USAI melantik Ignasius Jonan sebagai Menteri ESDM, dan Archandra Tahar sebagai wakilnya, Presiden Jokowi berseloroh. Katanya, keduanya dikenal sebagai sosok yang keras kepala.
Mungkin benar juga keduanya sama-sama keras kepala, maka sampai sekarang belum terlihat jelas gebrakan yang berarti. Buat orang-orang yang keras kepala, kadang agak sulit mencapai kesepakatan. Apalagi mereka benar-benar pandai. Prestasi mereka juga sederet.
Tapi, saya berharap ini sehat. Sebab dengan begitu sebelum kebijakan diluncurkan ke masyarakat, ia sudah melewati proses diskusi yang alot dan tajam. Kebijakan semacam ini tentu lebih berkualitas. Bukan sekedar asal jadi.
Hanya, publik tentu berharap, prosesnya jangan terlalu lama. Sebab banyak permasalahan terkait sektor energi dan sumber daya yang sudah menunggu. Salah satunya adalah soal tenaga listrik. Dan terhadap soal ini sorotan publik sudah melebar ke PLN.
Anda tahu ada dua masalah besar di sini. Pertama, soal target pembangunan pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) yang bisa sulit tercapai. Seperti kita baca, ada juga yang \”mendoakan\” agar pemerintah tak berhasil mencapai sasaranya.
Misalnya, ada yang mengatakan, sampai dengan tahun 2019, pasokan listrik bisa mencapai 19.700 MW, atau sedikit di atas separuhnya. Ini sekaligus membuat target rasio elektrifikasi 2019 yang 97,4% tak bakal tercapai.
Kedua, ternyata sejarang kita membaca, banyaknya proyek listrik masa lalu yang mangkrak. Jumlahnya 34 proyek dan nilainya mencapai triliunan rupiah. Proyek-proyek ini sudah mangkrak selama delapan tahun.
Re-inventing
Sejak dulu saya sudah mengingatkan bahwa kita tengah berada di ambang krisis energi. Hanya mungkin kita tak terlalu merasakan. Mengapa?
Buat kita yang berada di Jawa dan Bali, listrik mungkin hanya sesekali padam. Lalu, untuk BBM, baru belakangan ini saja kita merasa aman-aman saja.
Tapi, cobalah tanya kepada mereka yang berada di luar Jawa. Di Sumatera saja listrik dalam sehari bisa beberapa kali padam. Beberapa waktu lalu di Medan, Kami sampai terjebak di dalam lift selama beberapa lama. Itu akibat listrik mati. Hal serupa pernah saya alami di Balikpapan, Kalimantan Timur—provinsi yang dikenal sebagai lumbung energi nasional.
Kondisi semacam ini tiba-tiba mengingatkan saya akan pentingnya re-inventing energi. Apa itu?
Mungkin saya akan mulai dengan pengertian re-inventing terlebih dahulu. Supaya mudah, saya pakai ilustrasi kisah dua perusahaan.
Pada masanya Circuit City adalah perusahaan ritel elektronik dan alat-alat rumah tangga terbesar ke-2 di Amerika Serikat (AS). Perusahaan ini memiliki lebih dari 560 gerai. Pada 1984, Circuit City masuk bursa. Sejak itu sampai 1995, Circuit City tumbuh lebih dari 10 kali lipat.
Pertumbuhan ini menggoda Circuit City untuk masuk ke bisnis yang lain, yakni penjualan mobil bekas, CarMax. Pada 2000, Circuit City mengambil keputusan yang mengejutkan. Mereka menghentikan penjualan alat-alat rumah tangga ukuran besar, seperti kulkas dan mesin cuci. Akibatnya ketika penjualan rumah di AS booming pada 2000-2006, Circuit City tidak mendapatkan apa-apa.
Sementara pesaingnya, Best Buy, justru panen. Best Buy, yang mulai beroperasi pada 1992, konsisten di bisnis barang elektronik konsumsi. Mereka mengembangkan bisnisnya dengan berbagai konsep.
Misalnya, konsep gerai ukuran besar, mengembangkan budaya pelayanan hingga menyajikan alat-alat peraga interaktif, seperti sistem touchscreen, model interior mobil yang dilengkapi peralatan sound system yang canggih, dan seterusnya. Mereka terus mengembangkan konsep-konsep baru.
Apa yang dilakukan Best Buy dengan konsep-konsepnya merupakan gambaran dari fungsi kurva Sigmoid. Siklusnya biasanya diawali dengan perkenalan (introduction), pertumbuhan, kestabilan atau maturity, dan akhirnya mulai menurun (decline).
Best Buy melakukannya dengan sangat baik. Apa yang dilakukan Best Buy, dengan menciptakan kurva Sigmoid baru dengan konsep-konsepnya, itulah yang saya maksud dengan re-invention atau penciptaan ulang.
Bagaimana dengan nasib Circuit City? Masuk ke bisnis CarMax memang merupakan re-invention, tetapi tidak sejalan dengan bisnis awalnya. Akibatnya terjadi ketidaksinambungan. Anda tahu, pada November 2008, Circuit City menyatakan dirinya bangkrut. Perusahaan dilikuidasi dan 30.000-an karyawannya kehilangan pekerjaan
Hard Resources, Soft Resources
Dunia di ambang krisis energi. Banyak negara melakukan re-invention. Presiden Barack Obama di AS mengaitkan re-invention-nya dengan isu lingkungan hidup. Jadilah biofuel.
Masih di AS, First Solar bekerja sama dengan Apple. Keduanya membangun ladang panel surya seluas 1.300 hektar di Monterey, California. Listrik dari tenaga surya ini dipakai untuk memasok energi bagi kantor Apple, kampus dan gerai-gerai Apple di California.
Di Australia, sebanyak 15% dari penduduk di sana sudah memasang panel surya di atap-atap rumahnya. Selain itu rumah-rumah juga sudah memasang insulasi yang bagus dan hemat energi. Mereka kemudian menyimpan energinya di baterai buatan Tesla Power.
Ingat Tesla, ingat Elon Musk. Ia, Elon adalah pengusaha yang tengah mengembangkan mobil listrik berbasis baterei. Anda tahu, baterai merupakan masalah utama dari mobil listrik. Pengisiannya membutuhkan waktu yang lama. Maka, Tesla menggandeng Panasonic. Perusahaan asal Jepang ini memasok lithium-ion, sel-sel yang dipakai dalam baterei mobil listrik tersebut.
Saya memaparkan ilustrasi tersebut untuk menggambarkan bahwa dunia tak pernah berhenti mencari cara untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Dulu, EBT dinilai tak layak dikembangkan jika harga minyak mentah di pasaran internasional kurang dari USD100 per barel. Mengapa? Sebab mengembangkan EBT mahal biayanya.
Tapi, itu paradigma lama. Kini buang jauh-jauh mindset tersebut. Sampai kapan kita menunggu harga minyak mentah menembus USD100 per barel. Dunia terus bergerak mengembangkan EBT, tak peduli berapa pun harga minyak mentah. Apakah kita akan terus menunggu? Jadi Pak Jonan dan Pak Archandra, segeralah bergerak.
Bicara energi, sebetulnya kita punya banyak sumber daya lainnya. Ia bisa hard resources dan soft resources. Di sini yang saya maksud hard resources, antara lain, cadangan migas dan sumber daya energi lainnya, serta perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam bisnis ini.
Misalnya belum lama ini saya diundang mendengarkan pemaparan ahli nuklir dari UGM yg berhasil melakukan pemurnian nuklir. Tidak hanya itu, mereka juga berhasil memisahkan Thorium dan menjadikannya energi yang penting dan aman. Bahkan tambangnya sudah ada di sini, di Pulau Bangka dan Belitung.
Tapi masalahnya apakah masyarakat bisa dibuat mengerti dan apakah politiknya mendukung? Siapkah kita melakukan investasinya?
Yang saya dengar ilmuwan kita itu malah dikontrak negeri tetangga untuk membangun pembangkit berbahan bakar Thorium. Bukan apa-apa, keribetan masih menjadi milik kita.
Baiklah, biasanya hard resources ini jadi masalah. Padahal, ada soft resources yang juga mesti kita kelola.
Apa itu soft resources? Dia bisa berupa mindset, budaya, perilaku hemat energi, konsep-konsep bisnis, tata kelola, inovasi, dan lain sebagainya. Semua ini mesti bisa kita konversi menjadi sumber daya.
Saya melihat sumber daya ini belum dikelola dengan baik. Contohnya, bukankah perilaku kita yang masih sangat boros energi. Padahal, kita sedang di ambang krisis energi—kalau masih enggan mengakui bahwa kita sebenarnya sudah berada di dalamnya. Kalau soft resources ini diurus dengan benar, saya rasa kita akan banyak menghemat konsumsi energi.
Sementara, itulah dua usul saya untuk Kementerian ESDM. Mudah-mudahan membantu.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan