Kelas Menengah Baru, Tegar atau Cengeng? – Kompas

Kedua-duanya ada. Dan kalau ingin tahu seperti apa mereka, temuilah di tempat- tempat keramaian umum saat mereka melakukan perjalanan pulang. Jangan sedang berangkat karena semua orang yang akan berangkat selalu terlihat happy.

O iya, Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang baru dioperasikan juga bisa menjadi area observasi. Di situ Anda bisa menemukan dua tipe yang berbeda: yang kagum dan yang sebaliknya.

Karena sekarang sedang banyak terminal bandar udara baru dibuka di Indonesia, maka mudah ditemui antara yang kaget, dan yang senang memuja luar negri. Yang apresiatif tentu juga ditemui.

Biasanya, justru yang sudah mapan yang bersahaja. Bagaimana yang baru mulai naik kelas, dan kalangan yang gelisah?

Surat Dari Madrid

Sepotong pesan saya terima dari seorang sahabat yang datang dari temannya yang mengaku menulis di atas pesawat menuju Madrid. Ia mengumpat karena harus jalan dan ambil koper jauh, tak ada porter.

“Tak terbayangkan di negri sendiri harus angkat koper sebesar ini yang jauh sekali. Mana tidak ada porter seperti di Madrid. Kebayang kan logw keringat habis,” ujarnya sambil menceritakan keburukan terminal baru Indonesia menurut versinya.

Saya tak tahu persis sudah berapa lama ia tinggal di Madrid atau seberapa sering traveling. Tetapi dari suratnya, ia ingin dikesankan penjelajah dunia yang serba tahu keadaan terminal udara di eropa.

Teman yang lain berdebat, \”Lagian ngapain travelling bawa koper-koper besar?\”

Saya pikir ia benar juga. Biasanya, koper-koper besar hanya dibawa traveler pemula atau pencemas yang ribet. Segalanya ingin dibawa. Tapi begitulah wujud kelas menengah baru kita, pemula serasa expert, atau kalangan mapan yang sulit puas.

Lain lagi penumpang yang baru tiba dari luar kota berikut ini. Setiap kali ada sudut yang bagus, ia menyetop orang yang lewat minta difoto. Tidak terasa, kakinya sudah mulai keletihan. Maklum jaraknya memang jauh sekali.

Ia tidak mengeluhkan petunjuk yang mungkin kurang. “Karena jalannya hanya satu, pasti semua menuju titik yang sama,”ujarnya. Ia begitu tegar menuju tempat parkir seperti yang disampaikan crew Garuda saat landing melalui pengumuman di pesawat.

Penumpang yang lain justru mengambil langkah yang berbeda. Selain bawaan oleh-olehnya yang banyak sekali. Ia begitu gelisah dengan ponselnya. Dan karena baru pertama kali melewati T3, ia merasa sangat asing.

Bukannya ikut dalam arus penumpang keluar yang menuju satu titik, ia menulis dalam FB-nya.

“Lorongnya gelap, jauh banget, bingung karena signage-nya kurang.”

Temannya mencolek, \”Tahu deh sudah nyobain T3. Bilang aja elo sudah duluan sampe,\” sambutnya. \”Yang lain menyambut, \”yang namanya bangunan baru dan gede, pasti elo bingung.\”

Tapi ia tetap mengeluh, \”Engga, gw di Changi ngga pernah kesasar, petunjuknya jelas banget.\”

Lain lagi penumpang yang terbiasa menelpon sopir agar jemput tepat di pintu kedatangan. Bak nyonya besar, sopirnya dimarahi habis ketika memberitahu bahwa di curb pintu kedatangan hanya untuk taksi dan VVIP.

Akibatnya ia pun larut dalam kemacetan. Sopirnya lama sekali baru tiba. Dan begitu sampai di depan pintu, mobilnya langsung diusir petugas. Ia tidak bisa terima. Apalagi saat petugas memberi tahu bahwa semua jemputan harus dilakukan di areal parkir. “Itukan jauh Pak,” ujarnya sambil melotot.

Ia mengambil kopernya lagi. Lalu mengumpat lewat statusnya. “Servis di T3 buruk sekali. Mau jemput susah sekali. Macet panjang.”

Tak lama lagi dosennya muncul di Twitter. Ia menulis begini, lengkap dengan foto jepretannya: \”Terlihat megah tapi kebelet mau ke toilet saja begini. Masih baru gitu lo,” tambahnya nyinyir.

Yang pasti saya tidak bisa mengikutinya, motret dalam keadaan kebelet.

Soal kebelet ini memang jadi masalah besar. Seorang artis cantik tiba-tiba mengumpat di FB-nya yang lalu menjadi viral setelah dikutip media cetak.

Waktu saya buka lamannya, saya benar-benar terkejut karena tak biasanya ia bicara soal toilet. Laman-laman sebelumnya selalu diisi sesi pemotretan, panggung dan segala yang glamor.

Belakangan saya agak maklum setelah diingatkan bahwa Ia baru saja ribut dengan manajer bandara karena putrinya yang masih ABG gagal dijadikan duta T3.

Saat akan memasuki toilet, antrian ibu-ibu sudah panjang. Hari itu banyak pesawat delay. Dan semuanya memilih tunggu giliran. Petugas menyarankan agar ia menggunakan toilet di lorong sebelah yang tidak terlalu sibuk.

Tetapi artis itu tidak tertarik. Petugas kebersihan pun gelisah. Masalahnya, setiap kali habis dipakai, toilet wajib dibersihkan sebelum dipakai penumpang berikutnya. Tapi ibu-ibu yang sangat kebelet sulit diajak kompromi. Begitu satu orang keluar mereka langsung berebut masuk.

Seminggu kemudian saya membaca kutipannya: “T3 jorok dan bau, padahal baru diresmikan,” ujarnya.

Petugas cleaning service yang saya temui mengaku bingung. “Harus lebih bersih seperti apalagi mau mereka?,” ujarnya.

Bagi dia toilet baru ini sudah amat bersih, walau kadang ada saja kran yang harus diperbaiki karena pemakaiannya tinggi sekali.

Saya juga heran bagaimana artis tadi bisa mengatakan bau. Tapi bisa saja itu terjadi, bukan?

Di Bandara Changi atau KL yang juara dunia dalam kemegahan dan pelayanan itu, kadang hal serupa juga kita alami sebagai penumpang. Dan biasanya kita pun maklum saja.

Tapi terlepas dari kerewelan penumpang, saya selalu mengatakan begini, \”Beruntung kita diberitahu, artinya itu konsultasi gratis. Sebab tak ada hal baru yang langsung sempurna. Kita masih mengalami air mati tiba-tiba. Lihat saja, ada laki-laki tukang pipa memperbaiki kran saat ibu-ibu ada di dalam. Itu tidak pantas. Kalau tak diberitahu pelanggan kita tak pernah tahu. Juga kalau penumpang tak ribut, mana kita tahu sistem telah bekerja,\”

Yang Tegar

Kelompok lain yang tegar, terlihat ceria melewati fasilitas yang sekali lagi, memang amat luas ini. Saya suka menerima pesan mereka yang kadang jenaka, kadang kesal, tetapi tetap saja menerima.

Kadang mereka bilang,\”saya cari banjirnya ada dimana, ternyata cuma ada di tivi. Banjirnya sepuluh menit beritanya dibiarin tiga hari. Saya pikir sudah tidak bisa keluar dari terminal. Sayang cuma 10 menit.\”

Sewaktu ada orang yang memberitakan atapnya ambruk, seseorang mengatakan, \”Biarin aja ambruk. Emangnya kenapa?\” Faktanya memang agak lucu, petugas mencopot plafon yang miring. Mungkin sudah tak ada lagi yang bisa dipotret, maka plafon dicopotpun jadi berita.\”

Ada lagi yang bilang begini. “Gila, gua keringetan jalan jauh ke mobil. Pegel juga. Tapi benar-benar bagus,” katanya.

Ia pun mulai memberikan masukan mulai dari petugas berbaju orange yang belum tampak percaya diri sampai harga makanan kesukaan yang belum bisa ia temui di bandara.

Kelompok yang tegar ini memang jarang ribut di sosmed. Jadi kita juga sulit membaca opini dan kepuasan mereka kecuali ditanya melalui survei. Apalagi memuji secara terbuka.

Namun, mereka bukan kelompok yang cengeng. Ketegaran mereka kadang kita dengar saat ikut menenangkan konsumen yang tak mau antre, yang tersesat, yang bingung atau yang sedang marah besar.

Tetapi saya pikir, wajar saja penumpang baru bingung. Tapi juga makin wajar kita menemukan pemula serasa sudah expert, atau pemula yang ingin komplain segala hal.

Namun harus diakui, banyak pembangunan baru yang tak langsung menghasilkan kesempurnaan. Akan tetapi, mengambil kesimpulan dari ribuan cercaan juga bukan hal yang dapat dibenarkan, apalagi sosial media juga menjadi panggung ajang adu kekuatan.

Bukan hal yang aneh hari ini anda dicaci maki, besoknya anda menerima proposal-proposal. Tapi di lain pihak, pertempuran yang kita hadapi kini terjadi di media baru itu, apalagi faktanya kita memang belum hebat, mudah dihasut, percaya pada kebenaran sosial media dan tak mudah memuaskan konsumen yang sedang naik kelas.

Kelas menengah itu memang rumit, sebab yang tegar selalu memilih diam. Anda mungkin masih ingat pesan di sebuah rumah makan, \” Kalau puas tolong beritahu teman-teman, kalau tak puas tolong beritahu kami.\”

Faktanya, itu jarang terjadi. Mereka yang tidak puas justru bercerita pada seratus orang lain. Sedangkan yang puas memilih diam. Artinya, kerja keras kita harus ditingkatkan seratus kali lagi, memperbaiki segala kekurangan selagi diberi masukan itu jauh lebih baik dari pada mendiamkannya.

Rhenald Kasali 

Founder Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

2 thoughts on “Kelas Menengah Baru, Tegar atau Cengeng? – Kompas”

  1. tipikal kelas menengah baru di Indonesia memang bukan hanya sekedar rewel dan suka komplain tetapi selalu gila pengakuan ingin dianggap penting. bangsa ini memang sulit sekali bersyukur dan menghargai hasil kinerja karya orang lain.

  2. ulasan yang bagus dan menyadarkan sekali pak rhenald. semoga setelah membaca ini banyak pihak yang memilih untuk belajar mengubah sikap dan kebiasaan buruk.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *