Dalam banyak kesempatan, saya mendengar kuatnya anggapan bahwa dunia maya (digital), berbeda dengan dunia nyata. Dunia digital dianggap sebagai “alam halus”, yang belum, atau bahkan sulit disentuh. Kalaupun dipakai, hanya sebatas sebagai alat pendukung saja. Sementara, dunia nyata adalah dunia kita sehari-hari.
Bahkan ada yang beranggapan itu adalah dunianya para millenials, anak-anak mereka. Juga tak dapat dihindari yang berpikir, bisnisnya (core-nya) sama sekali tak perlu bersentuhan dengan dunia digital.
Misalnya saja ada yang mengatakan, \”kami ini bisnisnya semen, bukan retail.\” Dan kalau diteruskan lagi \”kami\”nya bisa panjang: kami jual mobil, bukan hiburan, kami pupuk bukan hotel, kami tekstil bukan oleh-oleh…dan seterusnya. Seakan-akan dunia maya itu hanya berlaku bagi retail, hiburan dan sejenisnya.
Mungkin anggapan semacam ini menguat lantaran sering melihat anak-anak bermain game. Jadi, dunia digital hanya ada dalam game, bukan kehidupan nyata.
Anggapan seperti itu, kalau dibiarkan tentu bakal menyesatkan dan menyulitkan banyak perusahaan yang sudah bagus. Ini akan membuat kita “gagal paham”. Ya, gagal memahami perubahan-perubahan besar yang tengah bergulir di sekitar kita.
Kini sejak manusia melewati tahapan connectivity melalui internet, digital dan dunia nyata menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini buktinya.
Masih ingat dengan seorang perwira TNI yang memecahkan kaca bus di jalan tol Cikunir, Mei 2017 lalu? Kasus yang ada di dunia nyata itu mungkin tak akan terungkap kalau tidak ada sebuah akun Facebook yang meng-upload kejadian tersebut.
Menurut akun itu, sang perwira tadi mengendarai mobil di ruas jalan tol yang macet. Mungkin jengkel dengan kemacetan, dan perwira itu merasa jalannya terhalang oleh bus, ia dengan tongkatnya memukul pecah kaca samping bus.
Semula perwira tadi mengaku mobilnya diserempet bus. Namun, tak ada bukti soal serempetan itu. Akun itu menulis, “Ngaku spionnya kesenggol sampai lecet, tetapi di rekaman tidak ada lecet sama sekali. Diminta pertanggungjawaban malah kabur.” Unggahan tersebut kemudian ramai dibicarakan netizen.
Puspen TNI merespon terlebih dahulu. Melalui akun instagram, Puspen TNI meminta maaf kepada PO bus tersebut. Lalu, menyusul sang perwira juga mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Ia siap bertanggung jawab untuk mengganti kerugian bus.
Ini bukti betapa dunia digital kita sudah menyatu dengan dunia nyata.
Mau bukti lainnya?
Masih ingat kasus seorang pegawai perempuan yang bekerja di Mahkamah Agung (MA) yang marah-marah dan mencakar Aiptu Sutisna saat petugas polisi itu hendak menilangnya? Sutisna tidak melawan, ia hanya menghindar. Ini peristiwa yang terjadi di dunia nyata.
Adegan amukan pegawai MA itu kemudian muncul di dunia maya. Seorang netizen merekamnya dan meng-upload videonya ke akun Facebook. Peristiwa itu pun menjadi viral.
Berkat sikapnya yang tidak melawan, Aiptu Sutisna mendapatkan apresiasi bukan hanya dari masyarakat, tetapi juga dari Kepolisian RI. Sementara, sang pegawai MA tadi dimutasi dari jabatannya di Eselon IV menjadi staf di PTUN Pekanbaru.
Pengalaman Sandvik
Saya tadi menyinggung soal betapa repotnya kalau gagal paham menyatunya dunia maya dengan dunia nyata sampai berlarut-larut. Sebab di belahan dunia sana, masyarakatnya—terutama kalangan korporasi—sudah menikmati hasil dari penyatuan dua dunia tersebut.
Salah satu contohnya Sandvik Coromant (SC), perusahaan asal Swedia yang menjadi produsen utama cemented carbide dunia. Cemented carbide adalah material yang biasa dipakai pada mesin pemotong material logam non baja dan banyak dipakai oleh industri manufaktur. Bisnis SC sempat terpuruk lantaran hadirnya produk China yang lebih murah.
Lalu, apa yang dilakukan SC?
SC lalu melengkapi mesin pemotongnya dengan sensor. Sensor itu berfungsi memantau kinerja cemented carbide. Kapan alat itu terlalu stres, sudah aus dan tiba waktunya untuk diganti. Data dari sensor tersebut kemudian dikirim ke server, dan oleh server didistribusikan ke pihak-pihak yang mesti tahu soal ini. Di antaranya, general manager, manajer atau supervisor di pabrik.
Bagi banyak pabrik, informasi semacam ini sangat penting. Jangan sampai pabrik berhenti beroperasi gara-gara mesin pemotong non logamnya rusak. Biayanya untuk shutdown dan menghidupkan kembali bisa sangat mahal.
Informasi semacam inilah yang kemudian menjadi nilai lebih bagi SC ketimbang produk sejenis dari China. Pelanggan pun beralih dari produk buatan China ke buatan SC.
Itu contoh kasus di dunia korporasi yang memakai teknologi untuk menggabungkan dunia digital (informasi dari sensor) dengan dunia nyata (pekerjaan di pabrik). Kasus lainnya masih banyak.
Misalnya, ada Rolls Royce yang memasang sensor di mesin pesawat terbang. Ketika pesawat masih berada di udara, kondisi mesin sudah terpantau. Saat mendarat, kalau ada komponen mesin yang perlu diganti, itu bisa langsung dilakukan tanpa pesawat perlu masuk hanggar. Jadi pesawat bisa langsung terbang lagi. Ini tentu meningkatkan kinerja operasional pesawat.
Dunia 4.0
Dalam lingkungan masyarakat, para petugas layanan publik bisa memantau sejumlah kejadian dengan adanya CCTV. Ingat dengan pebalap MotoGP Nicky Hayden yang meninggal dunia akibat tertabrak mobil? Melalui CCTV, pihak kepolisian mendapati bahwa Nicky Hayden lalai.
Ia bersepeda sambil mendengarkan musik melalui iPod. Akibatnya ia tak mendengar suara-suara yang ada di sekitarnya, termasuk mobil-mobil yang lalu lalang di perempatan jalan. Salah satu mobil itulah kemudian kemudian menabrak Hayden.
Belajar dari kejadian itu, kita mungkin bisa memprakarsai gerakan no gadget saat melakukan aktivitas di area-area publik. Kini kita sudah memasuki dunia versi 4.0. Dunia maya atau digital dan dunia nyata sudah menyatu. Namun, banyak musibah terjadi akibat masyarakat kita masih merasa seolah-olah berada di dua dunia yang berbeda.
Misalnya, terus saja memakai smartphone saat menyetir mobil atau mengendarai sepeda motor—sesuatu yang banyak kita jumpai di masyarakat kita. Juga, terus memakai smarphone saat tengah berjalan di trotoar atau area publik lainnya. Ini fenomena yang ada di mana-mana. Mereka berjalan seenaknya sambil matanya tak henti menatap layar smartphone dan tangannya terus mengetik.
Padahal, sudah banyak video yang menayangkan orang-orang yang kesandung, terperosok lubang karena terlalu asyik dengansmartphone-nya. Atau, menabrak orang lain yang melintas di hadapannya, menabrak tiang atau pintu, bahkan ketabrak sepeda, sepeda motor hingga mobil akibat menyebrang jalan secara sembarangan.
Di Jerman, seorang petugas pengatur sinyal dituding bertanggung jawab atas kecelakaan kereta yang menyebabkan 150 orang luka-luka dan menewaskan 11 orang. Menurut jaksa, sesaat sebelum kecelakaan terjadi, petugas tadi asyik bermain game online via ponselnya. Akibatnya ia menekan tombol yang salah. Informasi yang salah itulah yang diterima oleh dua masinis dari dua kereta berbeda. Dan, kecelakaan pun tak terelakkan.
Di dunia 4.0, era di mana semua serba terkoneksi, kita tak mau ada masyarakat yang gagal paham bahwa dunia digital sudah menyatu dengan dunia nyata. Sebab risikonya bisa sangat fatal.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan