Bagi Anda yang kerap melintas jalur Pantura, atau Pantai Utara Jawa, tentu bisa menyaksikan api berkobar-kobar di atas cerobong. Di industri migas, api itu biasa disebut flare. Kita mungkin biasa menyebutnya gas suar. Ini karena apinya berkobar-kobar di atas cerobong.
Flare atau gas suar adalah gas yang terbuang sebagai dampak dari proses pengolahan minyak mentah menjadi BBM atau proses produksi di sektor hulu migas. Gas yang terbuang ini tidak banyak, tetapi tetap harus dikelola karena produksinya tak pernah berhenti. Bahkan sejatinya gas tersebut merupakan indikasi dari masih berfungsinya instalasi flare di kilang atau sektor hulu. Jadi, selama kilang masih beroperasi, selama minyak mentah masih terus berproduksi, gas buang itu akan tetap ada.
Namun, jika dibuang begitu saja, gas tersebut tentu akan mencemari lingkungan. Maka, gas perlu dibakar. Itu pun masih ada dampak sampingnya, yakni CO2. Tapi, itu setidak-tidaknya lebih baik ketimbang gas tersebut dibuang begitu saja.
Hanya itu dulu. Kini?
Produksi Harus Naik
Saya kerap kali terpukau dengan capaian kinerja Pertamina di sektor hulu, yang dikelola oleh anak usahanya, Pertamina EP. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang membuat saya terkesan.
Pertama, kemampuannya untuk terus meningkatkan produksi. Soal ini saya kebetulan sering menerima up date datanya. Contohnya untuk Blok Sanga-Sanga di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Blok ini adalah salah satu dari ratusan sumur tua yang dikelola oleh Pertamina EP 5.
Awal Juli lalu produksi minyak blok ini mencapai 8.500 barel oil per day (BOPD). Sebagai rujukan, dua bulan sebelumnya volume produksi Blok Sanga-Sanga masih 6.300 BOPD. Jadi, sumur tua ini masih bisa digenjot produksinya hingga meningkat hampir 35 persen.
Anda tahu, blok minyak itu berbeda dengan buah kelapa. Kalau buah kelapa, makin tua, makin banyak santannya. Blok minyak sebaliknya. Makin tua, makin susut cadangannya. Minyaknya mungkin masih ada, tetapi sudah tidak ekonomis lagi untuk dikelola.
Lalu, apa yang membuat Pertamina EP bisa meningkatkan produksi (bukan hanya di Sanga-Sanga, tetapi juga blok-blok lainnya)? Ini hal kedua yang membuat saya sangat terkesan. Anda pasti tahu apa itu? Iya, jawabannya adalah inovasi.
Banyak terobosan dan inovasi yang dilakukan oleh kru Pertamina EP di Blok Sanga-Sanga dan blok-blok lainnya. Inovasi ini diterapkan baik untuk meningkatkan produksi maupun efisiensi. Saya mendengar cerita dari mereka. Ini beberapa di antaranya.
Misalnya, membuat rencana kerja yang lebih efisien, seperti menetapkan prioritas mana yang perlu dibor terlebih dulu dan workover yang lebih selektif. Ada lagi program skin by pass yang agresif dan optimisasi lifting. Juga, pemasangan alat bantu separator, sampai ke penggantian kabel dari jenis AAAC ke AAACS dan juga trafonya. Masih ada lagi berbagai teknik yang mereka coba untuk merawat sumur migas.
Saya sejujurnya tak mengerti betul urusan teknis semacam ini. Hanya cerita dari lapangan tadi menggambarkan betapa kru Pertamina, terutama di sektor hulu, tak pernah berhenti berinovasi dan mencari terobosan. Baik untuk meningkatkan efisiensi maupun menggenjot produksi.
Catatan saya yang ketiga, upaya habis-habisan kru Pertamina EP di sektor hulu tadi adalah potret keberhasilan BUMN tersebut dalam melakukan program transformasi. Itu tercermin dari keberhasilan mereka melakukan perubahan mindset dan perilaku—salah satu indikator terpenting dalam proses transformasi di suatu perusahaan.
Lihat, ini catatan yang saya temukan. Kru Pertamina sepakat untuk menjadikan harga migas dunia yang tidak menguntungkan ini sebagai momentum untuk terus mengubah budaya kerja. Ini baik untuk sektor hulu maupun hilir. Di sektor hulu, kalau dulu strategi kerjanya adalah terus berproduksi at any cost, kini tidak lagi. Mereka harus terus berproduksi, tetapi dengan cost effective dan efisien. Beda bukan.
Saya kira, tiga catatan penting itu menjadi modal berharga Pertamina dalam menghadapi kondisi bisnis migas dunia yang tak terlalu kondusif akibat harga yang terus bergerak turun. Di luar negeri sana, banyak perusahaan yang sudah “angkat tangan”. Di Amerika Serikat, misalnya, banyak perusahaan shale gas dan shale oil yang sudah mengajukan perlindungan ke pengadilan agar tidak dibangkrutkan oleh kreditor dan pemasoknya, atau yang biasa disebut dengan istilah Chapter 11.
Pertamina, saya yakin, sangat jauh dari kondisi itu. Bahkan sebaliknya, sambil terus berhemat, Pertamina tak pernah berhenti melakukan ekspansi. Di antaranya dengan membeli ladang-ladang minyak di luar negeri.
Flare ke CNG
Baiklah, saya ingin kembali mengaitkan dengan bagian awal saya tadi, yakni soal flare atau gas suar.
Di dalam sumur, minyak dan gas itu ibarat dua muka dari satu keping mata uang. Kalau di situ ada minyak, pasti ada gas. Dan, sebaliknya. Kalau volume produksi minyaknya meningkat, biasanya begitu pula dengan produksi gasnya.
Dulu, agar tak mencemari lingkungan, gas itu biasanya dibakar. Tapi, ini eranya serba hemat. Maka, tak elok kalau ada gas itu dibuang begitu saja. Ini juga tidak sejalan dengan semangat transformasi. Apalagi gas guar tersebut bisa dimanfaatkan menjadi LPG. Anda tahu, LPG atau Liquefied Petroleum Gas adalah gas minyak yang biasa dipakai untuk kebutuhan rumah tangga. Kita kerap menyebutnya dengan elpiji.
Jadi, dulu di lokasi-lokasi seputar kilang atau ladang minyak, gas suar tersebut biasanya dialirkan melalui pipa-pipa dan disalurkan untuk berbagai kebutuhan lainnya. Ia bisa untuk kebutuhan rumah tangga.
Tapi, gas suar bisa pula diproses untuk menjadi CNG atau Compressed Natural Gas adalah gas yang bisa dijadikan bahan bakar alternatif sebagai pengganti BBM. Kita bisa menyebutnya dengan BBG atau Bahan Bakar Gas. Kini, seiring dengan terus meningkatnya volume produksi minyak, rasanya sudah waktunya Pertamina, terutama yang bergerak di sektor hulu, untuk memikirkan pemanfaatan gas suar sebagai pengganti BBM. Aksesnya lebih mudah, lebih murah, dan lebih ramah lingkungan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
sebenarnya gas suar itu bisa pula di manfaatkan untuk pembakaran bata merah.
inovasi ini bila di kembang kan bisa bermulti fungsi.bagi pengrajin bata merah.
Saya sebenarnya tdk mengerti tetang apa itu gas suar, tapi saya setuju dengan ide bahwasanya gas suar dapat di kolalah dengan baik, hal ini dapat membantu rumah tangga khususnya ibu rumah rumah tangga, dengan dikelolahnya gas suar menjadi LPG akan sangat membantu mengefisienkan proses memasak, begitupula sebaliknya jika tdk diklolah dengan baik maka akan mencemari linkungan masyarakat.