Mengantarkan anak-anak kita ke jenjang kehidupan yang lebih baik selalu menjadi perhatian setiap orang tua.
Perhatian itu juga muncul dalam beragam dialog, terutama sejak Carol Dweck mengumumkan risetnya menyangkut ratusan anak pandai. Anak-anak tersebut ternyata lebih takut tidak dapat nilai bagus di sekolah, ketimbang dalam kehidupan itu sendiri.
Di banyak negara termasuk di sini, di Indonesia, kental sekali pandangan bahwa “Siapa yang sukses di sekolah pasti akan sukses dalam kehidupan.” Benarkah demikian?
Seratus Anak Pandai Dweck
Demikianlah temuan psikolog Dweck saat mengolah hasil eksperimennya di mancanegara yang responsnya konsisten. Begitu diberi soal yang sedikit lebih sulit, anak-anak pandai menolak untuk mengerjakannya. “Ini belum diajarkan,\” ujar mereka.
Hanya sedikit di antara anak-anak pintar di sekolah yang merasa tertantang,”Oh.. I love challenges and difficulties,” ujar Dweck menirukan anak-anak itu.
Temuan Dweck itu sekaligus menimbulkan perhatian bagi para scientist tentang dua hal yang saling berhubungan: mind and brain. Keduanya ada di kepala manusia, namun bekerjanya sangat berbeda. Brain bisa diobservasi, diangkat, dioperasi, atau difoto. Tetapi mind tidak.
“Brain adalah jejaring material yang menghubungkan sel-sel otak melalui synaps dan reaksi-reaksi biokemikal. Sedangkan mind adalah suatu aliran ‘subjective experience’ dalam kehidupan masing-masing individu. Ia terbentuk melalui suatu pengalaman yang menyakitkan, menyenangkan, penuh tantangan, kekecewaan, kemarahan, atau sesuatu yang menggetarkan,” ujar Guru Besar Hebrew University – Israel, Yuval Noah Harari.
Para biologis mengasumsikan the brain membentuk the mind, dan reaksi-reaksi biokemistri di otak melahirkan getaran-getaran sel otak. Hanya saja, belum bisa dijelaskan bagaimana mind dibentuk oleh brain.
Kebingungan Harari dijawab oleh Dweck dalam “The New Psychology of Succcess”. Meski mind tidak dapat diobservasi melalui lensa mikroskop, Dweck dapat memahaminya melalui eksperimen psikologis.
Anak-anak pandai yang dikumpulkan Dweck mayoritas memiliki fixed mindset, yang diklaim orang tua sebagai berlaku tetap dan abadi. Maksudnya, sekali dinilai pandai, mereka akan abadi sebagai manusia berbakat atau cerdas dan bisa cepat menyelesaikan bermacam problem.
Namun, Dweck menemukan fakta baru. Begitu diberi tantangan, kesulitan, kritik, atau saat menghadapi orang-orang yang lebih berhasil, reaksi anak-anak tersebut negatif. Takut menghadapi tantangan, apalagi mendapat nilai jelek, dan kecewa kalau mendengar orang lain lebih dari mereka.
Perbedaan itu tampak dalam effort (usaha, pengorbanan) yang dituntut untuk sedikit lebih susah. Penyebabnya, anak-anak pintas tersebut selalu dipuji. Mereka dianggap lebih cepat bisa dan mudah memahami ketimbang yang lain. Kebiasaan ini menjadikan mereka kurang memiliki skill dalam berjuang, cepat bosan dan kurang terlatih menghadapi tantangan.
Pertemuan IMF-WB di Bali
Perbincangan tentang anak-anak dan masa depan suatu bangsa menjadi menarik. Bagaimanapun, Human Capital Investment menjadi bagian penting dalam agenda besar pertemuan negara-negara anggota IMF dan World Bank di Bali minggu depan.
Kita semua paham bahwa modal insani adalah investasi terpenting manusia yang memberi return yang tinggi dalam memperbaiki kehidupan ekonomi dan kebahagiaan.
Namun berbeda dengan investasi saham, tanah atau emas, investasi ini tidak bisa short term, dan melekat pada penerima.
Di sisi lain, data global menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, Indonesia telah menjadi negara yang begitu progresif dalam investasi ini.
Dari Rp2.204 triliun APBN 2018, 20 persen di antaranya dialokasikan untuk pendidikan. Dan dari jumlah itu, anggaran sebesar 63 persen diserahkan kepada pemerintah-pemerintah daerah. Di pusat sendiri ada 3 kementerian yang mengelola, yaitu Kemenristekdikti (9,2 persen), Kemendikbud (9,1 persen) dan Kemenag (12 persen).
Selain belanja rutin, yang jauh lebih penting adalah program pembaruan pendidikan untuk menyambut Revolusi Industri 4.0 dalam era disrupsi. Para pendidik di seluruh dunia dewasa ini tengah ditantang untuk melakukan transformasi besar-besaran.
Kelemahan-kelemahan mendasar dalam sistem pendidikan harus segera ditangani. Kelemahan siswa dalam berpikir scientific dan literasi matematika tidak bisa terus dibiarkan. Semua ini tentu tak lepas dari menarik atau tidaknya profesi guru di samping masalah kesejahteraan.
Kalau saya baca makalah para menteri dan materi-materi yang akan didiskusikan pada pertemuan IMF-WB kali ini, maka selain soal tatanan keuangan dunia yang tengah terdisrupsi, akan ramai dibicarakan bagaimana wajah pekerjaan di masa depan dan investasi-investasi seperti apa yang mesti dilakukan negara.
Sudah barang tentu, dialog-dialog ini relevan bagi para pendidik. Sebab, banyak hal telah berubah. Dan Carol Dweck telah menujukkan pentingnya memberi ruang bagi anak dalam menjelajahi tantangan.
Jangan sampai terjadi lagi peristiwa yang sudah sering kita saksikan, tatkala teman-teman kecil kita yang dulu begitu pandai, kini entah berada di mana.
~Rhenald Kasali, founder Rumah Perubahan