Pasti Anda sudah pernah mendengar ungkapan judul di atas. Familier, bukan? Baiklah, saya ingin mengajak Anda mengikuti kejadian-kejadian berikut yang sudah sering kita baca di koran.
Saya kutip saja kembali yang ditulis wartawan minggu lalu. Kebetulan sebagian saya cukup kenal karena ada di dekat saya. Rivan, seorang petugas cleaning service di Terminal 3 Ultimate, Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Kamis (18/8) sore, saat akan membersihkan toilet bandara, Rivan menemukan sebuah tas pinggang. Ia tertegun, lalu memutuskan untuk menunggu.
Barangkali pemiliknya bakal datang kembali untuk mencari tas tersebut. Lima menit berlalu. Sepuluh menit, belum ada orang yang mencari. Lima belas menit berlalu, tetap pemiliknya tak kunjung datang. Rivan kemudian memutuskan untuk membuka isi tas tersebut. Isinya sangat mengejutkan, lembaran uang Rp50.000 dan Rp100.000 dalam jumlah yang cukup banyak.
Lalu, apa yang dilakukan Rivan? Masih di Terminal 3, Bandara Soekarno-Hatta, ada Kurniadi. Petugas cleaning service itu menemukan tas pinggang berisi uang tunai dalam mata uang euro. Ketika dihitung jumlahnya ternyata lebih dari Rp62 juta. Lagi, apa yang dilakukan Kurniadi? Masih kisah tentang petugas cleaning service. Namanya Mulyadi, 32 tahun.
Ketika membersihkan toilet di tempatnya bekerja, Mal Kasablanka, ia menemukan tas tercecer. Isinya uang senilai Rp100 juta! Ada Agus Chaerudin, 35. Ia office boy di Bank Syariah Mandiri Cabang Kalimalang, Bekasi. Ketika sedang membersihkan kantornya, Agus menemukan uang Rp100 juta tercecer di dekat tempat sampah.
Suharto, 53, pengemudi taksi. Setelah mengantar penumpangnya, Suharto langsung pulang. Ia tak sadar kalau ada tas milik penumpangnya yang tertinggal di taksinya. Sang penumpang yang kehilangan tas tersebut kemudian mengontak Suharto, menanyakan tasnya. Suharto kaget. Sebab tas itu masih ada di mobilnya. Ketika ia periksa, isinya uang Rp100 juta. Sekali lagi saya bertanya, apa kira-kira yang dilakukan Mulyadi, Agus, dan Suharto? Inilah yang mereka lakukan.
Hal-Hal Besar
Rivan melaporkan temuannya ke pos petugas sekuriti bandara. Di sana, tas itu diperiksa kembali. Isinya ada handphone, lima buku tabungan, dan uang tunai Rp20 juta. Di luar sana, ada pemilik tas pinggang yang gelisah. Ia tahu tasnya tertinggal di toilet bandara. Maka, meski sudah jauh meninggalkan bandara, ia memutuskan untuk kembali.
Dan, betapa leganya ia ketika sesampainya di bandara, ternyata tasnya sudah diamankan oleh petugas sekuriti. Akhirnya ia berhasil menemukan kembali tasnya. Isinya utuh. Apa yang dilakukan Rivan, itu pula yang dilakukan Kurniadi. Ia melaporkan penemuan tas pinggang tersebut ke petugas sekuriti di bandara.
Sementara Mulyadi, ia melaporkan tas berisi uang Rp100 juta ke petugas customer service Mal Kasablanka. Lalu, Agus Chaerudin menyerahkan uang temuannya ke petugas keamanan. Akan halnya Suharto, ketika pemilik tas menghubunginya, ia kemudian memilih mengantarkan tas tersebut ke pemiliknya. Buat sebagian orang, apa yang dilakukan Rivan, Kurniadi, Mulyadi, Agus Chaerudin, atau Suharto, mungkin terasa aneh.
Apalagi di masyarakat kita berlaku anggapan kalau orang kecil jujur, dia dianggap bodoh. Kalau yang bodoh orang besar, dia dianggap jujur. Apalagi sebagian mereka biasa mendengar kerjaannya selalu dihujat. Toiletnya sudah bersih, tapi selalu ada ”orang kaya baru” yang memotret sembunyi- sembunyi.
Yang dipotret adalah bak sampah yang sengaja ditumpahkan ke lantai. Lalu ”orang kaya baru” itu memaki-maki lewat sosial media, katanya hasil kerja mereka di T3 itu jorok dan bau. ”Saya bingung,” kata mereka kepada saya. ”Mau lebih bersih seperti apalagi ya,” katanya lirih. Saya pun ikut mengecek kerjaan mereka.
Sambil menepuk-nepuk pundak mereka, saya mencoba membesarkan hati mereka. Saya tahu kelas menengah kita sedang bawel-bawelnya komplain dan hobi motret. Padahal di luar negeri, toilet yang lebih kotor banyak kita lihat. Jadi, untuk apa orang-orang kecil tadi mengembalikan barang temuannya dan bekerja lebih keras? Apalagi kebutuhan hidup di Ibu Kota sangat tinggi.
Uang Rp20 juta atau Rp100 juta pasti akan sangat berarti bagi orang-orang kecil seperti mereka. Dan, tas tersebut tertinggal di tempat umum. Kalaupun tas itu mereka bawa pulang, tak akan ada yang tahu. Mereka bisa dengan mudah berkilah, mungkin tas tersebut sudah diambil oleh orang lain.
Aman, bukan! Tapi, bagi saya, orang-orang kecil tersebut rupanya sudah berhasil ”memenangkan peperangan”. Setidak-tidaknya perang terhadap dirinya sendiri. Mereka memilih untuk tidak mengambil barang yang bukan haknya dan mengembalikan ke pemiliknya.
Buat kita yang sudah sangat dahaga dengan cerita tentang kejujuran, apa yang dilakukan orang-orang kecil tadi ibarat oase di tengah gurun—terlebih setelah meledaknya kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap ketua salah satu lembaga tinggi negara. Kebetulan nilainya sama, Rp100 juta.
Orang-orang kecil tadi setidak- tidaknya mampu memuaskan kita dari dahaga. Mereka membuktikan bahwa kejujuran masih punya tempat di negeri ini. Dan, ini nilainya luar biasa besar. Kata pujangga besar asal Inggris, William Shakespeare, ”No legacy is so rich as honesty.” Maka, mereka sangat layak kita sebut pahlawan. Mereka adalah sosok-sosok yang dengan pas menggambarkan ungkapan From Zero to Hero. Mereka ”orang-orang kecil”, tetapi sanggup melakukan hal-hal besar.
Hero to Zero
Kasus OTT yang sedang menjadi pembicaraan ramai di negeri ini adalah antitesis dari kejujuran orang-orang kecil tadi. Ia membalik ungkapan dari From Zero to Hero menjadi From Hero to Zero. Di dunia ini banyak kasus pemimpin yang semula dipuja-puja, dianggap hero, tetapi harus berakhir dengan caci maki atau cacat cela. Ia ada di dunia bisnis, tapi juga masuk ke ranah politik.
Di dunia bisnis, misalnya, Anda mungkin pernah dengar nama Elizabeth Holmes, pemilik perusahaan teknologi Theranos. Majalah Forbes pernah menobatkan Holmes sebagai salah satu wanita terkaya di Amerika Serikat (AS). Nilai kekayaannya mencapai USD4,5 miliar.
Namun, Pemerintah Federal AS kemudian melakukan penyelidikan terhadap Theranos, karena ada investor—yang memperoleh bocoran dari orang dalam‚—bahwa teknologi yang diterapkan perusahaan itu bermasalah. Alhasil, Holmes kemudian terlempar dari peringkat Forbes. Kekayaan perusahaannya, Theranos, pun terpangkas dari semula diperkirakan USD9 miliar menjadi tinggal USD800 juta.
Holmes, yang semula dinobatkan sebagai Hero, salah satu wanita terkaya di AS, pun akhirnya berubah menjadi Zero. Di ranah politik malah lebih ramai lagi. Banyak pemimpin negara yang dulu diagungagungkan sebagai penyelamat negeri, akhirnya harus turun dari posisinya dengan terluntalunta.
Bahkan ada yang dibunuh oleh rakyatnya sendiri, seperti Moammar Khadafi di Libya, Hosni Mubarak dari Mesir, atau Presiden Tunisia Ben Ali. Bicara soal kejujuran Holmes tadi, saya jadi teringat dengan ungkapan dari James E Faust, seorang politikus, pengacara yang sekaligus tokoh agama.
Katanya begini, ”Honesty ismore thannotlying. It is truth telling, truth speaking, truth living, and truth loving.” Berat, bukan? Maka kita betul- betul kagum dengan perilaku orang-orang kecil kita tadi. Kejujuran tak bisa dipalsukan. Kita selalu diawasi oleh orangorang di sekeliling, 360 derajat, dan 24 jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu (24/7).
Kita mungkin tak pernah tahu itu sampai isunya mencuat di berbagai media, termasuk media sosial. Anda masih ingat bukan dengan berita tentang seorang public figure yang selalu menggunakan kata cinta, yang bisnisnya berantakan akibat talk show di sebuah stasiun TV dan menjadi bulan-bulanan di media sosial.
Saya prihatin sekali. Apalagi pengacara selalu bicara uang, uang, dan uang. Hartanya tergerus. Lagi-lagi harta. Padahal, mereka sudah punya lebih dari cukup. Belakangan kita mendengar banyak pengacara yang mengajarkan bukan cara menegakkan aturan atau mengedepankan keadilan, melainkan bagaimana caranya mengelabui hukum.
Sudah mulai biasa kita dengar klien yang mereka bela menjawab pertanyaan dengan dalil yang sama: ”Saya tidak tahu”, ”Saya lupa”, ”pikiran saya kalut saat itu, jadi saya tak ingat” dan seterusnya. Juga banyak saksi ahli yang bermain drama saat bersaksi. Bukan menjelaskan apa yang diketahui, tapi mereka berakting. Bicara seperti pemain sinetron, berdiri, maju-mundur dengan mimik yang penuh gairah.
Atau alih-alih menjawab, mereka malah mengajukan pertanyaan seperti sedang bicara dengan asisten atau mahasiswa. Panggung sandiwara mulai jadi panggung kehidupan, dan kita biarkan. Tapi, begitulah, kejujuran itu menuntut Anda untuk tak hanya tidak berbohong, tetapi lebih dari itu. Jika tidak, siapsiaplah Anda kembali ke titik nol. From Hero to Zero!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan