Journey dan Roadmap – Tabloid ASSET

Saya suka terheran mengetahui banyak perusahaan Indonesia yang tidak mempunyai business roadmap. Maaf, perusahaan yang saya maksud di sini bukan perusahaan kecil, melainkan terbilang besar. Karyawannya sudah ribuan, dan sebagian produknya bahkan sudah merambah pasar ekspor.

Ketika dalam suatu kesempatan ngopi sore bersama pemiliknya, saya mencoba menggali lebih dalam soal ini. Alasannya ternyata simpel. Katanya, sekarang ini lingkungan bisnis begitu cepat berubah. Ada teknologi baru yang seakan-akan hadir begitu saja dan langsung membuat teknologi lama menjadi ketinggalan zaman.

Lalu, pesaing-pesaing baru juga tak henti bermunculan. Masih ada lagi sejumlah perubahan di negara-negara tujuan ekspor. Mulai dari berubahnya kondisi politik dan ekonomi sampai ke perubahan selera konsumen.

Semua kondisi tersebut akhirnya memaksanya berubah dari taktik, strategi sampai target-target. Perubahan itu harus mereka evaluasi setiap dua bulanan.

Cara bisnis yang seperti ini tentu melelahkan. Bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi juga para eksekutifnya. Mereka seakan-akan tidak boleh lengah sekejap pun. Lengah sedikit akan muncul pesaing baru atau produk baru yang sama sekali tidak terduga.

Cara bisnis yang seperti itu bagi sebagian juga sudah dianggap kuno. Katanya, kita hidup di era modern. Data tersedia di mana-mana—tetapi tentu masih harus diolah agar bisa menjadi informasi. Dengan berbekal informasi, bisnis mestinya bisa lebih tertata. Lebih bisa dikelola.

Catatan Penting

Saya pernah berkunjung ke beberapa perusahaan. Mengherankan, di sana fasilitas hiburan untuk karyawannya tersedia di mana-mana. Ada taman, kedai kopi, danau, sepeda, di mana karyawannya bisa ngobrol sambil ngopi atau bermain di udara terbuka. Ada ruang dengan meja tenis meja atau lapangan bulu tangkis, fasilitas kebugaran, bahkan lapangan tenis dan kolam renang.

Kalau di tengah jam kerja ada karyawan Anda senang merenung di taman yang rindang, jangan buru-buru menuding dia sedang patah hati. Juga, kalau ada karyawan Anda memukul-mukul bola tenis meja, jangan buru-buru menudingnya sedang menghabiskan waktu.

Mereka, mungkin, sedang berpikir keras. Cara anak-anak muda dalam menyelesaikan masalah memang berbeda dengan cara-cara karyawan yang lebih senior. Karyawan senior lebih suka menyelesaikannya di meja rapat. Anak-anak muda bisa menyelesaikannya sambil ngopi, jalan-jalan di mal, atau sambil main pingpong.

Saya setuju di era bisnis modern sekarang ini, setiap perusahaan mesti punya rencana strategis (renstra), rencana tahunan, dan roadmap. Anda pasti tahu soal ini. Renstra biasanya dibuat setiap lima tahun. Tapi nanti dulu, ada dua masalah di sini.

Pertama, kita harus mengembangkan imajinasi yang kuat. Sebab wajah industri ke depan (setahun dari sekarang) saja sudah berubah total. Kedua, Anda tak mungkin mampu melihat ke depan kecuali Anda benar-benar berlatih melepaskan masa lalu secara selektif.

Itulah yang minggu-minggu ini tengah banyak dilakukan para CEO BUMN dan para eksekutifnya dalam pelatihan Reformulating Strategy in Disruption di Rumah Perubahan.

Lalu, untuk eksekusinya, tentu saja renstra itu harus diturunkan lagi menjadi rencana tahunan. Kemudian, rencana tahunan ini mesti diturunkan lagi dalam roadmap, program kerja, rencana aksi, dan lain sebagainya. Semuanya lengkap dengan target-target dan person in charge-nya.

Jadi, siapa mengerjakan apa, kapan mesti selesainya, dan apa ukuran atau target yang mesti dicapainya, serta besaran biayanya.

Tapi, itu tadi, bisnis seringkali tidak ramah. Program kerja dan rencana aksi yang sudah disusun dengan begitu detail, ternyata tidak bisa dieksekusi di lapangan. Dengan berbagai penyebab. Kalaupun dipaksakan eksekusinya, hasilnya tidak akan sesuai harapan. Inilah yang mungkin membuat karyawan Anda banyak merenung di taman yang rindang, atau menghabiskan waktu berjam-jam di meja biliar.

Maka, berbahagialah perusahaan yang punya serangkaian journey dalam rangkaian proses bisnisnya. Journey? Apa itu?

Tadi saya sudah menyinggung soal renstra dan rencana bisnis. Keduanya biasanya turunkan lagi dengan bentuk roadmap. Isi roadmap adalah peta jalan untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam renstra atau rencana tahunan. Sesuai namanya peta jalan digunakan sebagai panduan apakah kita sudah berada di jalur yang benar, mulai bergerak ke tepi, atau malah sudah ke luar jalur.

Nah, journey adalah bagian dari roadmap tadi. Hanya isinya adalah “catatan-catatan penting” yang membuat suatu program atau rencana kerja akhirnya bisa dieksekusi. Kalau pada kata catatan-catatan penting saya beri tanda petik, itu untuk penegasan saja bahwa tak semuanya sudah terdokumentasi. Ada yang sudah tercatat dan menjadi pengetahuan perusahaan, namun banyak juga tercatat, tapi masih berserakan di sana-sini, sehingga belum menjadi pengetahuan perusahaan.

Lalu, ada juga yang sudah menjadi pengetahuan, tetapi belum tercatat. Kemudian, ada yang sudah menjadi pengetahuan orang-orang tertentu di perusahaan, namun belum tertulis.

Kekayaan semacam ini adalah aset penting bagi perusahaan. Maka, setiap journey penting untuk didokumentasikan agar pengalaman tersebut menjadi pengetahuan bersama. Kata musisi asal Kanada, Aubrey Drake Graham, “Sometimes it\’s the journey that teaches you a lot about your destination.”

Saya tahu persis betapa banyak pengetahuan perusahaan yang masih tersembunyi, atau biasa disebut tacit knowledge. Pengetahuan ini biasanya dimiliki oleh kalangan eksekutif senior—yang biasanya ikut menghilang bersamaan dengan pensiunnya sang eksekutif. Ini tentu tak boleh terjadi. Perusahaan harus secepatnya mendokumentasikan semua pengetahuan yang masih bersifat tacit—sebelum sang eksekutif pensiun, dan segera menurunkannya agar menjadi pengetahuan perusahaan.

Pengetahuan itu baru punya nilai kalau ia bisa diterapkan.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *