Kalau Anda bilang disruption akibat hadirnya teknologi digital hanya terjadi di dunia bisnis, salah besar.
Disruption itu terjadi di mana-mana, ya pemerintahan, ya sekolahan, kegiatan keagamaan, ya LSM. Ini beberapa contohnya. Anda masih ingat kasus larangan beroperasinya Go-Jek yang dikeluarkan regulator sekitar pertengahan Desember 2015. Larangan dikeluarkan pagi hari, menjelang sore langsung dibatalkan. Mengapa? Itu karena berisiknya suara netizen di media sosial. Jadi bukan karena penolakan dari anggota DPR yang terhormat.
Maaf. Lalu, yang paling aktual adalah aksi menyebalkan dari seorang anggota DPRD Provinsi Jambi. Merasa berkuasa, anggota DPRD itu sembarangan saja memarkir kendaraannya di area Bandara Sultan Thaha, Jambi. Ditegur petugas security bandara, bukannya memindahkan mobilnya, ia malah marah-marah dan menampar petugas tadi.
Untung kejadian itu direkam oleh pemilik akun @yogiramadhanhb. Ia lalu mengunggah kejadian tersebut di Instagramnya. Video tersebut langsung viral. Apa jadinya kalau tak ada yang merekam kejadian tersebut dan mengunggahnya di media sosial? Sama halnya dengan pemukulan seorang ajudan kepada petugas avsec di Bandara Soetta yang kemudian berbuntut sedikit agak panjang. Berkat ramainya protes netizen akhirnya muncul pernyataan Panglima TNI yang mengatakan dia saja rela membuka gespernya kalau harus dilepas.
Anda tahu, bandara dibangun dan dimodernisasi bukan hanya untuk mentransformasi perusahaan pengelola bandaranya (Bandara Sultan Thaha di Jambi dikelola PT Angkasa Pura 2 dan saya kebetulan menjadi komisaris utama di perusahaan itu), tetapi juga masyarakat dan negara. Setelah bandara dimodernisasi, cobalah lihat, masyarakat kita bisa antre jauh lebih tertib, bukan! Bandingkan dulu ketika bandara masih kotor dan kumuh atau kalau sekarang dengan moda angkutan lain seperti darat atau laut.
Jangan lupa, diam-diam bandara kita sedang berubah menjadi smart airport. Segala yang diperbuat aparat dan tamu-tamunya terekam dalam CCTV khusus. Memang ada satu kelompok yang terus memantau dan menyebarkan hoax serta memaksa Anda percaya pada berita palsu (yang negatif), tetapi itu hanyalah berita palsu. Saya maklum kalau ada yang kena perangkap gravitasinya.
Zamannya memang sedang saling memaksakan berita dan menyedot kita untuk percaya pada hoax. Sampai kita tersadarkan tentang yang benar. Baiklah, kita bahas kasus lain. Kali ini menimpa Dora, pegawai Mahkamah Agung (MA) yang mengamuk dan mencakar Aiptu Sutisna. Celakanya aksi tak terpuji itu direkam dan diunggah ke Facebook oleh Firman Perdana Putra.
Segera video tersebut menjadi viral. Meski sudah mengaku bersalah dan Aiptu Sutisna sudah memaafkan, MA tetap menjatuhkan sanksi. Dora dimutasi ke luar Jawa tanpa jabatan. Satu lagi adalah peristiwa yang menimpa Dandim Lebak Letkol Czi Ubaidillah. Ia kedapatan memberikan pelatihan kepada suatu ormas berkat foto-foto yang tayang di Instagram.
Pelatihan itu tanpa izin atasan. Dandim tersebut akhirnya dicopot dari jabatannya. Saya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi cepat atau lambat itu pun akan terungkap. Kalau Anda sabar, dalam beberapa waktu ke depan masih akan ada lagi sejumlah pejabat publik yang jadi viral di media sosial (meski saya berharap itu jangan sampai terjadi).
Entah karena perilakunya yang korup, selingkuh, mabuk-mabukan, narkoba, atau permainan politik yang gegabah dan merusak persatuan. Mereka boleh saja berjubah agama seperti Kanjeng Dimas, tapi semua akan terbuka. Publik bisa tertipu, tapi mereka lama-lama belajar dan tahu juga bahwa segala yang datang dari Tuhan pasti membawa kesejukan dan kedamaian. Adapun yang kasar, brutal, dan menyakitkan, mungkin, dari yang sebaliknya.
Hati-hati
Mengapa itu terjadi? Inilah era disruption. Siapa pun kini tengah bertarung melawan hal-hal yang tak terlihat. Kalau dulu sebelum masyarakat mengenal sains, kita sebut itu setan, roh halus atau jin. Sekarang manusia mengejar kebenaran, kalau tak bisa juga ya diretas. Gitu saja kok repot? Di dunia bisnis, banyak perusahaan mapan yang mengalami kesulitan akibat hadirnya para pesaing yang bukan tidak head to head.
Perusahaan-perusahaan itu tidak menghadapi pesaing baru karena telanjur keenakan dan masuk dalam perangkap zona nyaman (comfort zone). Mereka lalai dan kewalahan mengantisipasi hadirnya perusahaan- perusahaan berbasis teknologi digital yang mengusung semangat kolaborasi, sharing, bukan owning, dengan konsep bisnis empowering serta kesediaan untuk win-win-win.
Pengusahanya menang, pemilik aset dapat rezeki, dan konsumen pun senang karena bisa mendapatkan layanan dengan harga murah. Bisnis seharusnya begitu. Bukan zero sum game atau win-win, tetapi win-win-win. Di kalangan pemerintahan dan instansi layanan publik lainnya, disruption terjadi bagi mereka yang masih terperangkap dalam zona nyaman.
Mereka ini belum bisa meninggalkan mindset dan perilaku-perilaku lama seperti penyakit klasik birokrasi dengan jargonnya “kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat”. Juga birokrat atau pejabat yang sukanya menyembunyikan masalah di dalam laci, di lemari atau di bawah karpet. Membiarkan masalahnya berlarut- larut tidak terpecahkan dan akhirnya terakumulasi dan menjadi warisan berat untuk pejabat mendatang.
Atau tokoh munafik dan serbapalsu. Di depan tampak alim, di belakang sebaliknya. Lalu pejabat atau aparat yang belum bisa meninggalkan kebiasaan korup. Entah meminta suap, korupsi waktu, atau memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Masih banyak lho pejabat tinggi kita yang kelakuannya seperti ini. Kalau ketahuan, baru dia secara demonstratif mengganti uang atau fasilitas negara yang dipakainya.
Hati-hati kalau perilaku Anda, para pejabat atau aparat negara, masih seperti ini. Perilaku Anda pasti tersingkap. Hanya soal waktu. Anda tak pernah tahu bahwa perilaku Anda direkam oleh orang lain dan sesaat kemudian sudah tayang di media sosial serta menjadi viral.
Dua Cara
Bagaimana disruption di ranah publik itu terjadi? Setidaktidaknya lewat dua cara.
Pertama, dari atas, disruption terjadi dengan terungkapnya perilaku buruk, baik dari para pejabat maupun aparat layanan publik.
Lihatlah kasus Dora. Di situ yang terungkap bukan hanya perilaku buruk pegawai MA, tetapi juga kesabaran Aiptu Sutisna menghadapi amarah seorang pelanggar lalu lintas. Anda tahu, selama ini polisi sudah menyandang stigma negatif. Ungkapan yang terkenal soal ini adalah “lapor kehilangan ayam, malah kehilangan kambing”. Sikap profesional Aiptu Sutisna, saya harap, mampu menekan stigma buruk tersebut.
Masyarakat jadi tahu bahwa ternyata masih banyak polisi yang baik. Dan itu semua terjadi berkat peran dari teknologi digital. Semoga saja kita tidak salah. Masyarakat kita yang sudah letih menghadapi perilaku buruk para pemimpinnya, termasuk aparat layanan publik, seakan menemukan kanal untuk mengungkapkan kejengkelannya. Bahkan bukan sekadar itu, kanal tersebut ternyata bisa berfungsi secara efektif sebagai media korektif. Buktinya kasus Dora tadi.
Kedua, dari sisi bawah, disruption terjadi karena teknologi digital membuat masyarakat kita menjadi semakin kritis dan cerdas.
Mereka juga semakin mudah bersatu kalau isu-isunya sudah menyangkut kepentingan bersama. Maka untuk para pejabat yang tak mau memperbaiki diri, masih koruptif, tak mau meninggalkan zona nyamannya, tak mau mengubah mindset dan perilaku dari selalu minta dilayani menjadi melayani, siap-siaplah. Anda bakal terdisrupsi, bakal tersingkir.
Ini era disruption, era ketersingkapan. Semua yang busuk bakal terendus, muncul ke permukaan, dan akhirnya semua orang tahu. Anda tak punya tempat lagi untuk sembunyi. Memang itu semua ada konsekuensinya. Sampai periode tertentu, kita bakal semakin sering mendengar dan menyaksikan terbongkarnya perilaku busuk para pejabat dan aparat publik. Bahkan mungkin termasuk perilaku kita sendiri—kalau juga busuk.
Tapi, jangan risau dan jangan cepat lelah. Sebab itu artinya disruption, mekanisme koreksi, tengah bekerja. Jadi berterima kasihlah pada media sosial—yang kini tengah mendapat sorotan negatif lantaran kerap disalahgunakan untuk menyebarkan hoax, berita menyesatkan, dan menebar fitnah serta kebohongan. Selalu ada dua sisi dari satu keping mata uang. Mari, kita melatih diri untuk selalu melihat dari sisi positif dan menggunakannya untuk menebar kebaikan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan