Setiap kali mendengar cerita tentang perusahaan yang sedang atau akan melakukan transformasi, hati saya berdesir. Di satu sisi saya sangat bergairah, tetapi di sisi lain juga muncul rasa cemas.
Jadi ini semacam kondisi yang paradoksal. Perasaan ini muncul bukan karena saya tidak paham soal itu. Sebaliknya saya justru sangat paham soal transformasi, baik di perusahaan, BUMN maupun swasta atau di lingkungan pemerintahan. Apalagi dalam beberapa kesempatan saya juga sudah menulis sejumlah buku tentang transformasi.
Baik yang dilakukan oleh perusahaan swasta atau BUMN maupun di lingkungan pemerintahan. Baiklah saya ingin to the point. Perasaan semacam itu muncul ketika saya mendengar BUMN perbankan kita, PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk, sedang dan akan melakukan transformasi.
Sebagaimana lazimnya, pemimpin perusahaan baru yang melakukan transformasi akan membaginya dalam beberapa tahap. BTN, misalnya, membaginya dalam tiga tahap. Pertama, periode 2013-2015 yang mereka sebut dengan istilah Survival Periods. Periode ini sudah mereka lampaui.
Pada tahap ini BTN menargetkan posisinya untuk menjadi pemimpin pasar kredit perumahan. Mereka juga ingin menjadi yang paling dominan di pasar itu. Sampai di sini saya kira kita semua setuju bahwa target tersebut sudah tercapai. BTN adalah nomor satu di pasar kredit perumahan.
Mereka menjadi market leader untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dengan pangsa pasar sampai 31,7% per Maret 2016. Sementara untuk penyaluran KPR bersubsidi, BTN bahkan menguasai pangsa hingga 97%. Kini BTN tengah melanjutkan transformasi tahap berikutnya. Pada tahap kedua, periode 2015-2020, BTN mengusung tema Digital Banking Periods.
Melalui aplikasi digital banking, BTN ingin memiliki layanan berkelas dunia atau world class service. Lalu tema tahap ketiga (2020-2025) adalah Global- Playership Periods . BTN harus menjadi pemain global. Untuk itu BTN harus menjadi perusahaan ber-mindset global. Salah satu indikator pada tahap ini membuat saya senang. Bunyinya “siap untuk selalu berubah”.
Tiga Catatan
Bicara transformasi BTN, ada tiga hal yang membuat saya merasa berada dalam kondisi yang paradoksal. Pertama, usia BTN yang tidak muda lagi. Bank tersebut didirikan pada 1897. Jadi kini usianya sudah 119 tahun. Anda tahu, ada stempel bahwa BUMN kadang diberlakukan atau merasa bahwa dirinya adalah bagian dari pemerintahan.
Celakanya, perasaan yang sama kadang juga muncul dari lingkungan pemerintahan dan para wakil rakyat. Mereka menganggap BUMN sebagai bagian dari dirinya, bukan entitas bisnis. Akibatnya dulu selalu saja muncul pimpinan yang dibesarkan dalam kultur birokrasi pemerintahan.
Jadi tak mengherankan kalau ada BUMN yang perilakunya bak organisasi pemerintahan, perannya lebih banyak untuk stabilisator, bahkan kontrol, rem, bukan korporasi. Para pejabatnya berperilaku bak birokrat, bukan businessman. Anda tahu bukan perilaku organisasi birokrasi dan birokratnya? Cara kerjanya mirip mesin dengan roda-roda yang sudah berkarat.
Semakin tua, karatnya semakin tebal. Akibatnya jadi susah bergerak. Maka, untuk membuatnya bisa berputar lagi, karat-karat tadi mesti dihancurkan. Lalu kita juga harus memberinya banyak pelumas. Tapi saya yakin BTN— meski usianya sudah terbilang tua—tidak seperti itu. Kinerja bisnisnya menggambarkan bahwa kondisi BTN masih segar bugar.
Ini tentu modal penting bagi BTN untuk melakukan transformasi. Kedua, beban berat BTN sebagai pemain utama dalam bisnis KPR. Anda tahu, kebutuhan kita akan perumahan mencapai 800.000 unit per tahun. Dan kekurangannya, secara kumulatif, lebih dari 15 juta (rumah rakyat). Padahal pasokannya hanya 400.000- an. Jadi hanya separuhnya.
Sebagai bank BUMN dan sekaligus pemain utama dalam bisnis KPR, pemerintah tentu berharap BTN mampu memainkan peran lebih dalam menyediakan perumahan bagi masyarakat. Ketiga, perubahan lingkungan bisnis karena hadirnya digital banking. Hadirnya teknologi ini membuat lanskap bisnis perbankan berubah. Bahkan bisa berubah total.
Kata Bill Gates, “Kita butuh layanan perbankan, tetapi tidak banknya.” Artinya layanan perbankan bisa datang dari mana-mana, tak hanya dari bank. Dan fenomena semacam ini sudah terjadi. Bagi Anda yang suka berbelanja secara online, kini kita tak perlu lagi membayarnya via bank.
Kita bisa membayar via PayPal, Apple Pay, Google Wallet, bisa pula Zopa, Square atau Amazon Payments. Mereka ini bukan bank, melainkan perusahaan digital yang melayani pembayaran online. Produk utama bank adalah kredit. Tapi kini kita bisa mendapatkan kredit dari Lending Club.
Ini adalah perusahaan digital yang menciptakan pasar maya untuk mempertemukan para pencari kredit dengan pemilik dana. Jadi debitor bisa mendapatkan kredit tanpa harus lewat bank. Biayanya juga bisa lebih murah ketimbang kredit bank.
Bukan Akhir
Kondisi semacam itu jelas memaksa bank-bank, termasuk BTN, untuk berubah. Bukan karena warisan yang kurang baik, melainkan karena zamannya sudah berubah. Mereka perlu melakukan transformasi. Menata ulang konsep bisnisnya, mengubah visi dan strategi bisnisnya, struktur organisasinya, dan proses bisnisnya. Saya senang BTN sudah memulainya.
Bagi saya, konsep transformasi itu simpel, yakni From-To. Maksudnya kita mulai dari mana dan akan ke mana. Kalau konsepnya simpel, eksekusinya kerap sebaliknya. Banyak perusahaan memilih cara sebaliknya, yakni mulai dengan To, lalu membuat rencana dan hitung mundur ke belakang.
Apa saja yang mesti kita lakukan untuk membuat To tercapai? Bagaimana tahapan-tahapannya? Lalu ini yang sangat penting, sejauh mana komitmen para pimpinan dan pemegang saham? Di sinilah keberhasilan proses transformasi ditentukan. Padahal di sini pulalah kebanyakan titik lemah kita.
Anda tahu bukan bahwa bangsa kita terkenal andal dalam membuat perencanaan? Eksekusinya? Itu masalah besar. Mengapa? Ada ungkapan the devil is in the details. Kita sering kurang telaten menangani urusan-urusan yang terlalu detail. Lalu yang tak kalah sulit adalah menyatukan komitmen para pimpinan dan pemegang saham. Sederhananya begini.
Transformasi menuntut kesediaan kita untuk berubah. Tapi di negara ini saya kerap menjumpai justru para pemimpinnya yang sulit berubah. Mereka seakan boleh memiliki privilege. Maksudnya, silakan saja orang lain asal jangan saya. Pelik, bukan? Ada cerita begini. Perusahaan sudah sepakat untuk paperless. Jadi ke depan tak ada lagi undangan rapat secara tertulis.
Semua via e-mail atau grup chatting. Bisa pakai WhatsApp atau Line. Tapi suatu ketika ada seorang sekretaris menangis tersedu- sedu karena disemprot atasannya. Ini karena sang sekretaris mengingatkan adanya rapat direksi sambil makan siang. Padahal ketika itu atasannya tengah berada jauh dari kantor. Ia sedang asyik makan bersama koleganya.
Sang sekretaris disemprot lantaran tidak mengingatkan atasannya soal jadwal rapat tadi. Padahal undangan soal rapat sudah dikirim via e-mail dan sang atasan jarang membuka e-mail. Kalau perusahaan mau melakukan transformasi, hal-hal semacam ini mesti diurus dengan benar.
Kalau tidak, transformasi bisa gagal. Catatan saya, meski BTN sudah menyiapkan tiga periode transformasi, meski sudah selesai sampai tahap terakhir, jangan pernah berpikir bahwa itu artinya transformasi sudah selesai. Jangan! Itu sebabnya saya senang dengan kalimat “siap untuk selalu berubah” tadi.
Sebab, kata Jo Caudron, pendiri dan CEO DearMedia, perusahaan konsultan media digital, “The future is about permanently dealing with change and going in and out of moments of crisis.”
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan