahun 2011, ia beresolusi untuk menjadi vegetarian. Dan di tahun 2015, ia beresolusi untuk membaca buku baru setiap minggu. Bahkan ia memiliki “Mark Zuckerberg Book Club” yang berisi buku-buku bacaannya untuk kemudian menjadi rekomendasi bagi siapapun yang membutuhkan bahan bacaan.
Jika melihat pola yang dilakukan Zuck, kita tahu bahwa ia memiliki tujuan yang jelas sehingga bisa fokus dengan tujuan yang ingin dicapai. Dari satu buah resolusi, ia juga membentuk motivasi mengapa ia ingin resolusi itu tercapai. Dengan kata lain, Zuck sudah mempersiapkan dirinya memiliki sikap growth mindset atas perubahan yang (pasti) akan terjadi. Dan tentu, membutuhkan perjuangan.
Sekarang, mari simak kisah dari Nadiem Makarim. Dalam sebuah wawancara, Nadiem menceritakan bagaimana GO-JEK terbentuk. Ide awalnya berasal dari kesulitan yang ia alami ketika ingin mendapatkan ojek, “Kalau pas butuh, kosong. Kalau lagi nggak butuh, malah numpuk.”
Nadiem kemudian bergerak mengeksplorasi idenya. Ia mengumpulkan data sembari merangkai cara untuk mempertemukan antara pengguna dengan pengendara ojek. Hingga GO-JEK diperkenalkan di tahun 2010. Yang semula hanya berupa layanan berbasis operator telepon, kini seperti yang sudah kita tahu, semakin canggih dengan menggunakan ponsel pintar yang terhubung internet.
Saat Nadiem memiliki ide itu, ia tahu akan ada banyak hal yang harus ia lakukan. Dari tantangan yang harus dihadapi hingga peluang yang bisa ia masuki.
Dari Mark Zuckerberg dan Nadiem Makarim kita bisa melihat kalau growth mindset yang menjadi modal bisa membawa ide mereka menjadi sebuah kreasi baru. Dengan kata lain, from ideation to creation.
Wah, apalagi itu ideation to creation?
Singkatnya, ideation adalah proses awal kita mengumpulkan ide, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, dan mencari banyak referensi pendukung. Lalu creation adalah tindakan kita dalam mewujudkan ide tersebut menjadi karya nyata.
Di antara ideation dan creation, tentu ada proses yang harus kita lalui. Dan lagi-lagi, proses tersebut mempersyaratkan satu hal: growth mindset. Tanpa memiliki growth mindset, tools yang akan saya bahas di tulisan selanjutnya akan terasa sia-sia belaka.
Setel mindset kita ke growth mindset dulu yuk!
Pingback: Dengan Design Thinking, Ide Kreatif Bisa Menjadi Nyata - Rumah Perubahan | Rumah Perubahan