Pekan ini dan beberapa pekan ke depan, stasiun TV kita akan riuh menayangkan acara debat pilkada. Ini menarik. Hasilnya sebagian dari kita tentu masih ada yang bingung untuk menentukan siapa pemimpin daerah yang bakal dipilihnya.
Maklum, nyaris semua kandidat pandai berdebat. Tentu ada yang pandai betulan dan ada yang pandai dadakan akibat dilatih para profesional. Ada yang sudah terbukti dalam memimpin dan hasil kerja dan ada yang hanya jago berpikir dan berorasi. Ada yang sudah benar-benar matang dan dipersiapkan alam jauh-jauh hari dan ada yang muncul tiba-tiba karena kehendak orang lain.
Dan nanti pemenangnya pun akan amat beragam. Apalagi kalau sudah menyangkut perubahan. Mana ada sih orang yang suka hidupnya atau kenikmatannya diusik orang lain? Kita bisa ngomong pentingnya penegakan integritas, tapi yang ngomong itu tahu tidak kalau penegakan integritas itu bisa berakibat “perang” dan mengusik para penjahat bangkit melawan?
Singkatnya, beda teori beda praktik dan Indonesia tengah dalam pergumulan perubahan. Tapi, jangan lupa, yang berbahaya bagi keluarga pemilik calon pemimpin bukan soal saat bertarung untuk menang dalam meraih suara, melainkan saat menjalankan amanah. Penjara dan laknatnya itu ada di sana. Wahai para istri, suami, ayah-bunda atau anak-anak calon gubernur atau kepala daerah lainnya, kawallah mereka untuk berani menjalankan amanah, bukan semata-mata saat merebut kursi.
Keledai yang Terantuk Batu Berkali-kali
Lalu apa yang mesti kita lakukan? Sebelum masuk ke soal tersebut, saya ingin mengajak Anda untuk merenungkan ungkapan berikut: “Bahkan keledai pun tak akan terperosok lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Tapi, kita tahu, manusia bukan keledai. Itu sebabnya manusia bisa terperosok pada lubang yang sama bukan hanya dua kali, tetapi berkali-kali.
Itulah potret kita dan potret para pemimpinnya. Lihatlah perilaku para pejabat di negeri ini, baik di pusat maupun daerah. Belum lama ini Bupati Klaten ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan menerima suap atas promosi pejabat di daerahnya. Jadi korupsi dan korupsi lagi.
Padahal sudah banyak pejabat daerah baik para bupati, wali kota atau kalangan DPRD yang terjerat kasus serupa dan akhirnya kena jaring KPK. Menurut laporan KPK, sampai saat ini sudah ada 15 gubernur, 50 bupati/wali kota, dan 119 anggota DPRD yang ditangkap oleh komisi itu. Lalu mengapa mereka belum kapok juga? Begitulah, kekuasaan dan kekayaan memang begitu menggoda.
Keduanya berhimpitan. Kalau punya kuasa, Anda bisa kaya. Sebaliknya kalau kaya, Anda bisa punya kuasa. Itulah, antara lain, godaan yang dihadapi para pejabat di daerah. Maka saya ingin mengingatkan hal ini karena pada 15 Februari 2017 kita bakal menyelenggarakan pilkada. Kita bakal memilih 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota. Anda jangan salah pilih.
Ini penting sebab saya percaya kinerja banyak organisasi di Indonesia, termasuk di pemerintahan daerah, masih sangat tergantung pada pemimpinnya. Kata mantan Direktur Utama BRI Rudjito (alm), “Kita masih tergantung pada sinten, belum sistem.” Sinten itu bahasa Jawa (Rudjito lahir di Klaten, Jawa Tengah) yang artinya “siapa”. Maksudnya, banyak organisasi kita yang masih sangat tergantung pada orangnya, bukan pada sistemnya. Jadi, hatihatilah dalam memilih orang (baca: pemimpin).
Cepat Busuk
Bicara soal memilih pemimpin mungkin kita bisa menggali inspirasi dari ikan. Buat mereka yang senang makan ikan pasti tahu cara memilih ikan segar. Ada dua bagian yang paling mudah kita cermati, yakni mata dan insang. Mata ikan segar terlihat bening dan cembung. Kalau matanya sudah terlihat kelabu, redup, dan diselimuti lendir, jangan beli. Kalau belum yakin, kita bisa cek insangnya.
Kalau warnanya merah tua, terang, dan tidak berbau, itu tandanya masih segar. Sebaliknya kalau insangnya terlihat pucat, gelap, dan kotor serta berbau busuk, jelas ikan tersebut sudah mulai membusuk. Apa kaitan pilkada dengan ikan? Anda tahu mana bagian dari ikan yang cepat membusuk? Betul, kepalanya.
Maka dengan memakai analogi ikan, kita perlu hati-hati dalam memilih kepala daerah. Apa jadinya kalau kita memilih kepala daerah yang cepat busuk? Begitu berkuasa, dia jadi mudah disuap atau mengonsumsi narkoba. Kasusnya banyak. Kalau itu yang terjadi, sebagus- bagusnya sistem, ia bakal dirusak oleh sang kepala daerah. Kalau itu yang terjadi, ya celaka.
Kita akan merana, setidak-tidaknya selama dia masih menjabat— termasuk kalau nonaktif sekalipun. Kita seakan-akan masuk perangkap. Anda tahu, kita tak seperti pejabat di Jepang, negara-negara Skandinavia dan Spanyol. Di Jepang, kalau seseorang terbukti melakukan kesalahan, apalagi sampai korupsi atau selingkuh, mereka tak akan segan-segan mengundurkan diri.
Bahkan di Jepang, kalau skandalnya begitu memalukan, mereka akan melakukan seppuku atau bunuh diri. Contohnya Menteri Ekonomi Jepang Akira Amari. Ia mundur dari jabatannya walaupun ia tidak terbukti menerima suap. Bahkan atasan Amari, PM Shinzo Abe, sudah memintanya untuk tidak mengundurkan diri.
Namun Amari bersikeras. Ia malu. Amari memang tidak terima suap, tapi anak buahnya menerima senilai Rp1,5 miliar. Lalu lima tahun silam Direktur Perusahaan Kereta Api Hokkaido, Jepang, Naotoshi Nakajima melakukan bunuh diri. Pada Mei 2011 terjadi kecelakaan kereta api yang mengakibatkan 35 penumpangnya luka-luka, tapi tidak ada korban jiwa.
Meski begitu, lantaran merasa bertanggung jawab atas kecelakaan itu, Nakajima memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke laut. Saya tak terbayang. Adakah pejabat kita yang punya nyali seperti mereka berdua? Begitu pula di Eslandia. Awal April 2016, PM Sigmundur David Gunnlaugsson memilih mundur karena namanya tercantum di Panama Papers.
Sebelas hari kemudian giliran Menteri Industri, Energi dan Pariwisata Spanyol Jose Manuel Soria yang mundur lantaran skandal serupa. Negara kita juga belum seperti China atau Filipina. China tak segan-segan menghukum mati pejabatnya yang terbukti melakukan korupsi.
Sementara Presiden Rodrigo Duterte dari Filipina dengan tegas menembak pengguna dan bandarbandar narkoba. Di negara kita? Ini pun kita harus berhati-hati di sini: karena banyak juga berita palsu yang dikalungkan kepada orang-orang hebat yang lalu, kita dipaksa untuk menerima info itu sebagai kebenaran mutlak.
Sementara pelakunya melenggang penuh senyum bak pemilik kewibawaan nan paling suci. Ini tentu memerlukan daya kritis dan dukungan sains untuk tidak mengada- ada dan Indonesia kehilangan pemimpin yang bagus-bagus.
Jangan Asal Pilih
Bicara soal ini, saya jadi teringat dengan disruption. Anda tahu banyak perusahaan mapan yang kehilangan pangsa pasarnya akibat hadirnya startup yang bisa menyediakan jasa serupa, tetapi harga jauh lebih murah.
Faktor kuncinya adalah teknologi, simplicity, kemampuan memberdayakan jejaring lewat sharing—bukan owning—, serta model bisnis yang mengusung semangat win-win-win. Bisakah konsep serupa diterapkan di pemerintahan daerah? Tentu kita perlu untuk men-disrupsi pemerintahan dan aparat daerah, terutama yang sudah terperangkap dalam zona nyaman.
Jangan sampai kita memilih pemimpin daerah yang biasa hidup di zona nyaman dan memberi janji muluk yang berlebihan. Ini tentu bakal mempercepat proses pembusukan birokrasinya. Kita juga ingin seusai Pilkada 2017, bukan hanya kepala daerah terpilih yang merasa menang, tetapi para pesaing dan pendukung-pendukungnya dan akhirnya kita sebagai stakeholders juga merasa menang. Jadi win-win-win , bukan? Soal bentuk disruption-nya, bisa macam-macam. Nantilah kita bahas. Jangan lupa bulan depan buku barunya sudah terbit. Semoga Anda bersabar.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan