MINGGU lalu saya berkunjung ke sebuah kota kecil di Jawa Timur: Kediri. Menempuh tiga jam perjalanan dari Surabaya (tetapi rekan saya dari Universitas Brawijaya Prof Candra Fajri cukup menempuh satu jam saja dari Batu). Di Kota Tahu ini saya disambut makan malam pecel tumpang.
Kediri menjadi menarik dari segala keunikannya. Memang penat juga, tiga jam dari Surabaya melalui jalan darat. Tetapi, Kediri bukan kota yang terisolasi karena kini menjadi kota jasa yang hidup. Tanpa banyak ribut, 17 lembaga pendidikan tinggi beroperasi di kota ini. Dan tanpa banyak pembicaraan, investor-investor baru berdatangan.
Minggu lalu, di hadapan para bupati dan wali kota se-Jawa Timur, juga di hadapan sebagian besar stakeholder-nya, kami membahas keberhasilan Kota Kediri. Kebetulan wali kotanya muda dan mempunyai spirit kewirausahaan yang kuat: Abdullah Abu Bakar (kelahiran 1980).
Menghidupkan Jasa
Dalam pikiran Mas Abu, Kediri memang jauh dari ibu kota provinsi. Tetapi, dia dikelilingi kabupaten-kabupaten lain yang lebih makmur: Trenggalek, Tulungagung, Probolinggo, Blitar, dan Pare yang terkenal dengan Kampung Inggris-nya sehingga banyak orang muda
Maka, dia pun bertekad menjadikan kotanya sebagai kota jasa. Apakah jasa pendidikan, kesehatan, maupun perdagangan. Pertama, membangun administrasi pemerintahan yang probisnis. Semua perizinan dipermudah, diperingan biayanya, dipercepat, bahkan bila perlu diantar. Pada hari-hari tertentu biasa kita menyaksikan mobil keliling yang melayani hal sekecil kartu tanda penduduk warga yang sobek dan harus diganti.
Mungkin, sebagai eksporter kulit, Abu dulu tahu persis bagaimana sulitnya UMKM untuk maju yang sering terhambat perizinan dan lemotnya birokrasi. Saya pun diminta bantuan untuk memantau dan memberikan saran-saran. Di antaranya, kami membentuk tim untuk ”mengingatkan” aparatur-aparaturnya terhadap program yang sudah disepakati.
Jadilah semua bergerak. Sebab, bagi saya, city branding bukan cuma slogan. Ia pertama-tama harus datang dari myelin (gerakan, muscle memory) manusia-manusia yang melayani.
Mas Abu lalu memperbaiki layanan kesehatan dan perdagangan. Perlahan-lahan penduduk dan pedagang-pedagang besar dari kota-kota sekitar berbelanja dan menikmati kuliner di Kediri. Perdagangan pun hidup, bahkan menjadi amat ramai. Tingkat ketergantungan PDRB-nya dari satu perusahaan besar pun perlahan-lahan turun.
Maklum, Kediri menjadi besar berkat Gudang Garam. Tetapi, itu tak membuatnya terlena. Dia mendorong tumbuhnya wirausaha-wirausaha baru. Anda tahu, di kota kecil yang penduduknya hanya 313 ribu ini, tahun lalu jumlah pelaku UMKM-nya melonjak dari 26,7 ribu menjadi 31,4 ribu.
Malam itu, sambil menikmati pecel tumpang yang lezat, sejumlah anak muda Kediri ikut menemani kami. Tanpa sungkan, Pak Wali Kota mengajak mereka bicara, sambil lesehan di pelataran kaki lima Jalan Dhoho.
Prodamas
Ketika kita di pusat masih ribut bagaimana membuat dana desa benar-benar terserap, Mas Abu diam-diam menggerakkan Prodamas (Program Pemberdayaan Masyarakat).
Lewat program itu, setiap RT (bukan desa), diberi dana Rp 50 juta untuk membangun infrastruktur kampung. Tahun ini total 1.442 RT mengajukan sekitar 2.800 proyek. Artinya, setiap RT bisa mengajukan satu hingga tiga proyek, apakah membuat gorong-gorong, membetulkan jalan, memperbaiki prasarana, dan seterusnya.
Saya bayangkan jika hal seperti itu bisa dilakukan di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor, sudah pasti jalan-jalan kampung akan lebih baik. Demikian pula saluran air, penerangan, dan sanitasinya.
Sebab, hampir mustahil pemerintah kota atau kabupaten bisa hadir hingga pelosok-pelosok kampung dalam waktu cepat. Dinas PU dan dinas-dinas lainnya selalu terbelenggu aturan-aturan, dan harap maklum proses tender itu mahal dan panjang waktunya. Biaya transaksi (transaction cost) dan biaya mencarinya (searching cost) amat mahal.
Dalam program seperti Prodamas, dana bisa bergerak cepat sepanjang lembaga-lembaga penerima itu dapat dipercaya. Ya, semoga saja RT-RT di seluruh Jakarta dan sekitarnya masih dapat dipegang komitmen pelayanannya dan duitnya benar-benar dipakai untuk publik.
Tetapi di Kediri, Prodamas benar-benar terlihat dampaknya. Proyek senilai Rp 50 juta jangan-jangan hasilnya malah lebih dari itu karena ada partisipasi rakyat. Ada yang menambahkan kopi, teh, gula, cangkul, ubi, dan pisang rebus serta hal lainnya.
”Pesan saya cuma begini. Gunakan untuk infrastruktur dasar, pakai tenaga kerja setempat, dan belanjakan di Kediri.” Jadilah uang Rp 75 miliar itu berputar kencang di Kediri. Lapangan kerja bagi buruh-buruh kasar terbuka dan perdagangan pun hidup. Para pedagang senang, grosir tumbuh, dan harga-harga pun turun.
Menurut Bank Indonesia, Kediri berhasil menekan laju inflasi sedemikian rupa sehingga Juni lalu terendah di seluruh Indonesia, yaitu 0,16 persen. Saya senang menyaksikan munculnya bupati-bupati dan wali kota-wali kota baru yang muda-muda, bersemangat, memiliki spirit kewirausahaan yang gigih, dan prorakyat. Semoga kehadiran Mas Abu bisa memberi secercah harapan bagi ibu pertiwi.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan