Polemik, yang kalau disampaikan dengan baik terbuka, bisa memaksa masyarakat berpikir untuk memahami berbagai gagasan yang diametral. Hasilnya?
Bisa membuat masyarakat semakin cerdas. Tapi ia bisa menjadi, maaf, ”sampah” kalau kemudian berkembang menjadi ajang saling caci. Ini biasanya mainan para haters. Mereka sama sekali tidak menawarkan gagasan. Hanya bisa menyalahkan, lalu melontarkan caci-maki. Karena anak-anak muda ini bekerja tanpa hati, di belakangnya hampir pasti ada yang ”memesan”.
Maka jangan pernah membaca atau me-repost komentar para haters. Diblok saja, beres. Anda tak berarti antidemokrasi kok, wong membersihkan sampah itu kan baik. Sama sekali tidak ada gunanya sampah dibiarkan berserakan. Hanya akan membuat masyarakat semakin bodoh. Bicara soal polemik, salah satu yang berkembang ramai di masyarakat adalah soal full day school—istilah yang agak membingungkan. Ini gagasan yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Kadang saya berpikir, dalam pemerintahan, ini hanya soal cara saja, namanya juga gagasan. Istilahnya test the water. Jadi sebelum suatu kebijakan diterapkan melalui peraturan atau surat keputusan, mereka mengujinya dengan melemparnya ke masyarakat. Di sebuah media, tak lama setelah dilantik misalnya, saya membaca judul: ”Mendikbud Mewacanakan Full School”.
Setelah itu biasanya Pak Menteri bisa membaca pro-kontra yang berkembang. Mana yang lebih banyak, pro atau kontranya, memahami latar belakang dan pemikirannya, pihak yang mendukung dan yang menolak. Ini sekaligus cara sederhana untuk menjaring masukan. Namun dalam peradaban terbuka bisa saja bola berubah menjadi liar. Masyarakat, apalagi orang tua, merasa itu pasti akan diterapkan secara menyeluruh seketika.
Orang-orang pandai seperti Anda atau teman-temannya bisa emosi, adu argumentasi, bahkan marah untuk sesuatu yang untuk diterapkannya saja butuh waktu, butuh uang dan butuh penyesuaian. Kata sejumlah pakar, inilah era sumbu pendek, gara-gara gagasan, kita mudah terbakar dan meledak.
Pro-Kontra
Bicara soal gagasan full day school, saya ajak Anda melihat pro dan kontranya dari sudut pandang lain. Sudut pandang yang mudah-mudahan lebih positif dan memotivasi. Contohnya begini. Mereka yang kontra dengan gagasan full day school kebanyakan beralasan bahwa sekolah-sekolah kita belum semuanya siap. Kota-kota besar mungkin siap, tapi daerah?
Ada sekolah yang belum punya laboratorium, bahkan gedungnya kurang layak ditempati, lalu koleksi buku-bukunya sangat terbatas, alat-alat peraga milik sekolah rusak semua atau tidak ada. Saya setuju. Itulah potret sekolah-sekolah kita. Bahkan di Jakarta pun masih banyak yang seperti ini. Kedua, belajar itu kan bukan cuma di sekolah. Ada peran keluarga dan teman bermain. Dalam banyak hal, anak-anak kita memang kurang bermain.
Namun ini bukan hanya terjadi di sekolah. Keluarga di rumah juga bisa membuat anak-anaknya kurang bermain. Sudah biasa bukan, menyaksikan keluarga yang mengurung anak-anaknya di rumah? Entah bersama pembantu saja, televisi, atau bersama gadget-nya. Atau bahkan bersama guru-guru lesnya yang tiada henti menghafal yang membosankan. Bahkan di sejumlah kampung yang dikenal sebagai kampung buruh migran, biasa kita temui anak-anak yang besar di tangan LSM.
Berbagai laporan menyebutkan dalam lingkungan tanpa orang tua itu, anak-anak biasa menjadi korban kekerasan dari para senior dan teman-temannya. Mari kita coba melihatnya dari sudut pandang yang lain. Pertama, berada di sekolah bukan berarti belajar dari guru terus-menerus. Sekolah bisa menciptakan suasana belajar kepemimpinan, bahkan kewirausahaan. Pramuka, OSIS, organisasi hobi, berwirausaha, berinovasi, dan sebagainya. Sekolah juga bisa menciptakan suasana bermain, bahkan juga tidur siang. Tapi apa semuanya sudah siap?
Anda sudah tahu jawabannya: belum! Apakah semuanya harus seragam, sama baik desa maupun kota? Anda juga sudah tahu jawabnya: tidak! Apakah semua orang tua bekerja mencari nafkah dan mau anaknya 100% di sekolah? Apakah semua guru harus bertugas setiap hari sampai sore? Apakah, apakah… Pokoknya banyak sekali yang Anda pun sudah tahu jawabannya. Kedua, kebijakan full day school ini, mungkin, bisa kita gunakan sebagai alat untuk memaksa pemerintah, baik di pusat maupun daerah, termasuk menteri dan kepala-kepala daerah, agar melengkapi semua fasilitas yang kurang tadi.
Kita punya modal kuat untuk melakukan itu, yakni UU Sistem Pendidikan Nasional. Menurut UU ini, pemerintah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi warga negaranya. Jaminan itu, antara lain, mesti tecermin dari besarnya anggaran. Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, wajib mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari total APBN atau APBD. Itu regulasinya.
Eksekusinya kerap kali berbeda. Bahkan ada daerah yang belum mengalokasikan 20% anggarannya untuk bidang pendidikan. Maka gagasan full day school kita gunakan untuk memaksa. Berani tidak kita memaksa para pemimpin kita?
Ilmu Kehidupan
Pandangan yang kontra lainnya membayangkan bahwa dalam sistem full day school anak-anak kita akan banyak menghabiskan waktunya di dalam kelas. Kalau seperti itu, saya juga tidak setuju. Kita harus membawa anak-anak kita ke luar kelas. Banyak ilmu yang bisa kita pelajari di luar sana. Ilmu tentang kehidupan. Contohnya begini. Di banyak perempatan lampu merah, kita masih sering menjumpai anak-anak yang dipaksa mengemis oleh orang tuanya.
Saya prihatin dengan kondisi ini. Tapi, selain itu, saya juga mencermati betapa lihainya anak-anak itu ketika menyeberang jalan, menyesuaikan diri dengan lalu lintas di Jakarta yang semrawut. Sekarang bayangkan begini. Anda, sebagai orang tua, apa rela melepas anak-anak menyeberang jalan sendiri? Saya yakin, tidak. Ketika menyeberang, Anda akan memegang tangan anak Anda erat-erat dan menuntunnya sampai ke seberang.
Akibatnya Anda tahu, bukan hanya anak-anak kita, bahkan orang-orang dewasa pun sampai sekarang masih banyak yang tidak tahu bagaimana caranya menyeberangi jalan-jalan di kota besar yang makin hari makin padat dan banyak sepeda motornya. Jalan yang sama sekali tak ramah dengan pejalan kaki. Sementara anak-anak kecil yang besar di jalan, di lampu merah tadi, dengan enaknya bermain dalam bahaya. Mereka tahu kapan saatnya melintas, kapan mesti berhenti. Bagi saya, kemampuan motorik semacam itu penting dimiliki anak-anak kita. Kemampuan semacam itu hanya diperoleh dari ilmu kehidupan. Ilmu yang hanya bisa dipelajari di luar sana.
Interaksi
Bagaimana dengan pandangan full day school akan mengurangi waktu interaksi antara anak-anak dengan orang tuanya? Betulkah? Saya kebetulan tinggal di daerah perkampungan yang hangat. Di sana saya menyaksikan hubungan kekerabatan. Apalagi karena keluarga kami membesarkan anak-anak mereka di sekolah yang relatif baik: PAUD-TK Kutilang.
Sekolah yang pengurus yayasan dan sebagian gurunya juga warga kampung. Hanya alat dan metodenya saja yang kami olah dari sains. Saya amati, di perkampungan saja, meski waktu interaksi anak-anak dengan orang tuanya melimpah, semakin hari tiap keluarga muda ternyata makin sibuk dengan urusan sendiri. Anak-anak sibuk mengerjakan PR, ayahnya malah ngobrol di luar, sementara ibunya asyik menonton sinetron atau mengunggahfoto ke FB.
Beruntung anak saya pernah memaksa membuat rumah baca yang kini bisa jadi sarana mereka bermain. Kami bebaskan mereka tertawa, berayun-ayun, dan bermain sambil kadang mendengarkan dongeng. Artinya saya jadi sulit tidur siang. Untung kami tidak terbiasa melakukannya. Bicara soal ini, saya tiba-tiba rindu dengan suasana kampung- kampung di Solo, Yogyakarta, dan Magetan. Di sana warganya sepakat berinisiatif mengeluarkan aturan tentang wajib belajar pukul 18.00- 21.00. Pada jam-jam tersebut semua TV harus mati.
Anak-anak tidak berkeliaran di jalan. Orang-orang tua semuanya juga ada di rumah. Kampung jadi senyap. Kalau inisiatif semacam ini bisa diterapkan secara nasional, saya yakin, dampaknya bakal luar biasa bukan hanya terhadap dunia pendidikan, tetapi juga bagi perubahan perilaku masyarakat kita. Bayangkan, pada jam-jam belajar, orang tua dan anak-anak semuanya berada di dalam rumah.
Mereka berbincang. Anak-anak mengerjakan PR, sementara orang tuanya membaca buku, koran atau majalah. Sayangnya fenomena semacam ini sulit kita jumpai di masyarakat. Jadi, namanya juga wacana, kita tak perlu mendiskusikan hal ini sampai membuat kita sakit kepala.
Juga biasakan hidup dalam kebijakan yang tak seragam demi menghormati perbedaan dan kekayaannya. Sebuah wacana bisa dilihat dari aneka perspektif, bukan?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan