SECARA kebetulan, sejak buku Disruption yang saya tulis terbit bulan lalu, di Rumah Perubahan kami sedang memberikan pelatihan premium: Reformulasi Strategi dalam Era Disruption.
Dengan berbagai studi kasus, para eksekutif dan birokrat kami bukakan matanya bahwa ada tiga cara melihat ke depan: cara masa lalu yang dibawa ke hari ini. Cara hari ini dan jangan lupa ada yang sudah bekerja dengan cara masa depan pada hari ini.
Terus terang kami kasihan melihat masih banyak eksekutif yang mengelola perusahaannya atau birokrat yang bekerja dengan aturan the past untuk menghadapi para pelaku masa depan.
Strategi pada dasarnya adalah cara menghadapi masa depan, tetapi tidak untuk dilakukan di masa depan. Sebab, bagi sebagian pelaku usaha, menurut Vijay Govindarajan, masa depan itu sudah berada di sini dan dijalankan hari ini. Maka bagaimana mau kompetitif kalau cara kemarin yang sudah usang masih diagung-agungkan?
Kebetulan pula, beberapa pekan ini kita menyaksikan brutalnya aksi saling balas di jalan raya akibat soal rezeki. Para pengemudi angkot mencegat ojek atau taksi berbasis aplikasi yang sedang beroperasi di jalan-jalan. Ini ibarat \”masa lalu\” bertarung melawan \”masa depan\”.
Coba Kita Dalami
Mereka memaksa penumpang ojek untuk turun dan melarang layanan transportasi tersebut beroperasi di daerahnya. Bedanya, kalau dulu yang online selalu kalah banyak, kini mereka jauh lebih banyak.
Meski data statistik resmi mengatakan lain, fakta di lapangan tampak berbeda. Bisa jadi juga karena demand mereka berbeda sehingga dalam operasional yang satu lebih aktif ketimbang lainnya.
Lalu pantas saja serangan balik muncul. Esoknya ratusan pengemudi ojek online mencegat angkot. Mereka memaksa angkot-angkot untuk berhenti dan meminta penumpangnya turun. Panas meski cuma sesaat dan bisa diredam.
Fenomena semacam itu sempat diikuti rekan-rekan mereka di Depok, Bandung, Bogor, Banten, Tangerang, Yogyakarta, Solo, dan sejumlah daerah lain. Bagaimana dengan di Jakarta? Aksi menentang ojek dan taksi online secara masif memang pernah terjadi di Ibu Kota. Tapi kelihatannya suasana mulai anteng. Ada apa?
Sejauh yang saya lihat, sudah banyak pengemudi ojek pangkalan yang akhirnya bergabung dengan dunia online. Mereka rupanya memilih berdamai dengan perubahan.
Sementara itu para pengemudi taksi konvensional masih mencari-cari jalan baru yang harus ditempuh. Bahkan pengusaha taksi pun keberatan disebut \”konvensional\”, mereka maunya disebut \”taksi resmi\”.
Mudah-mudahan saja sebentar lagi bakal ketemu cara yang benar. Tapi itu butuh kemampuan melepas diri dari bayang-bayang keberhasilan masa lalu.
Masa lalu? Maaf, kata anak muda: it was over. Masa lalu sudah berlalu, sudah dinikmati, kini Anda sudah berada di masa depan yang baru. Kita jalani saja cara baru yang dalam ilmu disruption (disrupsi) disebutkan: kita harus secara berani dan selektif membuang hal-hal lama yang sudah tidak relevan. Berani?
Maaf lagi, bahkan untuk menarik garis di pasir saja seorang anak kecil butuh sebuah keberanian. Apalagi Anda yang pernah berhasil di masa lalu dan dibanjiri cahaya bergelimangan. Nyali adalah taruhannya. Bukan duit.
Tapi baiklah, harus kita akui, pemerintah sudah lebih akomodatif. Anda mungkin masih ingat sikap pemerintah ketika pengemudi taksi konvensional ramai-ramai melakukan aksi demo dan membuat macet Jakarta. Pemerintah ketika itu menegaskan bahwa bisnis taksi online itu ilegal.
Buat saya, penggunaan kata ilegal terasa kurang pas. Mereka, para pengemudi ojek dan taksi online, hanya berusaha mencari nafkah untuk keluarganya. Kalau demikian bukankah ojek pangkalan juga ilegal?
Memangnya kalau ada layanan transportasi publik yang nyaman, aman, murah, dan selalu tersedia setiap waktu, konsumen mau pakai Uber Taxi atau Grab Car? Tidak. Mereka akan pilih layanan transportasi publik. Sementara itu PR-nya masih dikerjakan bukan?
Negara pun Terdisrupsi
Ramai-ramai aksi saling balas tadi, buat saya, adalah potret bahwa masih ada sebagian masyarakat kita yang belum siap menerima dan berdamai dengan perubahan. Padahal perubahan itu penting adanya.
Anda tahu, sejatinya perubahan itu selalu ada untuk melayani masa depan. Bukan masa kini, apalagi masa lalu. Perubahan bagi saya adalah cara bagi Sang Pencipta untuk meremajakan alam semesta beserta segala isinya.
Jadi kalau kita ingin memiliki masa depan yang lebih baik, bersiap-siaplah menerima perubahan. Bersiap-siaplah terdisrupsi atau mendisrupsi diri. Contohnya banyak. Ada di mana-mana. Jangan asal \”meng-online-kan diri\”. Itu belum disrupsi namanya.
Anda tahu kalau tidak ada industri musik digital, banyak space di bagian dashboard mobil kita yang terpaksa digunakan hanya untuk tempat kaset. Iya, cassette recorder. Tapi, berkat teknologi digital, kita bisa mendengarkan ribuan lagu melalui iPod atau smartphone.
Lalu ke mana toko-toko kaset dan studio rekaman? Mereka mencari bisnis-bisnis baru. Mereka sudah lebih dulu berdamai dengan perubahan.
Bayangkan dunia kini tanpa smartphone. Mungkin kita hanya sibuk ber-SMS atau menelepon. Kini kita bisa memantau kerja pejabat publik yang menyimpang dan banyak yang meng-upload-nya ke media sosial.
Apa yang terjadi kemudian? Kini para pejabat publik tak bisa lagi main gagah-gagahan. Minta dilayani, bukannya melayani.
Lalu masyarakat kita juga menjadi semakin berani menuntut haknya, mengkritisi pejabat publik, dan menyuarakan perubahan. Bukankah ini perubahan sosial yang luar biasa? Memang ada juga yang ngawur dan asal bunyi. Tapi perubahan itu nyata.
Juga, bayangkan kalau kita tidak memiliki ojek atau taksi online. Semuanya masih konvensional. Memesan makanan masih sama repotnya dengan masa lalu. Kalau butuh taksi, kita mesti siap-siap merogoh kocek lebih dalam. Kalau butuh ojek, mesti jalan ke pangkalan dan siap-siap dikerjai pengemudi ojek yang ugal-ugalan.
Tapi, dengan ojek online, di sana ada aplikasi pesan dan layan-antar makanan. Praktis. Dan bisnis warung-warung makan di pojok gang––yang rasanya masya Allah enaknya, tetapi tak bisa berkembang karena tak memiliki pegawai untuk layan-antar––kini order-nya meningkat.
Buat Anda yang kesulitan mengirimkan dokumen dalam jarak dekat karena Jakarta macetnya minta ampun, ada solusinya dari ojek online. Murah dan cepat.
Membantu bukan?
Dan, saya kira, akan memunculkan bisnis-bisnis baru yang—kalau Anda tidak siap berubah—mungkin bakal mendisrupsi bisnis Anda. Sekali lagi ingat, perubahan itu selalu ada hanya untuk melayani masa depan. Bukan masa kini, bukan masa lalu.
Dan, ingat, disrupsi semacam ini bukan menimpa bisnis-bisnis lama yang tak mau berubah, tetapi bahkan bisa mendisrupsi beberapa negara. Maksudnya, negara itu terjerat dalam kesulitan.
Ingat bukan dengan pengalaman Finlandia? Negara itu begitu mengandalkan penerimaannya dari Nokia serta bisnis pulp & paper-nya. Anda tahu bagaimana nasib Nokia sekarang?
Lalu bisnis pulp & paper Finlandia pun terpukul berkat hadirnya iPad. Membaca surat kabar, majalah atau buku kini lebih menyenangkan dengan adanya iPad. Lagipula lebih ramah lingkungan. Sentimen ini membuat bisnis pulp & paper Finlandia melorot. Penerimaan Finlandia pun terpangkas.
Ah, pengalaman paling baru adalah kedatangan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia. Negara itu tengah terdisrupsi berkat hadirnya teknologi hydraulic fracturing (fracking). Berkat teknologi itu, produksi migas Amerika Serikat (AS) meningkat. Pukulan ganda pun dialami Arab Saudi.
Pertama, meningkatnya produksi migas menyebabkan harganya turun hingga lebih dari separuhnya. Kedua, AS pun memangkas impor migas dari Arab Saudi hingga sepertiganya. Kini Arab Saudi tengah menata diri setelah terkena disrupsi teknologi fracking. Memang, minyak masih menjadi andalan pendapatan negara itu.
Tapi mereka kini tak hanya mengekspor minyak, melainkan juga kilang dan pembiayaannya. Ini satu langkah lebih maju. Bahkan Raja Salman turun langsung memasarkannya ke sejumlah negara.
Rujukan Poco-poco
Baiklah kita kembali ke soal aksi saling balas antara transportasi konvensional dan transportasi online di sejumlah daerah. Kira-kira di mana titik temunya? Saya kira kita semua paham apa artinya negosiasi.
Ini ibarat tari poco-poco. Ada waktunya kita mesti maju selangkah, tapi ada pula waktunya kita mesti mundur selangkah.
Catatan saya, tarif merupakan faktor kunci. Sebaiknya tidak terlalu rendah—meski juga jangan sama dengan transportasi konvensional.
Dengan tarif yang lebih tinggi, pengemudi transportasi online punya kesempatan untuk meningkatkan layanan dan keamanan. Misalnya, kendaraannya mesti memenuhi standar layanan tertentu. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga kualitas layanan pengemudinya.
Uji kir, misalnya, itu harus. Hanya lembaganya memang jadi persoalan. Uji kir yang ada selama ini, menurut saya, terkesan main-main. Cobalah cek angkutan umum yang beroperasi di jalan-jalan. Rem blong, kacanya pecah, tidak ada speedometer, lampu-lampunya mati, kursi-kursi rusak, asap knalpotnya pekat dan tebal. Apakah kendaraan seperti ini layak beroperasi di jalan-jalan raya? Jelas tidak. Tapi kenyataannya berbeda!
Catatan Lainnya, Negosiasi
Bangsa kita senang bermusyawarah. Kalau bisa ngobrol seperti ini, ada peluang untuk mencapai titik temu. Mudah-mudahan. Kalau ini terjadi, mungkin akhirnya pengalaman di negara kita bisa menjadi rujukan negara-negara lain.
Di luar sana, kisruh antara taksi online dan taksi konvensional masih memanas karena masing-masing tak mau mundur. Mungkin mereka perlu kita ajari tari poco-poco?
-Prof. Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan