Ketika Rabu siang (9/11) Donald Trump dinyatakan sebagai pemenang pilpres Amerika Serikat (AS), sebagian kita cemas. Lusinan pesan WhatsApp (WA) dan Line masuk ke smartphone saya. Saya kutipkan beberapa di antaranya yang mungkin juga diterima Anda.
”Website Kedutaan Kanada sampai hang akibat banyaknya permohonan dari warga AS untuk pindah ke negara itu.”
”For the four next year, avoid America.”
”Apply visa ke AS sekarang. Sebentar lagi bakal dipersulit. Apalagi, Indonesia negara muslim terbesar di dunia.”
”Wah, Amerika bakal kacau.”
”Mengapa negara sebesar AS mesti dipimpin oleh Donald Duck.”
”Jangan simpan dolar AS.”
”Beberapa staf di Kedubes AS di Jakarta menangis.”
Oh ya, ada juga pesan berupa gambar. Di antaranya, gambar tentang Melania Trump sewaktu masih menjadi foto model. Anda tahulah kira-kira seperti apa gambarnya. Di situ disertai teks: ”Inilah first lady Amerika Serikat yang baru.”
Masih banyak lagi. Semuanya bernada miring. Saya tersenyum geli ketika menerima pesan-pesan tersebut. Saya kira Anda, dan juga para pengirim pesan tersebut, masih tidak percaya dan belum bisa menerima bahwa Trump memenangi pilpres AS. Apalagi, sebelumnya nyaris semua lembaga survei di AS menyatakan Hillary Clinton bakal menang.
Kita juga pernah punya pengalaman serupa di negeri ini. Tampaknya, dibutuhkan waktu panjang untuk mengobati ”luka” di hati saat ”jagoan” dikalahkan. Ada yang mengatakan itu hasil kecurangan, ada juga yang bilang kelicikan. Setelah itu, pesan berantai di medsos tak pernah habisnya berisi umpatan.
Tapi, begitulah. Baik itu di sana maupun di sini, hati manusia tetap sama. Keputusan juga sama. Kita tentu harus legawa, menerimanya, suka atau tidak suka.
Sosok Pebisnis
Saya tahu, semasa kampanye pilpres di AS, banyak dari Anda yang terjebak dengan materi dan gaya kampanye Trump. Dia membangun citra diri sebagai sosok yang kontroversial. Nasional, tapi sekaligus juga chauvinist. Dia juga rasis dan sangat arogan, pedas dan menyakitkan. Skandalnya ada di sana-sini. Semua memberikan kesan bahwa Trump tak layak menjadi presiden AS. Dia bahkan dianggap sebagai public enemy. Bukan hanya oleh sebagian warga AS, tapi juga masyarakat dunia.
Hanya satu hal yang mungkin kita lupa, Trump adalah pebisnis, dan pemain watak televisi, bukan politikus. Kalau sebagai politikus, dia mungkin tak mau tampil dengan citra seperti di atas. Sebagai pebisnis-kapitalis, dia tampaknya punya sudut pandang yang lain. Maksud saya, citra diri yang semacam itu –arogan, kontroversial, rasis, dan lain lain– justru membuatnya jadi terlihat berbeda bila dibandingkan dengan pesaingnya. Semacam diferensiasi.
Diferensiasi semacam itu sangat penting. Banyak produk dan brand ingin terlihat berbeda dan menonjol, tetapi gagal melakukannya. Menjadi terlihat berbeda memang tidak mudah, dan Trump mampu melakukannya bagi khalayak Amerika, bukan kita. Kalau buat warga kita, dia pasti disambut dengan amarah dan cemooh.
Lalu, apakah Trump akan memimpin AS sesuai dengan materi yang dia kampanyekan? Saya tidak begitu yakin. Sebagai kapitalis sejati, yang ada di benak mereka hanya profit. Hanya, kali ini Trump mesti mengubah mindset-nya untuk tidak boleh lagi berpikir profit bagi imperium bisnisnya, melainkan bagi negara dan masyarakat AS.
Sebagai kapitalis sejati, selama di situ masih ada profit –hanya bergantung horizonnya, jangka pendek, menengah, atau panjang– segala sesuatu bisa dirundingkan. Jadi, dalam bisnis, tidak ada harga mati. Kata orang, bisnis adalah the art of possibility. Membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah. Membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Membuat pintu yang tadinya tertutup menjadi terbuka. Syaratnya, itu tadi, ada profit di dalamnya. Semangat itulah yang saya suka dari orang-orang bisnis.
Obama Melembutkannya
Anda yang mengikuti perkembangan kampanye kedua kubu itu tentu bisa merasakan ”panasnya” iklim politik. Namun, ada satu hal yang menarik. Kendati ikut menyerang Trump dalam rangka membela rekan separtainya, Barack Obama segera menyambut kedatangan presiden terpilih itu di Gedung Putih hanya dua hari setelah pengumuman kemenangan Trump.
Publik pun menyaksikan gestur tubuh Trump yang berbeda, jauh lebih kalem dan memiliki rasa hormat kepada simbol negara.
Oleh Obama, dalam konferensi pers, dia disebut sebagai sosok ”yang sangat baik”. Mereka tampak berbincang sangat akrab dan penuh tawa, seperti ingin menunjukkan pada dunia, ”inilah tradisi berdemokrasi kami: setelah pertempuran selesai, semua harus kembali dalam kehidupan normal dan saling menghormati, bersatu.”
Wartawan CNN yang mengomentari peristiwa itu sempat melontarkan keterkejutannya, ”Mereka ternyata bisa saling mencintai,” ujarnya. Tetapi, pernyataan tersebut segera dikoreksi rekannya. ”Mereka sesungguhnya tidak saling mencintai, tetapi mereka rela menaklukkan ego mereka demi negeri yang mereka cintai.”
Ah, andai saja kedewasaan berpolitik itu juga ada di sini, saya kira damailah negeri ini dan sejahteralah hidup anak-cucu kita.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan