Masih ramai anak-anak muda membincangkan hilangnya tempat nongkrong mereka di 7-Eleven atau Sevel. Di Indonesia, Sevel hadir bukan sebagai outlet “grab and bite” seperti di negara lain. Juga bukan (Open at) Seven dan (Closed at) Eleven, melainkan 24 jam.
Dilengkapi fasilitas Wifi, nasi goreng, kopi dan Slurpee yang siap dilahap atau diminum di tempat.
Kalau kita dalami lebih jauh, begitulah bisnis di era disruption apalagi digital disruption yang ditopang peradaban internet of things. Persaingan berubah, bukan lagi antar produk atau jasa yang homogen, melainkan antar business model.
Dengan model bisnis itu, Sevel hanya butuh 2 tahun untuk membuka toko ke-57, dan setahun berikutnya menjadi 100 (2012).
Sampai di sini semua baik-baik saja. Lapangan pekerjaan yang diciptakan dan profitability-nya bisa dengan mudah dilihat dari laporan keuangan yang terpampang di Bursa Efek. Sampai tahun 2012, rapornya bagus. Tahun berikutnya turun perlahan-lahan. Tapi sampai tahun 2014 relatif masih baik.
Seperti kebanyakan bisnis di Indonesia, begitu model bisnisnya dianggap mengganggu tradisi yang ada, kata orang bijak, sesuatu bisa terjadi, dan \”waspadalah.\”
Apa yang Dilakukan Regulator?
Sevel Indonesia dengan model bisnis ini memang mengundang banyak perhatian, termasuk harian The New York Times yang menurunkan laporan berjudul \”7-Eleven Finds a Niche by Adapting to Indonesian Ways, pada 28 Mei 2012.
Modern Group terbukti mampu mendongkrak reputasi dan pendapatannya melalui Sevel. Sebelumnya ia nyaris bangkrut akibat bisnis film rol Fuji yang diageninya kehilangan relevansi.
Dengan cepat, outlet-outlet eks Fuji yang terletak di titik-titik strategis beralih menjadi Sevel.
Satu dua pengamat menyebutkan konsep nongkrongnya bermasalah. Tetapi mereka umumnya menganalisis pasca-2013 setelah intervensi regulator yang merobek-robek rencana bisnis Sevel. Dan Sevel terpaksa melakukan konsolidasi usaha mengalihkan outlet-nya ke berbagai stasiun kereta api dengan konsep grab and bite tadi.
Menurut saya pandangan bahwa konsep nongkrongnya gagal ini kurang pas sebab pasca 2013, Sevel sudah sulit menerapkan bisnis modelnya itu karena ulah regulator.
Sebab, pasca-2013 Sevel \”telah dipaksa\” regulator menjadi outlet grab & bite seperti mini market biasa sehingga. Ia ibarat pesawat tempur yang mesin turbonya lumpuh.
Model bisnis yang dirancang dengan riset yang panjang tak dapat dijalankan karena tak dikehendaki regulator. Penjualannya anjlok karena ia dipaksa menjadi minimarket biasa, dengan model grab and bite tadi.
Tak sulit menganalisis perilaku regulator, yang maaf, kadang mudah diduga mengikuti kehendak lazy incumbents dengan standard dan model bisnis yang sudah mereka kenal dan delta penciptaan lapangan kerjanya stagnan. Padahal zaman berubah terus, terjadi shifting, teknologi baru bermunculan dan metode baru dituntut.
Kalau kita rajin membaca berita, tak sulit melihat perangai regulator yang rigid, berorientasi ke masa lalu, dan reaktif. Itu sudah terjadi dalam banyak kategori industri mulai dari besi baja, taksi online sampai lambannya inovasi di sektor keuangan melalui fintech.
Terima Konsekuensinya
Dan, kalau ini diteruskan maka kita harus menerima konsekuensinya: job creation hancur, konsumen kehilangan pilihan, industri tidak efisien, pertumbuhan konsumsi tak akan dinikmati industri yang beroperasi di sini karena ia akan dimakan habis pendatang baru dari luar negri yang datang bersama vendornya sendiri, dan bisnis mereka akan divakum pemain asing dengan teknologi internet of things dari luar negri.
Baiklah, kejadian itu mungkin luput dari perhatian Anda. Yang saya maksud itu dikutip media pada awal September 2012 saat Kemendag mengatakan tak ada kompromi bagi Sevel yang berizin ganda: satu izin retail dari Kemendag dan satu izin restoran dari Dinas Pariwisata DKI.
Bagi Kemendag saat itu, Sevel hanya boleh beroperasi sebagai retail. Ini berbeda dengan pandangan dinas pariwisata yang mengeluarkan izin jasa restoran.
Dari media yang memberitakan saat itu saya membaca arahan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (Detik Finance 04 September 2012):
\”Gunaryo mengakui selama ini aktivitas 7-Eleven merangkap sebagai minimarket dan restoran. Ia menjelaskan bahwa pihak manajemen 7-Eleven siap mengikuti arahan dari Kemendag untuk memformat ulang bisnisnya.\”
Sementara Menteri Perdagangan kala itu pun meng-endorse keputusan dirjennya:
\”Sederhana ya, ini kan izin yang mereka peroleh adalah rumah makan yang didapat dari Kementerian Pariwisata, bukan dari Kementerian Perdagangan. Sedangkan kenyataannya mereka mendagangkan bukan hanya makanan saja, ada retailnya, nah ini makanya harus diperjelas,\” kata Menteri Perdagangan kala itu, Gita Wirjawan.
Saya hanya membayangkan betapa ribetnya pola pikir regulator di negeri ini. Lihat saja apa jadinya bila pola pikir yang sama diberlakukan pada rumah sakit, bandara, terminal, stasiun kereta api atau bahkan armada transportasi yang juga menyediakan restoran walaupun izinnya adalah usaha transportasi dari Kementerian Perhubungan.
Apa jadinya bila rumah sakit dilarang membuka rumah makan, outlet bank, toko buku dan kafe seperti yang kita biasa lihat hari ini di banyak rumah sakit modern?
Beruntung Kementerian kesehatan yang mengeluarkan izin tak sekaku Kementerian Perdagangan saat itu.
Bahkan dengan paket pendapatan yang beragam seperti itulah, kini terbukti, Rumah Sakit bisa menekan biaya pengobatan yang ditagih kepada BPJS Kesehatan.
Pada saat BPJS Kesehatan terancam defisit, rumah sakit yang memiliki business model seperti itu lebih mudah merespons perubahan ketimbang yang hanya fokus pada perawatan kesehatan semata.
Perilaku kaku seperti ini juga sering kita dengar dilakukan para auditor OJK yang amat menghalangi inovasi di dunia perbankan untuk menjelajahi fintech.
Padahal Presiden Jokowi sudah berulang kali mengimbau agar kabinetnya meninggalkan zona nyaman dan hal-hal yang rutin. Presiden tampak paham bahwa disruption tak dapat dihadapi dengan rigidity. Namun lain di atas lain pula di bawahnya.
Dari sini saya berharap para regulator bertobat dan lebih mampu berpikir terbuka terhadap pembaharuan. Saya ingin regulator mengakui bahwa mereka telah turut membunuh kreativititas dan job creation yang dibutuhkan negri ini.
Dengan lebih dari 2.500 karyawan baru, plus hidupnya outlet-outlet yang sudah lama mati, bagi saya seharusnya regulator sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap matinya Sevel.
Kalau kita pandai menggunakan kacamata perubahan yang disruptif, maka lonceng-lonceng kematian sesungguhnya tengah berbunyi dalam beragam industri mulai dari keuangan, besi baja, semen, pupuk hingga perhotelan.
Saya tak merasa ada masalah bila regulator mengawasi peraturan dengan baik, dan menegur, bahkan menutup bagi yang merugikan kepentingan umum. Apa yang terjadi dengan Sevel sungguh miris.
Saya juga ingin mengingatkan dampak dari setiap kebijakan yang diambil regulator dalam era disruption ini. Pertama, melindungi lazy incumbents akan mengakibatkan penciptaan lapangan kerja baru terhambat dan konsumen kehilangan pilihan.
Kedua, menimbulkan tekanan bagi lazy incumbent bisa mengakibatkan incumbent terpacu berubah dan menciptakan lapangan kerja baru.
Ketiga, mendatangkan kebijakan baru yang disruptif bisa menimbulkan lapangan kerja baru, bisa juga menghancurkan semuanya.
Adakalanya kehancuran lapangan pekerjaan akibat peristiwa disruption memang tak dapat dihindarkan. Namun penting bagi regulator untuk mengkompensasinya dengan kebijakan disruptif lain yang menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Itulah yang tengah dilakukan pemerintah Singapura yang melatih ulang SDM-nya menyusul ancaman disruptif terhadap 160.000 pekerja di sektor retail yang terancam e-commerce dari Tiongkok dan Indonesia. Belum lagi ancaman pada pekerja sektor pelabuhan menyusul rencana pembangunan terusan Kra di Thailand.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Semoga pembuat kebijakan menyimak artikel ini